KPPU Putuskan Ada Monopoli Proyek di NTB

MATARAM – Dugaan adanya praktek monopoli proyek yang terjadi di Provinsi NTB akhirnya terbukti.  Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan bahwa ada monopoli proyek di Balai Pelaksanaan Jalan Nasional  Wilayah VIII Provinsi NTB tahun 2015.  Kepala KPPU Kantor Perwakilan Surabaya Aru Armando mengungkapkan, Majelis Komisi KPPU telah  selesai melakukan pemeriksaan terhadap Perkara Nomor 20/KPPU-L/2015 tentang Dugaan Pelanggaran  Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. “Tanggal 14 September kemarin sudah diputuskan, memang terbukti ada persekongkolan,” ungkapnya kepada Radar Lombok saat dihubungi, Minggu  kemarin (18/9).

Perkara ini berawal dari adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor I PT Lombok Infrasturktur Utama, terlapor II PT Bunga Raya Lestari, terlapor III PT Aria Jaya Raya dan terlapor IV yang merupakan Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Konstruksi di Lingkungan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Provinsi NTB tahun 2015. Kemudian KPPU RI melakukan penyelidikan secara mendalam.

Disampaikan Aru Armando, majelis komisi menilai telah terjadi persekongkolan pada proyek  pembangunan jalan bypass Bandara Internasional Lombok (BIL) Paket 1  yakni Gerung- Mataram  senilai Rp 77,0 miliar yang dimenangkan terlapor I.  Pembangunan jalan Gerung (Patung Sapi) – Mataram 2 senilai Rp 35 miliar yang dimenangkan oleh terlapor III,jalan Gerung (Patung Sapi) – Mataram 4 senilai Rp 77 miliar  yang dimenangkan oleh terlapor I dan paket pelebaran jalan Keruak-Pantai Ping-Tanjung Ringgit 02  senilai Rp 51,9 miliar yang dimenangkan oleh terlapor II. “Terlapor IV atau ULP yang berperan jadi fasilitator,” bebernya.

Baca Juga :  Proyek Jalan Pengantap-Kuta Dilanjutkan

Kerja sama terlapor I, terlapor II dan terlapor III dalam keempat paket tender tersebut dilakukan pada saat pendaftaran tender, penyusunan dokumen tender baik dokumen administrasi maupun dokumen teknis dan pengunggahan dokumen tender. Persekongkolan diperkuat dengan adanya bukti hubungan kekeluargaan, persamaan personil perusahaan yang mengurus proses tender dan penggunaan peralatan yang sama berupa Asphalt Mixing Plant (AMP) pada saat pelaksanaan pekerjaan.

Berdasarkan analisa terbukti bahwa terlapor IV atau ULP memfasilitasi persekongkolan horizontal berupa pembagian paket tender yang dilakukan oleh terlapor I, terlapor II dan terlapor III. ULP lalai dalam proses evaluasi tender karena tidak melakukan klarifikasi terhadap fakta-fakta adanya kerja sama pengaturan pembagian paket tender. “Berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisis dan kesimpulan tersebut, maka Majelis Komisi KPPU memutuskan bahwa terlapor I, terlapor II, terlapor III dan terlapor IV terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,” tegas Aru Armando.

Oleh karena itu, KPPU menghukum terlapor I dengan membayar denda sebesar Rp 9.056.479.194,00 yang harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran. Sedangkan terlapor II membayar denda sebesar Rp 3.027.656.394 dan terlapor III membayar denda sebesar Rp 2.029.778.604,00. Setelah membayar denda maka wajib melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU. “Jika terlapor tidak membayar denda setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap, KPPU bisa menyerahkan kasus ini ke penyidik sesuai ketentuan dalam undang-undang,” terang Aru Armando.

Baca Juga :  Dispar Serahkan Hibah Proyek Pariwisata Rp 1,3 M

Kemudian untuk terlapor IV yang merupakan Kelompok Kerja ULP Barang/Jasa Konstruksi, Majelis Komisi merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR) khususnya Kepala Satuan Kerja Balai Pelaksanaan Jalan Nasional VIII untuk memberikannya teguran tertulis. Seharusnya semua pihak memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dan prinsip-prinsip umum pengadaan barang/jasa.

Menurut Aru Armando, teguran harus diberikan ke Kelompok Kerja ULP karena terbukti telah lalai dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya. Terlebih lagi pihak ULP terbukti memfasilitasi terjadinya persekongkolan diantara para peserta tender. “Kita juga minta agar BPK melakukan audit investigasi terhadap paket-paket tender yang menjadi objek perkara dalam perkara a quo,” tutup Aru Armando.

Dari informasi yang diserap terlapor I PT Lombok Infrasturktur Utama, terlapor II PT Bunga Raya Lestari, terlapor III PT Aria Jaya Raya dimiliki oleh satu orang yakni Bambang Wijaya alias Bambang Koko. Bambang Koko yang dikonfirmasi berkali-kali enggan memberikan tanggapan.  (zwr)

Komentar Anda