Perubahan Iklim: Bumi Tidak Perlu Dilindungi

Lalu Aziz Al Azhari (Mahasiswa Institut Pertanian Bogor)

Oleh Lalu Aziz Al Azhari (Mahasiswa Institut Pertanian Bogor)

Dalam dekade terakhir, perubahan iklim telah menjadi topik hangat di kalangan berbagai golongan, termasuk golongan muda dan golongan tua.

Perubahan iklim merupakan faktor yang memiliki dampak luas pada berbagai aspek kehidupan, terutama di negara agraris seperti Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kenaikan suhu udara dan perubahan pola curah hujan adalah bagian dari perubahan iklim yang berdampak negatif terhadap produksi pertanian dan menyebabkan ketidaksesuaian dengan lingkungan.

Hal ini juga dapat mengakibatkan krisis air, penurunan kapasitas pembangkit, peningkatan pencemaran air, serta peningkatan frekuensi kekeringan.

Dampak perubahan iklim yang belakangan ini kita rasakan adalah kenaikan suhu dan kenaikan harga beras, perlu digaris bawahi kenaikan harga beras merupakan salah satu dampak perubuhan iklim kalau menurut penuturan Presiden Joko Widodo. 

Menurut penuturan beliau, “karena ada perubahan iklim mengakibatkan gagal panen. Hujan terlalu deras, kering terlalu panjang, yang mengakibatkan banyak negara mengalami gagal panen bukan hanya Indonesia”. Adanya gagal panen menyebabkan kenaikan harga beras.

Tentu Penulis sejalan dengan pendapat Presiden Joko Widodo, meskipun sulit bagi petani untuk mendapatkan akses pupuk guna meningkatkan produktivitas, bahkan sering kali terjadi kelangkaan.

Salah satu pemicu perubahan iklim adalah pertumbuhan populasi yang mendorong penggunaan metode intensifikasi pertanian.

Ini terjadi saat masyarakat memperluas pertanian dengan memilih lahan-lahan terbaik yang ada, dan ketika itu tidak mencukupi, mereka terpaksa memperluas ke tanah yang kurang cocok tanpa pertimbangan yang memadai.

Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat.

Pemanasan atau perubahan iklim yang diakibatkan oleh peningkatan populasi jika di ibaratkan sebagai kamar yang berkapasitas 10 orang, bumi ini adalah sebuah kamar dengan kapasitas 10 orang, setiap tahunnya kamar tersebut kedatangan satu pengunjung dan menetap, di kamar tersebut mereka melakukan aktivitas kesehariannya entah makan dan minum atau sejenisnya, selama 10 tahun kapasitas kamar tersebut sudah penuh, waktu terus berjalan hingga tahun ke 20,  kamar tersebut menjadi panas dan sesak akibat penambahan jumlah penghuni setiap tahunnya.

Dalam situasi yang telah dijelaskan sebelumnya, manusia yang disebut Homo Sapiens oleh Charles Darwin, yang konon memiliki kemampuan berpikir dan kebijaksanaan, tidak akan menyerah begitu saja.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, menjadi mata pisau yang akan digunakan untuk mengatasi masalah yang terkait dengan perubahan iklim, baik melalui pemanfaatan pengetahuan secara manusiawi untuk menyelesaikan permasalahan iklim atau bahkan dengan cara yang lebih brutal dengan depopulasi, pada akhirnya, populasi akan mengalami penurunan karena kelaparan, pandemi, dan perang. 

Sejatinya, perubahan iklim telah berulang kali terjadi, mengakibatkan kepunahan bagi makhluk hidup yang tinggal di bumi. Namun, bumi memiliki kemampuan alami untuk memperbaiki dirinya tanpa perlu campur tangan dari gerakan-gerakan yang menyebut diri mereka sebagai aktivis lingkungan pemuda lingkungan.

Sejak zaman Ordovisium, yang disebut sebagai periode kepunahan awal, sekitar 443 juta tahun yang lalu, semuanya mengalami perubahan secara ekstrem ketika benua Gondwana mencapai kutub selatan, yang menyebabkan suhu turun secara drastis dan pembentukan es di mana-mana, yang pada gilirannya menurunkan permukaan air laut.

