Derita Nelayan dan Siasat Bos Besar

Agus Saputra, 47 tahun tidak berkutik begitu petugas Bea Cukai dan Intel Kodim  620 Lombok Tengah mengamankannya. Saat itu,Agus hendak naik pesawat Silk Air dengan tujuan Singapura di Bandara Internasional Lombok (BIL) akhir Mei 2016 lalu.

Dari koper yang dibawa warga  asal Kampung Gugunung RT 004 RW 007 Kelurahan Banjarsari Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ditemukan bibit lobster sebanyak  6.250 ekor yang disimpan menggunakan plastik bening dengan diisi air dan oksigen.

Agus salah satu dari beberapa pelaku penyelundupan yang berhasil ditangkap petugas. Para pelaku ini adalah kurir yang dibayar  oleh pemilik lobster untuk mengantarkan bibit lobster ini  ke Singapura.  ‘’ Saya tahu isinya lobster dan akan saya bawa menuju Singapura. Saya rencananya berada disana (Singapura, red) selama dua hari dan dikasi upah Rp 2 juta selama dua hari tersebut,’’ ungkap Lalu   Darmawulan, 31 tahun warga Kangi Desa Penujak Kecamatan Praya Barat Loteng pelaku penyelundupan 7 ribu ekor bibit lobster.

Sebelum tertangkap, Damarwulan  pernah dua kali mengirim lobster keluar negeri melalui bandara dan berhasil mengelabui petugas.  Namun, dalam pengiriman sebelumnya disebutnya dalam jumlah yang lebih kecil. ‘’ Ini yang ketiga kali. Yang pertama dan kedua berhasil tapi jumlah lobsternya lebih sedikit antara 3 ribu sampai 4 ribu benih lobster,’’ terangnya.

 
BACA JUGA:

 

Penyelundupan bibit lobster melalui BIL tujuan Vietnam melalui Singapura, sudah beberapa kali terungkap. Kantor Bea Cukai Kota Mataram mencatat ada tiga kasus penyelundupan bibit lobster melalui BIL berhasil digagalkan dalam enam bulan terakhir dengan barang bukti 31.625 bibit lobster.

Modus para pelaku menyembunyikan bibit lobster ini di dalam koper. Bibit lobster ini diisi di dalam kantong plastik yang diberi air dan oksigen. Mereka mengelabuhi petugas seolah-olah koper ini berisi pakaian.

Baca Juga :  Ali BD: Jangankan Lobster, Angin Kalau Bisa Dijual, Kita Jual

Selain melalui BIL, penyelundupan juga melalui jalur darat. Bibit lobster ini  dibawa menggunakan kendaraan melalui pelabuhan Lembar menuju Bali selanjutnya Surabaya. Dari Surabaya, lalu akan dibawa Singapura dan diteruskan ke Vietnam. Aksi penyelundupan melalui jalur darat ini pernah digagalkan Balai Karantina Ikan Wilker Lembar bersama aparat kepolisian. Saat itu petugas mengamankan   7.984 ekor. ''Penyelundupan bibit lobster ini seperti gunung es, yang terungkap hanya sedikit saja,'' tutur Rusman pengepul bibit lobster yang kini beralih ke ikan kerapu ini. 

Penyelundupan bibit lobster ini  marak paska   terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 tahun 2015 tentang larangan penangkapan lobster, kepiting dan rajungan. Terbitnya Peraturan Menteri ini menyebabkan 7 ribu lebih nelayan lobster kehilangan pekerjaannya. Sebagian besar berada di Lombok bagian selatan.  Para nelayan menggantungkan hidupnya dari penangkapan bibit lobster untuk dijual.  Sejak lama masyarakat disana menghidupi anak dan istri dari lobster. Biaya hidup dan pendidikan anak juga didapatkan dari pekerjaan menangkap bibit lobster. 

Di sisi lain harga bibit lobster di luar negeri sangat menggiurkan. Di pasaran luar negeri, harga paling rendah untuk satu ekor bibit lobster  mencapai 10 dolar Amerika Serikat. Sementara harga di tingkat nelayan bekisar Rp 10 ribu sampai Rp 30 ribu per ekor. Bahkan kini anjlok sampai Rp 3 ribu per ekor. '' Pengusaha Vietnam berani membelinya bahkan dengan harga lebih mahal karena tahu bibit lobster dari Lombok dianggap yang terbaik,'' terang Rusman.

Taufik Hidayat warga pesisir  Lombok Selatan   tahu banyak tentang penyelundupan bibit lobster ini. Taufik menentang keras diberlakukannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan  karena akan membunuh sumber penghidupan nelayan. Saat ditemui, Taufik tidak heran dengan beberapa kurir yang telah ditangkap. Namun itu hanya secuil dari jumlah ekspor yang berhasil. “Saya tanya, emang sudah berapa kali ada penangkapan ? Orang ekspor bibit lobster itu dalam seminggu bisa 4 sampai 5 kali, tapi jarang kok mereka ketangkap,” ujarnya.

Baca Juga :  Penyelundupan Lobster Terkait Kesejahteraan

Ekspor bibit lobster bebernya, dilakukan oleh mafia kelas kakap yang telah menguasai semuanya. Bos besar di Jakarta memiliki orang-orang di tingkat nelayan, di bandara  dan semua lini. “Ini mafia , ini soal uang ratusan miliar perbulan. Ini mengalahkan bisnis narkoba, oknum maskapai juga ada kok terlibat,” bebernya.

Tidak hanya itu, para penampung lokal bisa bebas membeli bibit lobster juga karena tetap menyetor ke oknum-oknum petugas. Hal itu juga dapat dilihat jarangnya para pemilik bibit lobster ditangkap, kasusnya seringkali terekspos sampai kurir saja. Sementara bos besar tetap dalam posisi aman dengan jaringannya.

Orang-orang yang berhasil ditangkap, tidak terlepas dari persaingan bisnis dua bos besar. Terkadang merekalah yang membocorkan informasi ke petugas, sehingga saingan bisnis mengalami kerugian. “Saya tidak perlu sebutkan secara rinci institusi mana saja yang ada oknumnya bermain, kita sama-sama tahu lah,” katanya.

Lebih dalam diungkapkan, praktek ekspor bibit lobster lebih banyak berhasil dibandingkan yang gagal. Hal itu disebabkan, pada setiap pengawasan ada oknum yang membantu semua itu. “Misalnya saja di bandara, mereka akan kirim barang saat orangnya mereka bertugas. Jadi dengan rapi bisa lolos, ini semua sudah diatur dan dikondisikan kok,” ucapnya.

Dicontohkan, saat ada penangkapan beberapa waktu yang lalu, sebenarnya si kurir sempat dihubungi oleh salah satu penampung lokal agar segera pergi dari BIL karena akan ada penangkapan. Apabila aparat serius ingin membongkar dan menghentikan semua ini, pemilik bibit lobster akan dengan mudah diketahui, termasuk menjerat bos besar di Jakarta. Namun sindikat penyelundupan bibit lobster memiliki uang banyak yang bisa melakukan apapun agar tidak tersentuh hukum.(zwr)

Komentar Anda