

PRAYA – Penangkapan dua orang warga pengklaim lahan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika berbuntut panjang. Kedua warga ini adalah Muhaibul Habibi dan Ahmad Sahul Wahyudi, warga Dusun Semundal, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut.
Muhaibul Habibi bertindak selaku pemohon I dan Ahmad Sahul Wahyudi bertindak selaku pemohon II. Keduanya menggugat Kapolres Lombok Tengah beserta jajarannya karena telah menangkap keduanya pada Jumat (13/10) lalu. Keduanya diamankan saat event MotoGP berlangsung karena memasang spanduk bertuliskan tuntutan pembayaran lahan serta membawa senjata tajam.
Keduanya mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Praya atas penangkapan dan penetapan tersangka yang mereka hadapi. Dalam perkara ini, keduanya mengajukan gugatan praperadilan melawan Polres Lombok Tengah sebagai termohon I dan Polda NTB sebagai termohon II.
Kuasa hukum warga yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mandani, Setia Dharma menyatakan, praperadilan itu dilakukan terhadap tidak sahnya penangkapan terhadap pemohon I dan pemohon II. Sesuai surat perintah penangkapan yang dikeluarkan Polres Lombok Tengah pada 13 Oktober lalu. Termasuk tidak sahnya penetapan tersangka yang dilakukan terhadap pemohon I yang pemohon ketahui berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/58/X/2022/RES.1.24.j2023/Reskrim pada 13 Oktober 2023 untuk surat penetapan tersangka yang dikeluarkan oleh termohon I. “Termasuk tidak sahnya penahanan terhadap pemohon I berdasarkan surat perintah penahanan nomor SP.Han/l08/X/RES.l.24./2023/Ditreskrimum pada 14 Oktober 2023 yang dikeluarkan oleh Termohon II. Maka kami lakukan gugatan ganti rugi dan rehabilitasi karena penangkapan dan atau penahanan yang melawan hukum terhadap pemohon I dan pemohon II,” ungkap Setia Dharma, Selasa (17/10).
Penangkapan terhadap pemohon I dan pemohon II dilakukan di kebun mereka di atas Bukit Koleh Desa Kuta, Kecamatan Pujut. Penangkapan itu bermula karena adanya pemasangan spanduk tuntutan pembayaran kepada PT ITDC atas tanah mereka yang telah dijadikan HPL tanpa dibayar terlebih dahulu. Pemasangan spanduk menuntut pembayaran bukan hanya dilakukan oleh pemohon I dan pemohon II, melainkan dilakukan juga oleh masyarakat lain yang menuntut pembayaran. “Pemasangan spanduk dilakukan di atas lahan mereka masing-masing pada menjelang acara MotoGP untuk mencari perhatian semua pihak, khususnya pemerintah pusat agar memberi perhatian terhadap penyelesaian lahan di Mandalika. Namun pemasangan ini mendapat tanggapan agresif dengan mencabut spanduk-spanduk masyarakat pada malam hari atau pada pagi hari dari kepolisian,” jelasnya.
Di mana warga memasang spanduk pada Kamis (12/10) malam dan menginap di kebunnya. Pada 13 Oktober, beberapa petugas dari Polres Lombok Tengah datang dan meminta warga mencabut spanduknya. Namun warga menolak dengan alasan spanduknya adalah upaya untuk menagih pembayaran atas tanah mereka tanpa mengganggu siapapun karena dipasang di gazebo di atas kebun mereka. “Namun sekitar 40 menit kemudian naik ke atas bukit kapolres beserta jajarannya dan menurunkan spanduknya dengan paksa. Polisi juga menangkap pemohon I dan pemohon II serta alat berupa golok yang ada di gazebo yang digunakan pemohon I dan pemohon II untuk memotong semak kayu dan tali pemasangan spanduk. Senjata itu tidak berada di tangan pemohon I maupun pemohon II,” tegasnya.
Termohon I, Polres Lombok Tengah yang melihat spanduk di atas bukit dari jalan raya kemudian menangkap pemohon I dan II dengan alasan memiliki senjata tajam di tempat umum. Penangkapan itu tidak sah dan tidak berdasar hukum, karena mereka ditangkap di atas gazebo di kebun mereka. Menurut Dharma, sudah sangat jelas di kebun pasti ada alat perkebunan ataupun senjata yang tidak diperuntukkan untuk melukai siapapun maupun mengancam siapapun. “Tidak ada perbuatan melawan hukum dalam perbuatan pemohon I dan II. Perbuatan termohon I menangkap pemohon I dan II adalah bagian dari agresivitas dan resistensi ITDC terhadap masyarakat yang menuntut pembayaran atas tanah mereka,” sesalnya.
