“POLITISASI” PEREBUTAN KURSI PARLEMEN

UMAR ACHMAD SETH, SH., MH (Pemerhati Pemilu)

Pemilihan Umum di Indonesia mengenal istilah ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. Parliamentary threshold adalah syarat minimal perolehan suara agar  partai politik bisa diikutkan dalam penentuan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedangkan untuk perolehan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi atau Kabupaten/Kota ditentukan oleh perolehan suara partai politik pada pemilihan umum.

Suara rakyat pemilih yang diberikan dalam suatu pemilihan umum tentu menjadi rebutan bagi seluruh partai politik peserta pemilu. Meskipun perolehan suara partai politik jumlahnya sama, tetapi apabila metode penghitungannya berbeda maka hasil penghitungannyapun bisa berbeda. Oleh karena itu, pertarungan di kalangan partai politik peserta pemilu sejak awal terkait dengan metode penghitungan suara menjadi kursi.

Merujuk pada literatur dan praktek yang pernah terjadi di negara-negara barat, kecurangan dalam penyusunan dapil sendiri dinamakan dengan istilah gerrymandering, dimana terjadi “manipulasi politik” yang menjadi batas wilayah suatu daerah pemilihan. Politisasi semacam ini, kerap dilakukan untuk kepentingan suatu partai, kelompok, atau kelas sosial ekonomi di dalam daerah pemilihan tertentu. Elbridge Gerry, Gubernur negara bagian Massachusetts pada tahun 1812 adalah orang yang pertama kali mempraktekkan cara ini.

Perolehan kursi suatu partai politik, sangat dipengaruhi dan bergantung pada metode penghitungan suara yang akan dikenversi menjadi kursi. Apabila metode yang dipilih dan digunakan untuk menghitung hasil pemilu menguntungkan partai-partai besar, maka metode ini dianggap sebagai ambang batas tersembunyi (hidden threshold). Sebaliknya, apabila metode penghitungan suara menguntungkan partai kecil dan menengah, maka kursi partai politik besarlah yang “tercuri”. Akhirnya, gagasan metode penghitungan suara pada umumnya mengemuka dalam 3 (tiga) pilihan, diantarannya metode kuota, metode divisor varian d’hondt dan metode divisor varian saint-lague. Dua metode terakhir berbeda pada Bilangan Pembagi Tetap (BPT)-nya. D’hondt mempunyai BPT 1, 2, 3, 4, 5 dan seterusnya, sedangkan saint lague BPT-nya 1, 3, 5, 7, 9 dan seterusnya, sesuai dengan berapa alokasi kursi yang tersedia pada dapil tersebut.

Setidaknya ada 3 (tiga) materi pokok yang menjadi perdebatan penting di kalangan partai politik melalui wakil-wakilnya di parlemen agar sedari awal mereka dapat mengontrol perolehan kursi. Pertama, hal yang berkaitan dengan tatacara penghitungan atau dengan kata lain metode mengkonversi suara menjadi kursi, dengan demikian perdebatan politik terkait hal tersebut tentu sangat penting untuk dimenangkan dan ditetapkan menjadi sistem penghitungan suara didalam perundang-undangan pemilu. Kedua, berkaitan dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) ambang batas ini penting dalam rangka mengurangi jumlah partai politik yang memiliki kursi di DPR. Ketiga, mengenai besaran daerah pemilihan (district magnitude) siapa yang menguasai dapil maka dia menguasai kursi pada dapil tersebut.

Baca Juga :  Negara yang Berdaulat dan Berdikari Energi Itu Namanya Indonesia

Ketiga hal tersebut diatas menjadi faktor penentu implikasi dari jumlah kursi yang akan diperoleh partai politik peserta pemilu dalam kontestasi pemilihan umum dan tentu saja akan menentukan eksistensi partai tersebut di masa mendatang terutama terkait dengan kepesertaannya dalam pelaksanaan pemilu berikutnya karena tidak memenuhi ambang batas (parliamentary threshold), maka ketiga hal diatas dapat dijadikan alat “saling sandera” secara politik.

Padahal seharusnya semua suara bisa dikonversi menjadi kursi, namun bila tidak lolos parliamentary threshold maka partai tersebut tidak diikutkan dalam penghitungan kursi yang pada akhirnya perolehan suara partai politik menjadi tidak bermakna. Sebelum penghitungan dimulai, untuk menetapkan perolehan kursi masing-masing, partai politik yang tidak memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sudah harus di-exclude alias tidak diikutkan dalam penghitungan kursi di DPR. Lebih bahaya lagi kalau parliamentary threshold juga diberlakukan hingga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Maka partai-partai yang tidak memenuhi ambang batas parlemen terancam tidak memiliki kursi di seluruh tingkatan parlemen di Indonesia.

