Mori Tanggapi Santai Laporan Dirinya ke BK

H Mori Hanafi (Faisal Haris/Radar Lombok/DOK)

MATARAM – Badan Kormatan (BK) DPRD Provinsi NTB akan menindaklanjuti aduan Lembaga Dewan Kedaulatan Rakyat untuk Demokrasi (Deklarasi) NTB yang melaporkan Wakil Ketua DPRD NTB, Mori Hanafi atas dugaan menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku dengan terpilihnya sebagai ketua ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) NTB periode 2022-2026 secara aklamasi pada Musyawarah Olahraga Provinsi (Musorprov) KONI pada 25 Februari 2022 lalu. “Jadi nanti kita akan lihat dulu bentuk aduannya seperti apa. Maka nanti kita akan memanggil para pihak ini, terhadap pihak yang diadukan,” tegas Ketua BK DPRD NTB, TGH Najamudin Mustofa saat dikonfirmasi Radar Lombok, Minggu (6/3).

Mori Hanafi dilaporkan oleh Deklarasi  NTB pada Jumat (4/3) dengan dilayangkan surat yang ditujukan langsung kepada Ketua DPRD NTB untuk dituruskan kepada BK. Dalam laporan yang diadukan, Mori Hanfi diduga telah melanggar aturan perundang-undangan pasca terpilih sebagai ketua KONI NTB. Yakni menyalahi aturan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa anggota DPRD dilarang menjadi pengurus instansi yang mendapatkan APBN maupun APBD.

Kemudian, diduga melanggar pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang SKN yang berbunyi, pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia, Komite Olahraga Provinsi dan Komite Olahraga Kabupaten/Kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan Jabatan struktural dan jabatan publik.

Tidak hanya itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), dalam aturan tersebut kepala daerah, wakil kepala daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) dilarang menjadi pengurus KONl. Serta diduga melanggar Surat Edaran Mendagri Nomor: 800/148/SI/2012 yang secara tegas melarang Kepala Daerah Tingkat I dan II, pejabat publik, wakil rakyat, hingga PNS untuk merangkap jabatan dalam organisasi olahraga.

Selain itu, Mori Hanafi dianggap terpilih sebagai ketua KONI NTB penuh rekayasa dan mengabaikan aturan yang ada. Hal ini terlihat dari tidak dipublikasikannya waktu penjaringan secara maksimal, tidak dibukanya hasil tim penjaringan dan penyaringan pada saat proses Musorprov sehingga melanggar aturan yang ada.

Lebih lanjut, Najamudin mengatakan, bahwa semua cara dalam bernegara punya undang-undang dan aturan. Apalagi ketika menjabat dalam suatu lembaga maka tentu diatur dalam aturan dan mekanisme yang sudah ada. “Ketika aturan membolehkan dia (Mori), maka boleh dia menjadi ketua. Tetapi disamping dia boleh itu ada etika yang melekat di kita, karena kita sebagai menusia ini harus punya etika,” sambungnya.

Sebab ketika memengang suatu jabatan di satu tempat, kata Najamudin, maka ketika mendapatkan tawaran jabatan lainnya lagi di satu tempat, tentu harus beretika. Karena masih banyak orang lain yang belum memengang jabatan ditempat lain dan butuh jabatan itu. “Sementara kita sudah ada tempat, maka beretikalah kita mengatakan untuk diberikan keorang lain supaya saya bisa konsentrasi dijabatan yang kita pengan. Itu namanya orang beretikan jangan malah ditarwarkan jabatan lain lalu kita serobot saja tanpa memikirkan etika,” ujarnya.

Baca Juga :  Gerindra Serahkan Bukti Dugaan Kecurangan Pemilu di Sekotong

Namun jika mengacu pada aturan, lanjutnya, tentu bersifat baku, karena jika dalam aturan diperbolehkan maka tidak bisa dilarang. Tetapi ketika dalam aturan tidak diperbolehkan jangan kemudian melanggar aturan itu. “Maka tentu orang yang mengadukan (Mori) ini ada dasarnya. Bagitu juga (Mori) mungkin ada dasar aturannya. Maka nanti akan dilihat mana dasar aturan kedua belah pihak akan dilihat. Tetapi kalau saya jadi Mori tidak saya ambil jabatan ketua KONI kalau dipermasalahkan orang, kalau saya,” ucapnya.

Apalagi, Mori yang saat ini menjabat sebagai wakil ketua DPRD NTB untuk apa mengambil jabatan tersebut. “Tapi kalau saya tidak saya ambil. Karena ini yang namanya etika, ya berikan saja sama yang lain kenapa. Kalau saya digugat orang, kalau saya dingatkan orang maka saya lepas saja jabatan itu,” sarannya.