Sebagaimana tampak dalam surat-surat seperti perintahan penangkapan, penetapan tersangka, SPDP maupun perintah penahanan tidak ada surat perinta penyelidikan. Berdasarkan surat perintah penangkapan justru dinyatakan penangkapan dilakukan berdasarkan surat perintah penyidikan. “Bagaimana bisa mereka didatangi tiba-tiba karena adanya spanduk, tapi ternyata sudah ada surat perintah penyidikan? Berdasarkan hal tersebut patut diduga termohon I (Polres) membuat rekayasa atas penyelidikan dan penyidikan pemohon I dan II,” duganya.
Dharma menegaskan, penangkapan yang dilakukan Polres di atas Bukit Koleh adalah perbuatan sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum. Karenanya, penangkapan tersebut dianggap tidak sah dan melawan hukum. Bahkan penetapan tersangka ditetapkan secara melawan hukum. “Karena faktanya termohon I melakukan penangkapan terhadap pemohon I dan II di kebun mereka di atas Bukit Koleh pada 13 Oktober disertai dengan pencabutan paksa spanduk. Kemudian pada hari yang sama mengeluarkan perintah penyidikan dan dihari yang sama juga mengeluarkan penetapan tersangka,” sesalnya.
Dharma juga menyesalkan, tidak ada pemberitahuan dimulainya penyidikan dari termohon I dan tidak ada penyelidikan yang dilakukan sesuai hukum hingga tidak ada penyidikan yang dilakukan sesuai hukum. Bahkan dalam beberapa jam, penangkapan, penyelidikan, penyidikan dan penetapan tersangka dilakukan secara ekspres dan patut diduga semua dilakukan secara melawan hukum. “Penetapan tersangka terhadap pemohon I tidak berdasarkan dua alat bukti yang menunjukkan inti dari perbuatan pidana yang dituduhkan, dimana unsur intinya salah satunya adalah secara melawan hukum dan penetapan tersangka dilakukan tergesa-gesa dan patut diduga sarat dengan kepentingan,” tudingnya.
Terlebih, penetapan tersangka tidak dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan SPDP kepada calon tersangka karena tersangka ditetapkan 13 Oktober di hari yang sama dimulainya penyidikan dan sampai saat ini tidak ada SPDP dari termohon I. Oleh karena penyidikan dan penetapan tersangka pada hari yang sama sehingga pemohon I tidak didampingi pengacara. “Pemohon dan kuasa hukum mengetahui telah ditetapkan sebagai tersangka pada 14 Oktober dan pada saat itu dikeluarkan perintah penyelidikan dari termohon II (Polda NTB), pada hari itu juga kami mendapatkan SPDP dari termohon II untuk penyelidikan, sekaligus kami mendapat surat perintahan penahanan terhadap pemohon I yang dikeluarkan termohon II,” terangnya.
Dalam serangkaian kegiatan dari Polres dan Polda NTB menjadikan pemohon I sebagai tersangka, tidak ada penyelidikan dan penyidikan yang sesuai hukum. Ada pun pemohon II dilepaskan pada 14 Oktober dengan alasan tidak ada cukup bukti. Padahal senjata yang dituduhkan sebagai bukti untuk pemohon I dijadikan tersangka adalah golok yang digunakan untuk memotong kayu, membersihkan semak dan memasang spansuk. Golok tersebut diambil oleh polisi dari gazebo, bukan ada di tangan pemohon I. “Jadi sangat jelas dan nyata Polres dan Polda NTB diduga melakukan penegakan hukum dengan melanggar hukum. Sehingga penetapan tersangka tidak sah karena dilakukan tidak berdasarkan penyelidikan dan penyidikan. Perintah penyidikan juga dilakukan secara melawan hukum karena tidak dilakukan berdasarkan penyelidikan yang objektif profesional dan bertanggung jawab,” terangnya.
Kapolres Lombok Tengah, AKBP Iwan Hidayat ketika dikonfirmasi menegaskan, untuk kasus ini sudah dilimpahkan ke Polda NTB. Kalaupun saat ini tersangka mengajukan praperadilan maka pihaknya mempersilakan, karena itu merupakan hak dari setiap warga negara. “Kasusnya sekarang kita limpahkan ke Diskrimum Polda NTB. Kalaupun mengajukan praperadilan, silakan saja karena itu hak mereka. Kita ketemu di pengadilan,” tegasnya. (met)