Terdakwa Korupsi RSUD KLU Minta Dilepas

SIDANG : Empat terdakwa dugaan korupsi proyek pembangunan pengadaan ruang operasi dan ICU RSUD KLU menhajukan eksepsi. (ABDURRASYID EFRNDI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Sidang dugaan kasus korupsi pengadaan ruang operasi dan ICU RSUD Kabupaten Lombok Utara tahun 2019 kembali bergulir dengan agenda pembacaan eksepsi di PN Mataram, Kamis (16/6). Dalam sidang tersebut, para penasihat hukum dari masing-masing terdakwa meminta majelis hakim untuk melepaskan terdakwa dari dakwaan JPU Kejati NTB.

Terdakwa Syamsul Hidayat melalui penasihat hukumnya, Hijrat Priyatno mengatakan, setelah mempelajari satu per satu maksud dan isi dari dakwaan JPU kabur dan tidak jelas sesuai yang sudah dibacakan pada persidangan sebelumnya tanggal 9 Juni 2022. Karena JPU mendakwa terdakwa sebagai Direktur RSUD KLU selaku pengguna anggaran secara bersama-sama dengan saksi E Bakri selaku PPK, saksi Darsito sebagai kuasa Direktur PT Agro Megatama (penyedia) dan saksi Sulakasno Darmaputra sebagai Direktur CV Citra Pandu Utama (selaku konsultan pengawas) telah mengakibatkan kerugian keuangan negara tanpa merinci dan menjelaskan tentang tugas dan tanggung jawab terdakwa. Juga bagaimana cara terdakwa melakukan tindak pidana korupsi yang mengakitban kerugian negara. karena terdakwa sebagai direktur RSUD KLU sekaligus selaku pengguna anggaran telah mendelegasikan kewenangan dalam pekerjaan penambahan ruang operasi dan ICU RSUD KLU tahun anggran 2019.

Dalam hal ini, rincian dan tugas terdakwa sebagai direktur RSUD KLU selaku pengguna anggaran serta uraian secara tidak jelas dan terang bagaimana terdakwa merugikan negara tidak dijelaskan oleh JPU dalam surat dakwaannya. “Oleh karena itu, dakwaan JPU dinyatakan kabur dan tidak jelas. Maka mohon dinyatakan batal demi hukum,” pintanya.

Dalam perkara ini, jaksa menentukan adanya kerugian keuangan negara sebesar Rp.1,5 miliar berdasarkan perhitungan Inspektorat Provinsi NTB. Padahal sebagaimana dicantumkan JPU dalam dakwaannya bahwa proyek pembangunan pengadaan ruang operasi dan ICU RSUD KLU anggaran tahun 2019 telah diaudit BPK RI. Di mana hasil audit itu menyatakan bahwa ditemukan adanya kelebihan pembayaran senilai Rp 212 juta. Atas temuan BPK RI tersebut, PT Agro Megatama telah mengembalikan temuan kekurangan volume dalam proyek itu dengan cara disetor ke kas daerah KLU melalui rekening Bank NTB Syariah cabang Tanjung. “Dengan demikian, terdakwa telah menjalankan tugas dan kewajiban dengan baik. Terbukti dengan adanya pengembalian kelebihan pembayaran sebesar Rp 212 juta,” imbuhnya.

Karena itu, dalam perhitungan kerugian negara yang dilakukan Inspektorat NTB tidak dapat dijadikan dasar untuk menghitung kerugian negara seperti yang tercantum dalam surat dakwaan terdakwa. ‘’Maka mohon surat dakwaan jaksa dinyatakan batal demi hukum,’’ sambung Hijrat.

Baca Juga :  BPPD NTB Dilaporkan ke Polda

Dalam perkara ini, sudah terbit dua hasil audit berbeda yang dilakukan BPK RI dan Inspektorat NTB. BPK RI menemukan kelebihan pembayaran senilai Rp 212 juta dan hasil audit sudah dikembalikan ke kas daerah KLU melalui rekening Bank NTB Syariah cabang Tanjung. Setelah dalam jangka waktu satu tahun, dilakukan audit kembali oleh Inspektorat NTB dengan menemukan kelebihan pembayaran dan menyebutkan adanya kerugian negara sebesar Rp 1,5 miliar. “Bagaimana mungkin BPK dikoreksi hasil auditnya oleh lembaga di bawahnya, yaitu Inspektorat NTB yang hanya dibentuk oleh peraturan gubernur. Oleh karena itu, dakwaan jaksa dinyatakan batal karena tidak jelas,” tukasnya.

Karenanya, Hijrat kembali memohon kepada majelis hakim dan anggota untuk mengabulkan eksepsi terdakwa dan mengeluarkan terdakwa dari rumah tanahan, membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan, dan memulihkan hak terdakwa.

