Wagub Bela Distamben, BK Dukung Muzihir

H Muhammad Amin (AZWAR ZAMHURI/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Polemik antara anggota DPRD Provinsi NTB H Muzihir dengan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) terkait proyek sumur bor mendapat atensi dari Wakil Gubernur NTB H Muhammad Amin dan juga ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD H Busrah Hasan.

Wagub selaku eksekutif  membela keputusan Distamben dan diyakini sudah  sesuai aturan, sementara Busrah Hasan mendukung   Muzihir yang meminta program aspirasi sumur bor harus melalui Penunjukan Lansung (PL). Meskipun tidak mau membela jajarannya, namun  Wagub meminta polemik dugaan permainan proyek sumur bor di Distamben  NTB senilai Rp 900 juta agar dihentikan. Pasalnya, proyek dari program aspirasi tersebut hanya memunculkan perseteruan saja antara DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). “Saya tidak mau salahkan Distamben, saya yakin mereka kerja sesuai aturan,” ucapnya saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis kemarin (15/9).

Amin  tidak ingin ada  terjadi kisruh antara eksekutif dan legislatif.  Apalagi, hubungan dua lembaga tersebut telah  mulai baik usai tuntasnya penandatanganan revisi Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Perubahan tahun 2016 pada Rabu sore (14/9) kemarin.

Polemik tersebut harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Mengingat DPRD dan eksekutif merupakan dua lembaga yang harus bermitra dengan baik. Kegaduhan malah hanya akan mendatangkan dampak negatif saja seperti kepentingan-kepentingan rakyat menjadi tidak terakomodir.

Amin memastikan akan segera turun langsung menyelesaikan polemik proyek sumor bor tersebut agar tidak terus meruncing. Bahkan dalam waktu dekat dirinya telah mengagendakan untuk bertemu lansung dengan  Muzihir atas berbagai tudingan yang dilontarkannya. “Ini kan hanya miss komunikasi saja, soal mekanisme realisasi program juga kan domainnya eksekutif. Jadi seharusnya diserahkan saja ke eksekutif,” tegasnya.

 Dijelaskan, dana aspirasi memang merupakan hak para anggota DPRD NTB. Namun secara teknis, programnya dijalankan oleh SKPD yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya anggota DPRD tidak boleh ikut campur. Apalagi, sampai mengintervensi kinerja SKPD sampai proses lelang.

Wagub sendiri menilai sangat wajar Distamben tidak berani merealisasikan proyek tersebut. Mengingat secara aturan apabila nilainya diatas Rp 200 juta maka harus dilelang. “Marilah kita saling menghargai, kan kalau ada pemeriksaan dari aparat, yang akan kena hukum itu eksekutif. Makanya wajar eksekutif sangat berhati-hati,” ujarnya.

Terkait dengan tudingan bahwa Distamben sengaja menggabungkan program sumur bor di beberapa titik agar bisa mengatur proyek terebut, Wagub membantah keras. Dirinya yakin kinerja SKPD sangat menjunjung tinggi integritas.

Berbeda halnya dengan Ketua BK DPRD NTB H Busrah Hasan, politisi partai Golkar ini menilai program sumur bor seharusnya tidak digabung. Pasalnya satu unit sumur bor hanya untuk satu anggota dewan. “Mestinya memang dipisah, bukan malah digabung,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa anggota DPRD H Muzihir tidak pernah melakukan intervensi ke SKPD tersebut. Meskipun pernah datang ke kantor, namun hanya untuk mempertanyakan realisasi program saja. “Program aspirasi harus jalan, jangan kayak gini jadinya uang dikembalikan,” katanya.

Nilai proyek senilai Rp 900 juta yang batal direalisasikan berada di Lingkungan Pejeruk, Kelurahan Dasan Agung, Kecamatan Selaparang, Kota Mataram dengan nilai pagu sebesar Rp 150 juta. Kemudian di Kelurahan Karang Pule, Kecamatan Sekarbela merupakan milik Hj Wartiah dengan besaran pagu anggaran mencapai Rp 200 juta. Berikutnya, di Batu Ampar, Desa Mangkung, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah dengan dana senilai Rp 100 juta merupakan milik HL Sudihartawan.

Selanjutnya di Koka Tamoer, Desa Empang Atas, Sumbawa dengan pagu anggaran mencapai Rp 200 juta milik Johan Rosihan. Kemudian di Ponpes Yatofa Bodak, Desa Montong Terep, Kecamatan Praya, Lombok Tengah dengan pagu anggaran mencapai Rp 200 juta milik H Humaidi.

Terkait program aspirasi milik Hj Wartiah di Kota Mataram, banyak pihak mempertanyakannya. Pasalnya, Wartiah sendiri merupakan anggota DPRD dari Daerah Pemilihan (Dapil) Lombok Barat-Lombok Utara. Namun program aspirasinya malah ditaruh di Kota Mataram. “Kalau masalah itu sih gaka da aturan yang melarang, tapi memang idealnya dewan itu utamakan Dapilnya,” jawab Busrah Hasan. (zwr)