MATARAM – Ketua Pusat Study Hukum dan Analisis Kebijakan Universitas Mataram, Dr Lalu Wira Pria Suhartana kembali bersuara lantang terhadap rencana penjulan 6 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) yang dimiliki perusahaan daerah PT Daerah Maju Bersaing (DMB).
Menurutnya, penjualan saham 6 persen itu akan mengarah pada tindakan korupsi apabila tetap dilanjutkan. Pasalnya, telah terjadi tindak pelanggaran Undang-Undang dalam keputusan DPRD NTB yang menyetujui penjualan saham. Menurutnya, rencana penjualan saham harus dikaji kembali karena akan membahayakan pihak-pihak yang terlibat. Jangan sampai nantinya ada penyesalan setelah korban berjatuhan. “Kalau saham tetap dijual maka itu adalah perbuatan melanggar hukum karena tidak sesuai dengan prosedur dan tidak didasarkan pada kewenangan, dan perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada aset daerah yang mengarah pada korupsi,” ucapnya kepada Radar Lombok Minggu kemarin (26/6).
Disampaikan, adanya perbedaan pendapat di internal dewan atas pelanggaran hukum dalam mekanisme pengambilan keputusan adalah hal serius. Keputusan DPRD memang harus diambil melalui rapat paripurna, terlebih lagi mengenai aset daerah yang nilainya mencapai triliun rupiah.
Dijelaskan, untuk mengetahui arti dari keputusan DPRD maka harus memahami produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah (Perda), Perkada, PB KDH, peraturan DPRD dan berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan Badan Kehormatan DPRD. “Izinkan saya memberikan pemahaman hukum sedikit,” ujarnya.
Kebijakan yang dapat dikeluarkan oleh DPRD sendiri ada yang berbentuk peraturan yaitu peraturan DPRD dan berbentuk penetapan yaitu keputusan DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan Badan Kehormatan DPRD.
Peraturan DPRD adalah peraturan yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang serta hak dan kewajiban DPRD. Sedangkan keputusan DPRD adalah keputusan untuk menetapkan hasil rapat paripurna yang berisi materi muatan hasil dari rapat paripurna. “Makna antara keputusan DPRD dengan keputusan pimpinan DPRD itu sangat jauh beda, keputusan pimpinan DPRD itu keputusan untuk menetapkan hasil rapat pimpinan DPRD yang berisi materi muatan penetapan hasil rapat pimpinan DPRD,” jelasnya.
Terkait dengan pandangan yang mengatakan keputusan DPRD tidak harus melalui rapat paripurna, tetapi bisa juga hanya dengan rapat pimpinan saja, maka Wira menyarankan agar orang tersebut memperhatikan ketentuan pengaturan tentang apa yang dimaksud dengan keputusan DPRD yang pada dasarnya merupakan penetapan hasil paripurna. “Artinya keputusan DPRD harus melalui mekanisme paripurna,” tegasnya.
Dalam memahami hal ini lanjutnya, perlu diperhatikan klasifikasi, ciri dan mekanisme pembentukan produk hukum daerah serta mengkaji beberapa peraturan perundang-undangan terkait seperti UU nomor 12 tahun 2011, UU 23 tahun 2004 jo UU 9 tahun 2015, UU 30 tahun 2014, Perpres 87 tahun 2014 dan Permendagri nomor 80 tahun 2015. “Dalam aturan jelas, kalau aset daerah di atas Rp 5 miliar kan harus ada persetujuan dewan. Persetujuan dewan itulah yang disebut dengan keputusan DPRD, apakah mendukung atau menolak,” ucapnya.
Wira berpesan kepada semua pihak agar tidak gegabah, penjualan saham harus dipikirkan kembali karena rentan tersangkut kasus hukum. Terlebih lagi bukan hanya mekanismenya saja yang cacat hukum, tetapi dalam persetujuan tersebut diduga kuat ada gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang.
Ia juga kembali mengingatkan pemerintah bahwa menjual saham akan membawa sejarah kelam daerah ini. Alasan nilai saham merosot sangat mengada-ada dan tidak kuat. “Saya sih tidak punya kepentingan apa-apa soal saham ini, saya ditanya dari sisi hukumnya dan saya bicara apa adanya,” tandas Wira.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi PDI-P DPRD NTB I Made Slamet heran dengan sikap Pemprov NTB. Semua aset berharga ingin disulap menjadi uang tanpa memikirkan nasib daerah di masa depan. Misalnya saja Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Mandalika Resort tidak lagi milik Pemprov, padahal disana ada juga uang rakyat untuk membantu pembebasan lahan. Begitu juga dengan aset di Bandara Internasional Lombok (BIL) rencananya ingin dijual. Kini saham daerah di perusahaan raksasa PTNNT yang akan dijual. “Mending kita kiamat tahun 2020, jadi kita tidak perlu pikirin masa depan anak-cucu kita. Kita jangan pragmatis, aneh saja rasanya kita benci neoliberal tapi ajarannya kita pakai. Kita caci neoliberal tapi jalannya jadi favorit kita,” tutup Made Slamet.
Untuk diketahui, PT DMB menggandeng PT Multi Capital untuk membeli 24 persen saham PTNNT. Lalu dibentuk PT Multi Daerah Bersaing (MDB). Dari 24 persen saham itu, PT DMB yang dibentuk Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa Barat dan Sumbawa ini mengusai 6 persen saham. Sisanya 18 persen menjadi milik PT Multi Capital. (zwr)