Hijrat lantas melanjutkan eksepsi atas terdakwa Darsito. Dalam nota keberatannya menyatakan, bahwa terdakwa bertindak untuk dan atas nama Direktur PT Apro Megatama sesuai akta surat kuasa dan hanya melakukan penjanjian adendum surat perjanjian kerja untuk menyelesaikan pembangunan ruang  ICU RSUD KLU tahun 2019 sesuai dengan kontrak. “Oleh karena itu, dakwaan JPU terhadap terdakwa maka mohon dakwaan JPU dinyatakan kabur dan tidak jelas,” sambungnya.

Sedangkan terdakwa Sulaksono Darmaputra melaui PH Ahmad Efendi juga mengajukan keberatan terhadap dakwaan JPU dikarenakan dakwaan JPU kabur dan tidak jelas. Bahwa uraian dakwaan subsider dalam surat dakwaan perkara adalah sama dengan dakwaan primer. Untuk itu, mengingatkan agar JPU dalam menguraikan dakwaan subsider tidak menyalin ulang dakwaan primer. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya dakwaan tersebut batal demi hukum. “Bahwa uraian dakwaan JPU juga tidak cermat. Di mana unsur tindak pidana yang dilaporkan dalam dakwaan primer dan subsider adalah sama. Sedangkan pasal pidana yang didakwakan berbeda. Sudah jelas dakwaan JPU kabur dan tidak cermat serta cacat hukum,” sebutnya.

Mengenai surat dakwaan JPU, bahwa dari materil dari dakwaan harus dibuat secara cermat, lengkap dan jelas. Maka sepatutnya surat dakwaan JPU dinyatakan batal secara hukum. “Kami mengajukan agar Majelis Hakim menerima dan mengakulkan eksepsi keberatan terdakwa untuk seluruhnya, menyatakan dakwaan JPU tidak cermat dan lengkap dan memerintahkan JPU mengeluarkan terdakwa dari tahanan,” katanya.

Baca Juga :  Ngidam Tak Dituruti, Mahasiswi Gugurkan Janin

Sementara, terdakwa E Bakri melalui PH-nya mangatakan persoalan penambahan proyek pembangunan ruang operasi dan  ICU RSUD KLU tahun 2019 sesungguhnya sudah selesai berdasarkan pembayaran kekurangan volume pekerjaan yang dikerjaan oleh penyedia. Proyek tersebut sudah selesai dikerjakan berdasarkan dokumen serah terima sementara (THO) pada sekitar bulan Februari pada tahun 2020 lalu. “Terhadap pekerjaan ini, telah pula dilakukan pemeriksaan secara detail dan menyeluruh oleh lembaga yang berwenang dan kridbel, yakni BPK RI. Hasil audit yang dilakukan ditemukan adanya kekurangan volume atau kelebihan pembayaran sebesar Rp 212 juta,” bebernya.

Terkait dengan temuan BPK RI tersebut telah dilakukn pengembalian. Hak tersebut juga diakui oleh JPU dalam surat dakwaannya. Maka segala persoalan dalam pembangunan proyek tersebut sudah selesai, begitu juga dengan akibat hukumnya. Sehingga tidak ada alasan secara hukum untuk menganulir peristiwa hukum dalam proses audit pemeriksaan yang telah dilkukan oleh BPK. “Tidak sepantasnya pula permasalahn ini bergulir ke ranah hukum sebagaimna yang terjadi saat ini,” sesalnya.

Dengan demikian, dakwaan JPU adalah dakwaan yang tidak jelas dan tidak cermat. Sehingga audah sepatutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa surat dakwaan JPU batal demi hukum.

Dalam dakwaan JPU, tidak ada yang menyebutkan bahwa barang yang digunakan terdakwa untuk atau yang diproleh dari perbuatan pidana yang didakwakan. Tidak pula ada fakta bahwa ada harta yang diproleh terdakwa dari hasil korupsi. Sehingga pencantuman pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU No. 20 tahun 2021 tentang perubahan UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam masalah ini adalah sesuatu yang tidak logis dan rasioredisnya. Karena JPU dalam dakwaannya tidak pernah menyebutkan harta benda terdakwa yang diproleh dari tindak pidana korupsi.

Dengan ini menyatakan, dakwaan JPU tidak dapat diterima atau batal demi hukum. Dan memohon kepada Majelis Hakim mengakhiri perkara terdakwa E Bakri. “Kami meminta eksepsi terdakwa diterima, dakwaan JPU tidak dapat diterima, dakwaan JPU batal demi hukum, membebaskan terdakwa dari rutan dan membebaskas biaya yang timbul dalam perkara ini,” pintanya.

JPU yang mendengar nota keberatan dari para terdakwa mengajukan untuk menanggapinya pada pekan depan. Permintaan JPU pun dipenuhi oleh Majelis Hakim dan menjadwalkannya pada tanggal 22 Juni mendatang. (cr-sid)

Komentar Anda