Kepunahan pada era ini disebabkan oleh penurunan kadar karbon dioksida di atmosfer dan lautan, yang mengakibatkan jumlah tumbuhan menurun drastis karena tidak dapat melakukan fotosintesis, dan sebagai konsekuensinya terjadi kekacauan dalam ekosistem.

Kepunahan kedua disebabkan oleh penurunan kadar oksigen secara drastis, peningkatan aktivitas tektonik lempeng, perubahan muka laut, dan perubahan iklim, yang menyebabkan sekitar 75% makhluk hidup punah.

Kemudian dengan adanya makhluk tuhan yang paling tinggi drajatnya, kalau katanya Ahmad Dani makhluk tuhan yang paling seksi, yang menjadi pemuncak rantai makanan. Makhluk tuhan yang satu ini terus melakukan eksplorasi dan eksploitasi dengan tujuan untuk bertahan hidup dan menjaga eksistensinya, menjadi faktor kunci dalam menghadapi perubahan iklim di era modern ini. Penting untuk diingat bahwa penulis tidak sepenuhnya menyalahkan manusia sebagai penyebab perubahan iklim, karena penulis masih meyakini konsep By Means of Natural Selection dalam segala hal.

Kegiatan dan kebutuhan pokok manusia seperti makanan dan energi menyebabkan timbulnya beragam masalah lingkungan, yang kemudian menjadi perhatian utama gerakan-gerakan yang peduli terhadap lingkungan, dengan prinsip menjaga bumi.

Pertanyaan besar bagi penulis yaitu siapa yang memang perlu dijaga, bumi atau eksistensi manusia di bumi?
Kita ambil contoh, dalam empat tahun terakhir, terjadi penurunan emisi hingga 50 persen di beberapa negara akibat pandemi Covid-19. Di China, tingkat emisi bahkan berkurang sebesar 25 persen selama masa pandemi ini.

Kejadian tersebut menunjukkan, sekalipun manusia tidak memperjuangkan keselamatan atas bumi, bumi memiliki memiliki kapasitas untuk melakukan perbaikan terhadap dirinya sendiri.  Oleh karena itu, yang perlu dilindungi bukanlah bumi, tetapi eksistensi manusia yang ada di bumi ini.

Karena kita tidak bisa melarang manusia untuk melakukan reproduksi untuk mempertahankan kelangsungan hidup serta menjaga eksistensinya agar tidak punah, maka penting untuk mempertimbangkan ketahanan dan resiliensi kaitannya dengan perubahan iklim.

Salah satu metode untuk mengurangi risiko adalah dengan meningkatkan tingkat resiliensi, yang difokuskan pada upaya meningkatkan kapasitas adaptasi dan mengurangi kerentanan.
Terdapat hubungan antara ketahanan dan resiliensi, ketahanan mengindikasikan kemampuan untuk bertahan terhadap penderitaan, ketabahan, kekuatan, kemampuan untuk mengontrol diri, dan pantang menyerah. Sedangkan, resiliensi mengacu pada kemampuan untuk bangkit kembali setelah mengalami kesulitan.

Dalam cakupan yang lebih luas, resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan sistem sosial-ekologis dalam menghadapi dampak dari guncangan dan tekanan. Guncangan dan tekanan tersebut umumnya berasal dari ancaman yang timbul akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrem.

Namun, resiliensi lebih menekankan pada kemampuan sistem untuk pulih dan beradaptasi dalam jangka panjang dalam konteks yang dinamis.

Manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam seharusnya tidak hanya membatasi diri pada tindakan eksploitasi semata, tetapi juga harus mengambil hikmah dan belajar bagaimana membangun hubungan harmonis dengan makhluk hidup lainnya. Selain melakukan eksploitasi sampai pada batas tertentu, manusia juga diharapkan menunjukkan sikap apresiasi terhadap lingkungan sekitarnya.

Hal ini karena, dari sudut pandang geosentris, manusia hanya dapat mengonsumsi hasil-hasil yang diberikan oleh alam, sedangkan manusia tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan atau menghasilkan apa pun. (*)

Komentar Anda