Suruji Bersaksi di Sidang Korupsi Marching Band

BERSAKSI: Suruji, mantan Kepala Dinas Dikbud NTB saat memberikan kesaksian dalam kasus korupsi pengadaan alat kesenian (marching band) di Dinas Dikbud NTB tahun 2017. (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Sidang korupsi pengadaan alat kesenian atau marching band pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB tahun 2017, berlanjut di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Selasa (7/11). Jaksa penuntut menghadirkan mantan Kepala Dinas (Kadis) Dikbud NTB, Suruji sebagai saksi.

Suruji di dalam persidangan menuturkan harga barang (alat kesenian) yang dibeli sudah sesuai dengan harga yang telah disesuaikan, dan menyatakan pengadaan itu tidak memiliki masalah. “Pengadaan sudah selesai, berita serah acara terima juga ada,” kata Suruji saat memberikan kesaksian untuk terdakwa Muhammad Irwin; pejabat pembuat komitmen (PPK), dan Lalu Buntaran; penyedia barang dari CV Embun Emas.

Pengadaan itu pun sudah dibayarkan. Dimana Suruji menyatakan pengadaan alat kesenian itu tidak bermasalah, karena seluruh rangkaian telah dilakukan dengan benar. Seperti adanya kerangka acuan kerja, hasil perhitungan sendiri (HPS), dan rancangan kontrak.

Hanya saja, Suruji mengatakan demikian tanpa terlebih dahulu melihat dengan rinci HPS yang disusun PPK. “Tidak melihatnya secara spesifik,” timpal Suruji, ketika ditanya itu.

Yang menyusun HPS adalah terdakwa Muhammad Irwin, selaku PPK. Dan Muhammad Irwin merupakan satu dari tiga orang yang diangkat sebagai PPK saat dirinya menjabat Kepala Dikbud NTB.

Irwin diangkat sebagai PPK di bagian pengadaan alat kesenian untuk SMA. Tugas Irwin sebagai PPK tidak hanya sebatas menyusun HPS, melainkan juga menyusun dokumen lelang hingga selesai.

Baca Juga :  Kasus LCC Berpeluang Kembali Diusut

Untuk pengadaan alat kesenian itu, Irwin melakukan survei ke Yogjakarta, atas perintah Suruji untuk melihat langsung alat di sana, di pusat produksi alat kesenian. “Di sana banyak pilihannya,” sebutnya.

Setelah survei, Suruji tidak mendapatkan laporan dari Irwin. Termasuk surat pertanggungjawaban (SPJ) dan lainnya. “Soal administrasi, itu ke bidang sekretariat,” ujarnya.

Kemudian Suruji meminta Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) melakukan proses lelang, dan proyek itu kemudian dimenangkan CV Embun Emas.

Dirinya mengaku tidak ada komunikasi antara dirinya dengan pihak ULP. Dan saat proses lelang, ULP tidak melaporkannya. “Komunikasinya dengan PPK,” katanya.

Sebelumnya, jaksa dalam dakwaan menyebutkan kedua terdakwa kongkalikong dalam pengadaan alat kesenian tahun 2017 tersebut. Persekongkolan itu terjadi sejak penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS).

Tak hanya itu, persekongkolan itu juga terjadi saat penentuan spesifikasi peralatan marching band yang nantinya diperuntukkan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah menengah atas.

Untuk pengadaan alat Marching Band itu dianggarkan dalam dalam dua paket pengadaan. Paket pertama, PPK menyusun HPS senilai Rp1,69 miliar untuk 8 unit pengadaan alat Marching Band. Sementara paket kedua, HPS senilai Rp1,06 miliar untuk 5 unit pengadaan alat Marching Band.

Kedua paket itu dimenangkan CV Embun Emas dengan nilai penawaran berbeda. Paket pertama dengan nilai penawaran Rp 1,57 miliar, sedangkan paket kedua sebesar Rp 982 juta.

Baca Juga :  Kasus Korupsi Libatkan Oknum Polisi Dimulai Dari Awal

Muhammad Irwin, selaku PPK pertama kali menentukan nilai HPS dengan meminta anak buahnya Sabarudin untuk melakukan survei pasar. Melalui internet, Sabarudin mendapatkan sebanyak 17 rekomendasi alat marching band. Itu didapatkan dari Julang Marching Band yang ada Sleman, Yogyakarta.

Kemudian diserahkan ke terdakwa Muhammad Irwin, dan selanjutnya Muhammad Irwin menyerahkannya ke terdakwa Lalu Buntaran dan saksi Sapoan.

Dengan daftar yang diterima dari terdakwa Muhammad Irwin, terdakwa Lalu Buntaran menghubungi Julang Marching Band, dan meminta daftar harga untuk satu unit alat Marching Band tersebut. Usai mendapatkan daftar harga, Lalu Buntaran menyerahkannya ke Muhammad Irwin.

Penyerahan daftar harga diserahkan di Kantor Dinas Dikbud NTB. Kemudian daftar harga itu dipergunakan untuk menyusun HPS untuk satu unit kelengkapan alat Marching Band, yang nilainya sebesar Rp 212 juta.

Terungkap dalam dakwaan, CV Embun Emas yang keluar sebagai pemenang bukan miliknya terdakwa Lalu Buntaran, melainkan milik adiknya. Dan jaksa dalam dakwaan menyebutkan Lalu Buntaran melakukan monopoli.

Hal itu dikarenakan dari belasan perusahaan yang mendaftar sebagai peserta lelang, hanya CV Embun Emas yang melampirkan harga penawaran. Juga tidak menyalurkan barang sesuai spesifikasi perencanaan.

Atas tindakannya, ke dua terdakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 702 juta berdasarkan hasil audit BPKP NTB. (sid)

Komentar Anda