Mantan Wali Kota Bima Dituntut 9,5 Tahun Penjara

SIDANG: Mantan Wali Kota Bima, Muhammad Lutfi, berdiri di depan penasihat hukumnya, usai mendengarkan jaksa penuntut membacakan tuntutan di ruang sidang Pengadilan Tipikor Mataram. (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Jaksa Penuntut Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menuntut mantan Wali Kota Bima, Muhammad Lutfi dengan pidana penjara selama 9 tahun dan 6 bulan pada kasus suap dan gratifikasi pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Bima tahun 2018-2022.

“Menuntut, supaya majelis hakim tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Mataram yang memeriksa atau mengadili perkara tersebut, menjatuhkan terdakwa dengan pidana penjara selama 9 tahun dan 6 bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan,” kata Agus, selaku perwakilan jaksa KPK saat membacakan tuntutan di ruang sidang Pengadilan Tipikor Mataram, Senin (6/5).

Lutfi juga dituntut pidana denda sebesar Rp 250 juta subsider 6 bulan. Dimana dalam tuntutan jaksa lainnya, membebani agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 1,950 miliar dikurangi Rp 30 juta. “Sehingga uang pengganti yang harus dibayarkan terdakwa sebesar Rp 1,920 miliar,” sebutnya.

Baca Juga :  9.287,33 Hektare Tanaman Tembakau Rusak Terendam

Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama satu bulan setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa dapat disita dan dilelang jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut. “Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan penjara selama 1 tahun,” ujarnya.

Tidak hanya itu, jaksa KPK dalam tuntutannya meminta majelis hakim untuk mencabut hak politik terdakwa. “Menjatuhkan hukuman tambahan pada terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya,” ungkap Agus.

Jaksa menuntut terdakwa dengan melanggar Pasal 12 huruf i Jo Pasal 15 dan Pasal 12B Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Baca Juga :  RSUD Praya Kembali Diduga Tolak Pasien

“Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat, baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya dan melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang masing masing dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri,  sehingga merupakan beberapa kejahatan menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,” ujar jaksa penuntut. (sid)

Komentar Anda