Cukong Besar Kuasai Bisnis Lobster

MATARAM – Wilayah Lombok Selatan dikenal dengan kemarau, lahan gersang dan lebih terbelakang. Namun di tengah kekurangan itu, kekayaan alam dan lautnya sungguh membanggakan. Salah satu anugrah yang diberikan oleh Tuhan yaitu berkembangnya biota laut bernilai tinggi seperti lobster (Panulirus spp).

Lobster hanya ditemukan di lautan Lombok Selatan, untuk di Lombok Tengah ada di Pantai Gerupuk, Selong Belanak dan Teluk Awang. Sedangkan di Lombok Timur banyak nelayan lobster di teluk Ekas dan Batu Nampar maupun Batu Nampar Selatan.

 Di Lombok Timur sendiri, masyarakat pesisir telah menggeluti lobster sejak puluhan tahun silam. Awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan antar daerah, namun akhirnya bisa sampai dijual keluar negera Vietnam dengan keuntungan fantastis. Sayangnya semua kenikmatan itu tidak berlangsung lama. Keluarnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) Nomor 1/Permen-KP/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan telah merenggutnya.

 Sebelum Permen-KP keluar, perdagangan lobster asal NTB dikuasai satu pengusaha besar yang disebut nelayan sebagai bos  besar asal Jakarta. Semua bibit lobster di Lombok Timur  maupun Lombok Tengah berada dalam genggamannya. Para nelayan juga sangat dimudahkan, karena bos besar tersebut memiliki kaki tangan sampai tingkat bawah.

Baca Juga :  Penyelundupan Lobster Terkait Kesejahteraan

Setelah Permen-KP diberlakukan, antara nelayan Lombok Timur dan Lombok Tengah memiliki bos yang berbeda. Muncul 2 orang bos besar yang bersaing untuk bisa mendapatkan bibit lobster dari para nelayan.

Adanya larangan ekspor bibit lobster bukan mengakhiri bisnis yang telah lama berjalan. Kedua bos besar tersebut mengatur semuanya agar tetap bisa melakukan pengiriman ke Vietnam. Sistem pendukung ala mafia disiapkan, disemua tingkatan sudah ada orang-orang yang dipasang.

Di tingkat nelayan, para penampung lokal (pengepul) merupakan orang setia. Mereka yang masih eksis berbisnis bibit lobster untuk diekspor diberikan banyak modal hingga puluhan miliar per bulan. Sedangkan uang yang beredar sampai ekspor ke Vietnam mencapai ratusan miliar per bulan.

Mantan penampung lokal (pengepul) yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Batu Nampar Selatan, Mahnan Rasulli mengungkapkan, dulunya banyak penampung lokal yang tersebar di Batu Nampar, Ekas, Awang dan Grupuk. Setelah ada larangan, tinggal beberapa orang saja yang masih aktif melanjutkan bisnis tersebut.

Para penampung mendapatkan lobster dari nelayan, kemudian langsung dikirim ke eksportir atau yang biasa disebut bos besar. Selanjutnya bibit lobster dijual ke Vietnam melalui Singapura atau Malaysia. “Bibit lobster hanya dikirim ke Vietnam saja, kalau Singapura dan Malaysia sebagai tempat transit,” terang Mahnan Rasuli saat ditemuii Radar Lombok di rumah kediamannya, kemarin.

Baca Juga :  Nelayan NTB Ajukan Tiga Solusi

 Mahnan Ruslis menyebut masyarakatnya sekitar 80 persen merupakan nelayan lobster awalnya, kini menjadi menderita. Saat ini lanjutnya, sekitar 40 persen saja masyarakat Batu Nampar Selatan yang masih menangkap bibit lobster. Tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk menyambung hidup dan membayar hutang. “Terkadang saya bersyukur karena masih ada penampung lokal mau beli, terkadang juga saya bingung karena ini melanggar aturan,” ucapnya.

 Jumlah penampung lokal di Batu Nampar tinggal 5 orang, di Desa Ekas 4 orang, Awang 7 orang dan Gerupuk tersisa 2 orang. Merekalah yang masih membeli bibit-bibit lobster ke nelayan, kemudian mengirimnya ke bos besar untuk diekspor.

Menurut Mahnan, soal ekspor bibit lobster akan sulit diberangus. Pasalnya terlalu banyak oknum terlibat. “Saya tidak bisa berbicara terlalu banyak, kan posisi saya kepala desa disini,” sarannya. (zwr)

Komentar Anda