Warga Kembali Pagar Akses Jalan Sirkuit Mandalika

DIPAGAR: Warga saat melakukan pemagaran bypass di Dusun Ebangah, Desa Sengkol Kecamatan Pujut, Senin (3/1) ( M HAERUDDIN/RADAR LOMBOK )

PRAYAWarga yang mengklaim lahannya masih belum dibebaskan kembali melakukan aksi pemagaran di akses jalur akses bypass menuju Pertamina Mandalika International Street Circuit. Pemagaran dilakukan di jalan Dusun Ebangah Desa Sengkol  Kecamatan Pujut.

Pemagaran dilakukan untuk kesekian kalinya oleh para warga akibat tututan mereka karena pembebasan lahan oleh pihak PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) selaku pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, tak kunjung bisa diselesaikan. Sampai saat ini ada beberapa lahan milik warga yang masuk menjadi jalan pendukung bypass dan masih bermasalah.

Salah seorang keluarga pemilik lahan, Senan menegaskan, pemagaran ulang dilakukan warga karena pihak ITDC tidak mengindahkan tuntutan warga yang meminta penyelesaian lahan mereka diselesaikan. Ironisnya, bukan malah menyelesaikan lahan tapi malah pihak ITDC sudah melakukan clearing beberapa waktu lalu. “Kami lakukan pemagaran ulang hari ini (Senin, red) di lokasi tanah di Ebangah yang merupakan jalur akses bypass sirkuit yang sudah di-clearing oleh PT ITDC pada 31 Agustus 2021 lalu. Pemagaran ini sebagai bentuk protes kami para pemilik tanah yang sampai hari belum ada realisasi, bahkan diabaikan PT ITDC,” ungkap Senan kepada Radar Lombok, Senin (3/1).

Senan mengaku, mereka yang memiliki tanah yang berlokasi di Ebangah di antaranya atas nama Amaq Mae, Haji Gazali di bukit Jokowi dan Lalu Basarudin di Ebangah. Sementara yang melakukan pemagaran ulang yakni tanah milik Asip Azhar atau Amaq Mae atau H Abdul Mutalib yang berlokasi di Dusun Ebangah Desa Sengkol. Di mana di lokasi tanah mereka ini pernah di-clearing paksa oleh PT ITDC pada 31 Agustus 2021. “Namun PT ITDC kami anggap lalai menyelesaikan permasalahan tersebut hingga hari ini  kami lakukan pemagaran ulang. Karena dari PT ITDC tidak ada kemaun menyelesaikan masalah dan kami bersama Lembaga SWIM, PAM Swakarsa Kumpul, PAM Swakarsa Bumi Gora bersama semua keluarga memagar ulang karena kami butuh penyelesaian, bukan janji-janji manis,” tagihnya.

Baca Juga :  Antisipasi Omicron XBB, Pengawasan BIZAM Diperketat

Sementara itu, Asip Azhar alias Amaq Mae menegaskan, apa yang mereka lakukan ini bukan karena tidak mendukung program pemerintah. Mereka bahkan sangat menyambut baik berbagai pembangunan yang ada. Hanya saja pihaknya meminta agar lahan mereka dibayar. “Kami hanya meminta agar dibayar dan terkait harga itu kita serahkan ke tim appraisal,” ungkapnya.

Seperti pemberitaan sebelumnya, Amaq Mae menceritakan tanah yang dikuasai ini dari tahun 1963. Waktu itu, dia membuka hutan belantara dengan bermodalkan parang, kapak dan alat pertanian lainnya hingga lahan tersebut dapat ia manfaatkan menjadi lahan pertanian atupun lahan perkebunan. “Jenis tanaman yang saya tanami yaitu berupa padi padian, palawija dan kelapa pada masa itu,” tuturnya.

Setelah sembilan tahun lamanya hingga akhirnya pada tahun 1974 pada masa pemerintahan Haji Gatot Suherman sebagai  Gubernur NTB, Lalu Sri Gede sebagai Bupati Lombok Tengah, Muliadi BA sebagai Ketua Panitia Landre Form Kabupaten Lombok Tengah. Saat itu mereka menerbitkan surat izin mengerjakan tanah nomor .85/PJ/1974 pada 05 Juli  1974. “Pada masa itu, pemerintah bersama Panitia Landre Form menerbitkan surat izin menggarap tanah sesuai dengan keputusan Menteri Agraria pada 22 Agustus  1961 nomor SK  509 dan Peraturan Pemeritah pada 19 September 1961 nomor 224 tahun 1961,” terangnya.

Selain itu, ada surat keputusan Kepala Daerah  Lombok Tengah pada 9 Oktober 1970 nomor Pemb. 5/8/530 dan pada 9 tahun 1970 nomor Pemb.5/8/539  yang diberikan kepada  Mamiq Basarudin. Kemudian pada 18 Agustus 1980 Kepala Desa Sengkol Kecamatan Pujut menerbitkan  surat  keterangan dan pernyataan SKPT/SIM Stempel garuda merah 25 rupiah. “Hingga dari tahun 1994 setelah masuknya PT RTDC, kami selaku pemilik tanah tidak diizinkan membuat SPPT hingga sekarang. Pada tahun 1991 sampai 1993  PT RTDC masa itu menggati rugi sebagian warga dengan harga  pada masa itu Rp 100.000/are. Namun saya pada masa itu masih bertahan tidak menjual karena saya tidak menyetujui dengan harga yang distandarkan oleh PT RTDC yang masa itu dipandu dengan SK Gubernur NTB yang berbunyi kurang lebih tidak boleh diwakili dalam bertransaksi ataupun jual beli ataupun ganti tanah,” tegasnya.

Baca Juga :  Evaluasi Kemendagri, Pj Gubernur Diminta Jaga Netralitas

PT RTDC pada tahun 1994 meninggalkan wilayah dan diganti oleh PT LTDC. Selanjutnya PT LTDC hengkang diganti lagi oleh PT ITDC, hingga pada 29 oktober 2018  Gubernur NTB menerbitkan SK dengsan Nomor : 120/320/Pem/2018 terkait status tanah yang tersebut di atas yaitu enclave  atas nama dirinya (Amaq Mae, red) terdaftar di nomor urut delapan dengan luas tanah seluas 12 hektare. “Tahun 2021 tepatnya 21 Juli kami dimediasi untuk bersosialisasi dengan dan oleh PT  ITDC terkait penjelasan tanah HPL. Tapi tidak menemukan titik temu yang sepaham antara saya dan pihak perusahaan ITDC,” terangnya.

Mereka dimediasi kembali sebanyak dua kali namun tidak menemukan titik temu juga antara kedua belah pihak yaitu pemilik tanah dan PT ITDC hingga terjadi penggusuran  tanahnya  secara paksa oleh pihak  ITDC. “Saat kami beserta keluarga melakukan perlawanan terhadap pihak perusahaan yang kami dokumetasi dalam bentuk video. Kami hanya  mendapat  kegagalan dalam hal pencegahan proses penggusuran tersebut sebagai bukti kami mempertahan hak kami sebagai pemilik lahan,” terangnya.( met)

Komentar Anda