Mutawalli Sebut Pencairan Dana Perintah Manggaukang

Penetapan Tersangka Harus Didahului SPDP

Kasus Merger BPR
BERSAKSI : Mantan Dirut PD BPR Lotim Mutawalli (kanan) dan ahli hukum Universitas Mataram (Unram) Prof Amirudin saat bersaksi di sidang praperadilan di PN Mataram, Kamis kemarin (8/3). (Ali Ma'shum/Radar Lombok)

MATARAM — Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Daerah (PD) BPR NTB Sumbawa, Ikhwan tersangka  kasus dugaan korupsi penyalahgunaan dana penggabungan (merger) PD BPR menjadi PT BPR NTB  mengajukan tambahan bukti dan saksi ahli di sidang prapradilan melawan Kejaksaan Tinggi (Kejati)  di Pengadilan Negeri (PN) Mataram.

Baca Juga :  Dua Tersangka BPR Ditahan

Bukti yang dihadirkan oleh pemohon sebanyak 23 item.Termohon kemudian juga menyerahkan jawaban berupa bukti. Sebanyak satu kardus berkas ditunjukkan kepada majelis. Hampir satu jam bukti ini diperiksa oleh hakim tunggal Ferdinand M Leander.

Selanjutnya, dua orang saksi dihadirkan oleh pemohon yaitu mantan Dirut PD BPR Lotim dan Prof Dr Amirudin, ahli hukum Univeristas Mataram (Unram).

Prof Amirudin didengarkan keterangannya terlebih dahulu. Penasehat hukum pemohon meminta penjelasan prosedur penetapan tersangka. Amirudin menjelaskan sesuai pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan adalah  serangkaian kegiatan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga tindak pidana. ” Jadi apakah peristiwa pidana ada atau tidak, baru dilanjutkan dalam pasal yang sama guna menentukan dapat dilakukan penyidikan. Keluarlah surat perintah penyidikan (sprindik),’’ ujarnya di depan persidangan di PN Mataram, Kamis kemarin (8/3). 

Setelah itu dikeluarkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Sesuai pasal 4 angka 2 KUHAP, penyidikan ini untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti. Berdasarkan hal tersebut kemudian dilanjutkan untuk menentukan tersangka.  Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), penetapan tersangka ini setelah mendapatkan sekurang-kurangnya dua alat bukti. ” Baru kemudian bisa ditetapkan tersangka. Tapi tidak serta merta minimal dua alat bukti tadi. Tapi ada indikator lainnya. Waktu ditetapkannya tersangka itu juga menentukan. Karena penetapan tersangka ini harus di tahap penyidikan. Bukan lainnya,”  jelasnya.

Dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan dana penggabungan (merger) PD BPR menjadi PT BPR NTB,  Ikhwan ditetapkan tersangka oleh kejaksan lebih dulu daripada SPDP. 

Baca Juga :  Gubernur Anulir Usulan Nama Pejabat PT BPR

Ikhwan ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 6 Februari 2018. Sedangkan SPDP dikeluarkan tanggal 13 Februari 2018. Menurut ahli,harusnya SPDP dikeluarkan terlebih dahulu baru kemudian menetapkan tersangka. ” Menurut saya ini ada yang miss (keliru). Harusnya setelah penyelidikan diterbitkan SPDP. Di SPDP inilah kemudian mengumpulkan alat bukti. Berdasarkan itu baru penetapan tersangka. Harusnya seperti itu sesuai dengan KUHAP,” ungkapnya.

Termohon dalam hal ini Kejati NTB  yang diwakili oleh jaksa Supardin langsung melakukan bantahan. Kejaksaan sebelumnya sudah mengeluarkan SPDP sebanyak dua kali. Pertama  SPDP nomor 5a tanggal 21 Agustus 2017. Kemudian diperpanjang lagi dengan SPDP nomor 5a tanggal 21 Oktober 2017. Termohon kemudian menyimpulkan SPDP sudah dikeluarkan lebih dulu sebelum penetapan tersangka. 