Tetapi dalam hal ini, kata Najamudin, tentu pihaknya akan mengacu apa undang-undangan sesuai dengan kewenangan BK dalam menindaklanjuti ketika ada aduan terhadap anggota DPRD yang diadukan oleh masyarakat. “Kalau nanti yang mengadu itu kuat dasar hukumnya, ya kita tegur Mori untuk tidak usah dong (jabat Ketua KONI) karena melanggar aturan. Kalaupun boleh berdasarkan aturan kita juga akan ingatkan Mori karena dia juga ada jabatan DPRD. Jadi jangan semua jabatan lantas mau dipegang oleh satu orang. Karena Mori juga punya jabatan,” tambahnya.

Terpisah, Mori Hanafi menanggapi terkait dengan aduan yang dilaporkan Deklarasi NTB soal diduga melanggar aturan. Menurut Mori, aturan yang diadukan sudah tidak berlaku lagi. Karena sudah ada aturan terbaru tentang olahraga yang memperboleh pejabat ataupun anggota DPRD menjadi ketua KONI. “Nggak ada masalah ini. Aturan yang dipergunakan sudah tidak berlaku lagi karena sudah ada undang-undang olah raga yang baru,” katanya.

Ia menyebutkan, bahwa UU Sistem Keolaragaan Nasional diganti menjadi UU Keolaragaan. Sehingga walapun ada aduan yang menyangkut dirinya sebagai ketua KONI NTB diangkap hal yang biasa. “Biasa ajaaa, apa yang dilanggar. Baca undang-undang barunya dulu dong,” sambungnya.

Baca Juga :  Dipertanyakan, ITDC Tetap Komit Kembangkan KEK Mandalika

Ia juga mengaku tidak ada aturan yang dilanggar, sehingga tidak mau ambil pusing soal aduan tersebut. Apalagi, menurutnya, BK juga tidak bodoh, sehingga dirinya menghadapi dengan santai aduan yang dilaporkan. “BK juga tidak bodoh. Mudah-mudahan kita hadapi dengan baik saja,” tandasnya.

Mori juga menyebutkan, tidak hanya dirinya sebagai anggota DPRD yang menjabat ketua KONI di NTB. Tetapi juga ada ketua KONI ditingkat kabupaten di NTB juga dijabat anggota DPRD. “Ketua KONI KLU juga wakil ketua DPRD sekaligus sekertaris Partai Demokrat yang sudah menjabat 3 tahun sebagai ketua KONI toh sampai saat ini aman nggak ada masalah kok,” pungkasnya.

Lembaga Diklarasi NTB juga akan menggugat proses terpilihnya Mori Hanfi sebagai Ketua KONI ke Peradilan TUN dan Badan Arbitrase Olahraga Republik Indonesia (Baori). “Senin (hari ini) kami masukkan pengaduan ke TUN dan Baori,” kata Ketua Lembaga Diklarasi NTB, Jayanti Umar.

Karena menurut Jayanti, tidak hanya mengadukan ke BK saja, sebab ia menilai terpilihnya Mori Hanafi sebagai ketua KONI dianggap sudah menabrak sejumlah aturan. Terkait soal UU tentang keolaragaan hanya mengatur masalah penyelenggaraan olahraga. Bukan masalah pengurus KONI. “Itukan masalah penyelenggaraan olahraga. Bukan masalah aturan pengurus KONI, Coba baca terkait dengan UU MD 3 dan  hampir sama dengan aturan yang lain, bahwa pejabat publik termasuk DPRD yang menjadi pengurus badan/lembaga yang mendapat anggaran dari pemerintah daerah dilarang sebagai ketua,” jelasnya.

Menurutnya, sejauh ini belum ada aturan yang mem perbolehkan pejabat publik termasuk DPRD yang menjadi pengurus badan/lembaga. Karena semua aturan melarang. “Ya tetep dilarang, sumber anggaran KONI Provinsi kan dari pemprov, yang membahas anggaran itu kan DPR juga,” katanya.

Ia juga mencontohkan salah satu kasus yang terjadi di Lombok Tengah. Dulu ada anggota DPRD di Lombok Tengah yang jadi ketua dan pengurus KONI ramai-ramai mundur karena terkait dengan itu. Sebab belum ada aturan yang memperbolehkan. “Tidak ada aturan terbaru yang membolehkan, mungkin kalau boleh sudah ramai-ramai DPR RI memperebutkan jadi ketua pusat,” tambahnya.

Untuk itu, untuk mengawal laporan yang sudah dan akan dimasukan ke PTUN dan Baori pihaknya akan mengelar aksi pada minggu depan. Karena menurutnya hal tersebut harus dilawan bagi anggota DPRD yang diduga melanggar UU. “Kami minggu depan juga akan aksi, Ini harus dilawan. Seharusnya mereka jadi contoh penegakan aturan,” pungkasnya. (sal)

Komentar Anda