Dugaan Mafia Tanah, Mantan Kepala Bapenda Lobar Dihadirkan di Sidang

HADIR: Mantan Kepala Bapenda Lobar Lale Prayatni saat dihadirkan dalam persidangan, Kamis (15/4). (DERY HARJAN/RADAR LOMBOK)

MATARAM–Pengadilan Negeri Mataram kini tengah menyidangan perkara dugaan mafia tanah seluas 6,37 hektare di Gili Sudak, Desa Sekotong Barat, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat (Lobar) dengan terdakwa Muksin Mahsun.

Dalam sidang lanjutan, pada Kamis (15/4), sidang digelar secara tatap muka dan terdakwa hadir didampingi penasihat hukumnya. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Musleh dengan agenda mendengar keterangan saksi-saksi.

Salah satu yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) adalah Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lobar periode 2016-2018 Lale Prayatni. Saksi ini dihadirkan guna memperjelas terkait terbitnya SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang)  atas nama terdakwa yang digunakan untuk mengklaim objek tanah seluas 6,37 hektare di Gili Sudak, sebagai miliknya. Padahal objek tanah tersebut sebelumnya sudah ada SPPT atas nama orang lain. Namun anehnya terdakwa bisa mendapatkan SPPT baru atas nama dirinya untuk objek tanah yang sama.

“Mengapa ada SPPT atas nama terdakwa ini. Apakah benar SPPT ini    diterbitkan Bapenda?” tanya JPU Heril Iswandi.

Saksi Lale Prayatni membenarkan bahwa memang benar SPPT tersebut diterbitkan oleh pihaknya. Sebab modelnya sama persis seperti SPPT pada umumnya. “Ini hanya bisa diterbitkan di kami dan tidak bisa oleh orang lain,” jelasnya.

Baca Juga :  Edarkan Sabu, Polisi Tangkap Oknum Pecatan Polisi di Lotim

Hanya saja bagaimana SPPT atas nama terdakwa itu bisa terbit ia sendiri mengaku tidak mengetahuinya. “Saya tahunya ada SPPT atas nama terdakwa pada saat di BAP di kepolisian,” ujarnya.

Meski pada SPPT itu sendiri ada tanda tangan saksi selaku kepala Bapenda. Saksi kemudian menjelaskan bahwa ia menandatangi banyak SPPT dan tidak secara teliti mengecek satu per satu. “Pernah atau tidak tanda tangani SPPT atas nama Muksin Mahsun saya lupa,” akunya di depan persidangan.

Saksi mengaku bahwa tidak mungkin mengecek SPPT satu per satu. Ia berdalih bahwa SPPT yang akan ditandatanganinya tentu sudah tidak ada masalah. Pasalnya saat pengakuan penerbitan SPPT tentu ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya harus ada fotokopi sertifikat tanah yang akan diterbitkan SPPT. “Kalau tidak ada sertifikat tidak bisa setahu saya,” ujarnya.

Mendengar kesaksian ini, penasihat hukum terdakwa Muksin Mahsun yaitu Muhammad Al Ayyubi mengajukan pertanyaan. “Bagaimana kalau tidak ada sertifikat tetapi ada surat akta jual beli, apakah bisa?” tanya Al Ayyubi.

Baca Juga :  Dosen Unram Divonis 2,5 Tahun Penjara

Saksi tetap dengan pendapatnya bahwa harus ada sertifikat bagi pemohon SPPT. “Harus ada sertifikat,” ujarnya.

Selesai saksi memberikan keterangan, Ketua Majelis Hakim Musleh mencoba meluruskan. Bahwa setahunya dia, untuk penerbitan SPPT tidak harus ada sertifikat. Sebab di Indonesia ini sebagian besar masyarakat belum memiliki sertifikat. “Kalau harus punya sertifikat, dong susah ngurusnya. Sementara di Indonesia ini termasuk di Jawa yang sudah maju masih banyak belum memiliki sertifikat. Itu sebabnya presiden itu ada program bagi-bagi prona,” tuturnya.

Hakim Anggota Mahyudin juga mengingatkan saksi untuk teliti menerbitkan SPPT. Sebab saat ini sedang marak mafia tanah di Indonesia. Termasuk di Lombok. Para mafia ini melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi meskipun dengan merugikan orang lain. “Saudara sebagai pejabat harus hati-hati,” pinta Anggota Majelis Hakim Mahyudin. (der/*)

Komentar Anda