Ahli beserta pemohon dan termohon kemudian maju kedepan meja hakim untuk membaca SPDP yang dimaksud. Setelah itu ahli menyebut, SPDP tanggal 13 Februari 2018 adalah SPDP baru bukan SPDP perpanjangan. Dikarenakan SPDP tanggal 13 Februari 2018 itu nomornya berbeda dengan SPDP sebelumnya. Tertuang dalam SPDP itu dengan nomor 1 tanggal 13 Februari 2018.” Ini sprindik baru bukan perpanjangan. Karena nomornya berbeda. Harusnya nomornya tetap sama dengan nomor 5a,’’ jelasnya.

Ahli kemudian menerangkan, merujuk pasal 1 butir 2 KUHP Penetapan tersangka pada tahap penyidikan Harus didahului dengan dikeluarkannya SPDP. Setelah SPDP dimunculkan, baru kemudian tersangka ditetapkan. ‘’ Tidak bisa penetapan tersangka baru keluarkan SPDP. Analoginya begini, ada mahasiswa saya belum ujian tapi sudah saya nyatakan lulus. Kan tidak bisa seperti itu,’’ katanya.

Terkait posisi  seseorang yang hanya mengetahui, apakah bisa dimintai pertanggungjawaban. Ahli menjawab hal ini sudah masuk atau berkaitan hukum administrasi.  Dianalogikannya, ketika seseorang menjabat sebagai dekan. Kemudian ada mahasiwa mem-foto copy ijazahnya dan diketahui oleh dekan. Hasilnya ternyata yang difoto copy ternyata ijazah palsu, maka dekan tersebut menurutnya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.  ‘’ Jika itu ternyata palsu ya bukan tanggung jawab yang mengetahui,’’ sebutnya.

Baca Juga :  Akta Notaris Belum Keluar, Izin BPR Terlambat

Penasehat hukum termohon kemudian menanyakan adanya SPDP yang dikeluarkan termohon tapi tersangkanya atas nama orang lain. bisa dibenarkan dan sah. Ahli menyerahkannya ke majelis hakim.‘’ Kalau itu saya serahkan kepada majelis hakim yang nantinya menilai. Karena subjek hukumnya tidak tepat,’’ ungkapnya.

Setelah Prof Amirudin memberikan ke keterangannya, lalu giliran mantan dirut BPR NTB Lotim Mutawalli.  Pemohon menanyakan proses merger PD BPR sesuai dengan bukti P23 yang diserahkan ke persidangan. Mutawalli mengatakan, selam proses konsolidasi, penggunaan dana merger BPR dilakukan atas perintahkan oleh kepala biro ekonomi Pemprov NTB Manggaukang Raba. ” Pemohon tidak pernah melakukan pembayaran dan transaksi apapun tapi itu atas perintah kepala biro ekonomi Manggaukang Raba,’’ jelasnya.

Selanjutnya mengenai pengadaan barang atau server BPR, Ikhawan tidak pernah memerintahkan untuk melakukan pembelian. Semua proses konsolidasi, fungsi pengarah selalu memerintahkan dalam rangka percepatan. Sedangkan pemohon selaku ketua tim konsolidasi hanya sebagai penerima perintah. Sementara pengadaan server, pemohon tidak terlibat secara langsung. ” Karena tim itu sudah terbagai. Ada tim legalitas, tim IT dan lainnya,’’ jelasnya.

Ia menyampaikan, pemohon bukan pimpinan dari semua tim.  Karena dalam SK Gubernur NTB sudah tertuang jelas, struktur teratas diisi oleh Asiten II sebagai pelindung penasehat. Kemudian kepala biro ekonomi sebagai pengarah. ” Baru kemudian ada ketua tim. Jadi disini sudah jelas kami tidak memiliki  tupoksi atau job description. Cuma pembagian tugas tiga tim yang sudah dibagi,’’ Jelasnya.

Baca Juga :  Dewan-Eksekutif Disebut Kecipratan Duit BPR, Saksi Beber Peran Manggaukang

Mutawalli juga menyebut segala biaya  dikeluarkan oleh tim konsolidasi dibebankan kepada delapan PD BPR NTB. Tim sudah menyusun rencana anggaran yang tertuang dalam Term of Reference (TOR) tapi tidak ada item anggaran untuk biaya merger BPR. ‘’ Jadi disana tidak ada sama sekali untuk biaya merger ataupun biaya pengadaan IT,’’ pungkasnya.(gal)

Komentar Anda