Budi Subagio Terancam Dijemput Paksa

Ery Ariansyah Harahap
Ery Ariansyah Harahap (dok/)

MATARAM—Budi Subagio tersangka kasus dugaan penyimpangan pengadaan alat pengering padi (vertical dryer) di Dinas Pertanian (Distan)NTB terancam dijemput paksa oleh penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB.

Hal ini lantaran Budi Subagio yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek ini,  tiga kali mangkir dengan tidak menghadiri panggilan yang dilayangkan penyidik. Panggilan keempat pun  sudah dilayangkan penyidik. ‘’ Panggilan keempatnya sudah kita layangkan dan untuk dimintai keterangannya hari Senin (hari ini). Kalau  dia tidak datang lagi ya bisa kita upaya paksa,’’ ujar Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ery Ariansyah Harahap saat dikonfirmasi, kemarin.

Dijelaskan Ery, sebelum praperadilan, Budi sudah  dua kali dipanggil.  Namun mantan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM NTB ini tidak juga datang.  Lalu, penyidik melayangkan panggilan ketiga juga tidak diindahkan.  Untuk itu, dirinya mengimbau agar Budi Subagio kooperatif dengan menghadiri panggilan yang dilayangkan penyidik. ‘’ Kita tunggu hari Senin. Kalau tidak ada kita upaya paksa. Berarti kan udah tidak kooperatif. Keliatan niatnya sudah tidak kooperatif,’’ sebutnya.

Mengenai upaya dari tersangka dan kuasa hukumnya yang akan mengajukan praperadilan kedua ke Pengadilan Negeri Mataram, Ery  tidak ingin menanggapi hal tersebut. ‘’ Buat apa?. Buang-buang waktu saja,’’ katanya.

Ia mengatakan, sudah sangat jelas majelis hakim menolak praperadilan yang sudah diajukan Budi. Bukti baru juga tidak ada yang ditemukan. ‘’ Lantas buat apa mengajukan praperadilan lagi. Orang hakimnya sudah  memutuskan. Misalnya ini ya saya (kejaksaan) yang kalah. Berarti kan ada alat bukti yang kurang. Tentu saya akan mengeluarkan sprindik  baru untuk memenuhi alat buktinya. Sekarang kan  dia kalah dengan alat bukti yang ada. Kan tidak  masuk akal. Kecuali kalau saya yang kalah karena  kurang alat bukti. Tentu saya akan penuhi alat bukti yang kurang,’’ tegasnya.

Baca Juga :  Lanjutkan Bisnis Sabu Bos, Perempuan Asal Turida Ini Ditangkap

Dijelaskan, jika pemohon praperadilan kalah di pengadilan   tentunya  penyidikan yang dilakukan penyidik  sudah dianggap memenuhi unsur. Ia curiga rencana Budi yang akan kembali menggugat Kejati sebagai upaya tersangka untuk mengulur waktu. ‘’Ngapain lagi dia praperadilan. Buang-buang waktu.  Berarti kan keliatan niatnya untuk mengulur waktu. Kecuali kalau jaksa yang kalah, tentu akan dibuat sprindik baru dan mencari alat bukti lagi. Sekarang kalau dia mau praperadilan mau ngajukan apa?. Kan jaksa yang mengajukan alat bukti. Memang dia bisa meriksa orang, yuridisnya kan tidak masuk kalau dalam posisinya seperti ini ya,’’ ungkapnya.

Dalam proyek pengadaan alat pengering (vertical dryer) padi di Distan NTB tahun 2015 ini, Budi bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). PPK ditetapkan sebagai tersangka karena mengusulkan dan menyetujui pemberian bantuan mesin kepada kelompok tani.

Selain Budi, Kejati NTB juga menetapkan BN sebagai tersangka. BN bertindak sebagai panitia penerima barang. Kedua tersangka disangkakan melanggar pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hasil audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB, kerugian negara dalam kasus ini cukup besar yaitu sebesar Rp 668 juta.

Baca Juga :  Racuni Kekasih Gelap, Hurman Dituntut Seumur Hidup

Diketahui, kasus tersebut diusut kejaksaan berdasarkan temuan  di lapangan. Kasus tersebut saat ini ditangani oleh tim pidana khusus. Anggaran pengadaan alat pengering ini berasal dari APBD senilai Rp 5,6 miliar. Pengadaan itu sendiri dilaksanakan dinas terkait dengan melibatkan pihak ketiga. Mesin pengering dibagikan kepada kelompok tani disebar ke 10 kota dan kabupaten di NTB.

Tidak terima dijadikan tersangka, Budi menggugat Kejati NTB di PN Mataram. Namun gugatannya ditolak hakim tunggal  A Suryo Hendratmoko.

Dalam amar putusan majelis hakim yang dibacakan  Kamis lalu (22/6),  hakim memutuskan menolak empat poin permohonan praperadilan. Empat poin tersebut antara lain, mengenai penetapan tersangka, legalitas Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB dalam menghitung kerugian negara, penggeledahan dan penyitaan alat vertical dryer. ”Majelis hakim menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” katanya.

Hakim beranggapan untuk penetapan tersangka, pemohon tidak bisa membuktikan ketidakabsahan penetapan tersangka yang dilakukan Kejati NTB. Namun sebaliknya oleh jaksa bisa menunjukkan penetapan tersangka telah sesuai  dengan prosedur karena telah memenuhi alat bukti yang cukup. Hal yang sama dinilai hakim terhadap penggeledahan dan penyitaan barang bukti. Upaya penyidikan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur. Sementara mengenai BPKP, tidak masuk dalam putusan ini karena masalah kewenangan BPKP sudah masuk dalam pokok perkara. Jadi nanti akan dipertimbangkan hakim saat sidang pokok perkara.(gal)

Komentar Anda