Hal lain yang turut mempengaruhi perebutan kursi parlemen oleh partai politik adalah pembetukan daerah pemilihan pada semua tingkatan baik DPR maupun DPRD Provinsi, Kabupaten/kota yang rentan “dipolitisasi”.

Besaran dapil juga turut memberi pengaruh signifikan bagi perolehan kursi suatu partai. Karena apabila alokasi kursi untuk sebuah dapil atau dengan kata lain dapilnya kecil maka semakin sedikit/kecil pula peluang partai kecil memperoleh kursi (ini yang sering disebut oleh para politisi sebagai dapil “neraka”), karena alokasi kursinya sedikit sementara kontestan pemilunya banyak. Sebaliknya, semakin besar dapil maka semakin besar pula peluang partai kecil hingga partai menengah mendulang kursi.

Maka demi keadilan bagi semua partai politik, Pasal 185 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, telah memberi pandu arah pembentukan dapil pemilu legislative. Beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam penyusunan Daerah Pemilihan (Dapil) dengan memperhatikan :

  1. Kesetaraan nilai suara, dimana “harga kursi” antara satu dapil dan dapil lainnya dengan mengambil prinsip bahwa satu orang-satu suara-satu nilai (one person one vote one value).
  2. Prinsip ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional.
Baca Juga :  Penanganan Pengungsi Rohingya di Indonesia : Tantangan dan Solusi

Hal utama yang perlu dikedepankan dan mendapat perhatian penting, mendahulukan jumlah kursi yang besar agar persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap parpol, setara dengan persentase suara yang diperoleh.

  1. Prinsip proporsionalitas.

Dimana ada jaminan kesetaraan alokasi kursi dengan memperhatikan kursi antar dapil, agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap dapil.

  1. Prinsip integralitas wilayah.

Dalam penyusunan dapil, untuk daerah perbatasan memperhatikan beberapa provinsi, beberapa kabupaten/kota, atau kecamatan dengan tetap mengutamakan keutuhan dan keterpaduan wilayah. Memperhatikan kondisi geografis, sarana prasarana perhubungan yang ditunjang dengan kemudahan dan akses transportasi.

  1. Prinsip berada dalam cakupan wilayah yang sama.

Penyusunan dapil anggota DPRD Provinsi, yang terbentuk dari satu, beberapa dan/atau bagian kabupaten/kota, yang keseluruhannya harus mencakup dalam suatu dapil DPR. Sedangkan dalam penyusunan dapil anggota DPRD Kabupaten/Kota yang terbentuk dari satu, beberapa dan/atau bagian kecamatan yang seluruhnya tercakup dalam dapil anggota DPRD Provinsi.

  1. Prinsip kohesivitas.

Penyusunan dapil memperhatikan aspek sejarah, kondisi sosial budaya dan kelompok minoritas. Jika pada satu daerah tertentu, terdapat komunitas masyarakat atau adat tertentu yang jumlahnya cukup banyak, mereka tidak akan mendapatkan wakil di DPRD, apabila digabungkan menjadi satu dapil dengan kelompok masyarakat yang lain, maka dengan prinsip ini dapat dibuatkan menjadi satu dapil tersendiri.

  1. Prinsip Kesinambungan.

Pembuatan dapil memperhatikan dapil yang sudah ada pada pemilu sebelumnya.  Kecuali alokasi kursi pada dapil tersebut, melebihi batas maksimal alokasi kursi setiap dapil dan bertentangan dengan enam prinsip di atas, contoh perubahan dapil DPR wilayah NTB dibagi menjadi dua dapil, yaitu Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok, karena telah melebihi alokasi kursi DPR sejumlah 3 – 10 Kursi.

Untuk menjamin keadilan pemilu, Bawaslu perlu melakukan pengawasan tahapan pembentukan dapil pemilu. bahkan diharapkan perlu juga membuat desain dapil yang berkeadilan bagi semua partai dengan memperhatikan panduan sebagaimana Pasal 185 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Rancangan desain dapil yang ditawarkan oleh Bawaslu Provinsi menjadi pembanding dari rancangan desain dapil yang dilahirkan oleh KPU Provinsi. Hal ini penting untuk memberikan banyak varian pilihan untuk menjadi pertimbangan publik sehingga setiap pembentukan dapil baru diperkaya pula dengan alasannya. (*)

Komentar Anda