Perdebatan Gubernur-Sekda Memalukan

Ruslan Turmuzi (ISTIMEWA/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Kalangan DPRD Provinsi NTB menyoroti mengenai kegaduhan yang muncul di internal Pemprov NTB antara Gubernur Zulkieflimansyah dan Sekda Gita Ariadi soal diwajibkannya ASN membeli tiket MotoGP.

Perseteruan Gubernur dan Sekda yang dipertontonkan di ruang publik dianggap sangat memalukan, Apalagi, tontonan lucu ala pejabat teras pemprov itu diputar jelang gelaran event MotoGP yang akan berlangsung di Sirkuit Mandalika pada 18-20 Maret. “Mestinya pemerintah ini memberikan contoh, bahwa kita ini akan menerima tamu dari luar negeri maupun dalam negeri. Maka hal remeh-temeh ini tidak perlu diperdebatkan sekarang ini, baik dalam media sosia, dan tidak perlu diperdebatkan di luar. Ini sangat memalukan,” sesal anggota DPRD Provinsi NTB, H Ruslan Turmusi kepada Radar Lombok, Minggu (6/3).

Menurut Ruslan, kegaduhan ini terjadi sebagai salah satu bentuk ketidakbecusan dalam tata kelola pemerintahan masa kepemimpinan Zul-Rohmi yang memasuki empat tahun pimpin NTB. Bahkan dengan munculnya berbagai persoalan yang terjadi selama ini dianggap untuk menutupi kelemahan dalam pemerintahan.

Terlebih, sambung Ruslan, dalam mempersiapkan gelaran event MotoGP, Pemprov NTB tidak memiliki konsep perencanaan. Mulai dari bagaimana persiapan dalam daerah selaku tuan rumah perhelatan MotoGP dengan tata kelola pemerintahan yang dibuat Gubernur dan Sekda sebagai perpanjangan pemerintah pusat dalam menyambut event internasional di NTB. ‘’Muculnya kegaduhaan ini juga akibat intervensi dari luar. Ketika membuat kebijakan, seharusnya dapat diantisipasi agar tidak timbul kegaduhan di ruang publik. Apa yang disebut (Sekda), ada nama Mas Heri dan Mas Kukuh. Jadi dari tata kelola pemerintahan juga tidak boleh diintervensi dari pihak ketiga dalam hal surat menyurat administrasi apapun. Pemerintah tidak boleh dipengaruhi oleh orang di luar pemerintahan,” sesal Ruslan.

Politisi PDIP ini berpendapat, ketika ada orang luar yang turut campur dalam tata kelola pemerintahan, tentu ada kepentingan tertentu ketika mengeluarkan kebijakan. “Dengan disebut ada Mas Hari dan Mas Kukuh, di situ berarti ada kepentingan-kepentingan tertentu. Ini yang membuat gaduh,” ujarnya.

Ruslan memberikan perumpamaan seperti dalam rumah tangga. Ketika ada pihak ketiga, maka kegaduhan di rumah tangga berpotensi terjadi. Dalam hal tata kelola pemerintahan juga demikian, semua harus dapat terkoodinasi dengan baik agar tidak timbul kegaduhan. Baik antara Sekda dan Gubernur, tidak boleh ada pihak ketiga di luar pemerintahan yang intervensi di dalam pemerintahan. Lebih-lebih ketika mengambil kebijakan yang dikeluarkan. “Karena dalam masalah itu muncul nama Mas Hari dan Mas Kukuh, saya juga tidak tahu siapa orang yang disebut-sebut Sekda. Artinya itu ada pihak ketiga yang intervensi dalam pemerintahan,” selidik politisi senior ini.

Baca Juga :  Kemenag Batasi Suara Toa Saat Ramadan

Ruslan menilai, kegaduhan jelang MotoGP yang dipicu masalah tiket menjadi bukti ketidakbecusan Pemprov NTB. Pejabat di dalamnya gagal mempersiapkan kondusivitas untuk menyukseskan event balap motor paling bergensi di dunia ini dengan mempertontonkan tata kelola pemerintahan yang tidak baik.

Sejak awal, masalah persiapan event MotoGP gaduh dengan munculnya berbagai persoalan. Mulai dari masalah akomodasi, harga sewa kamar hotel, persiapan penginapan, hingga kemudian muncul lagi masalah tiket. “Sekarang ini kan hanya katanya bahwa kamar hotel kita full booking, sementara tiket MotoGP banyak yang belum laku. Lalu gimana logikanya, jadi nggak masuk akal mengenai kamar hotel full booking kalau tiket masih banyak yang nggak laku,” ujarnya.

Ruslan juga berpendapat, jika persoalan tersebut tidak mampu diurai dengan baik. Maka pemerintah ini akan habis energinya dengan persoalan remeh-temeh seperti hal tersebut. Kegagalan ini lantas dijadikan alasan untuk menghilangkan ketidakberhasilannya tahun keempat kepemimpinan Zul-Romhi. “Karena tidak ada yang jalan pemerintahan ini. Mau program zero waste juga seperti itu, industrialisasi juga hanya mencantumkan nama tetapi implementasinya tidak ada efeknya. Jadi itu yang terbaca sekarang ini ketidakberhasilannya,” paparnya.

Anggota DPRD NTB lima periode ini menambahkan, hal remeh-temeh itu sebenarnya dapat teratasi ketika kepercayaan diberikan kepada OPD sekalu bagian dari pemerintah. Jika itu masalah pariwisata maka diberikan kepercayaan kepada OPD yang menangani pariwisata. Pemantuan kemudian bisa dilakukan sekda selaku komando. Jangan kemudian diberikan kepada orang luar yang intervensi terhadap kebijakan gubernur karena itu yang menjadi permasalahannya. “Tapi kita lihat hal ini untuk menutupi kegagalan dalam pemerintahan saja,” sambungnya.

Ruslan menyarankan, kegaduahan ini harus segara diatasi agar tidak timbul kegaduahan baru lagi. Apalagi gubernur dan sekda sudah memiliki masalah sebelumnya. Jangan sampai keduanya kemudian membuat peta konflik dengan saling menyalahkan. Apalagi harapan semua dalam event MotoGP supaya bisa terselenggara dengan baik. “Jadi ini harus segara diatasi. Jangan saling menyalahkan, karena niatnya semua ini bagus, bagaimana penyelenggaran MotoGP supaya terbaik,” sarannya.

Ketua Komisi I DPRD NTB, Sirajuddin juga sependapat dengan Ruslan Turmuzi. Ia sangat menyangkan apa yang dipertontonkan Gubernur dan Sekda NTB ke ruang publik dengan membuat kegaduhan hanya gara-gara tiket MotoGP. “Instrumen pemerintah harus bersinergi dan selalu berada dalam satu barisan. Dalam hal memberikan informasi terkait dengan program pembangunan di daerah ini, apalagi daerah kita lagi dilirik oleh dunia internasional untuk berinvestasi. Tentu sangat dibutuhkan iklim yang harmonis dan kondusif dalam segala aspek,” katanya.

Baca Juga :  Begal Perkosa Empat Korban

Kegaduhan antara gubernur dan sekda ini, sambung Sirajuddin, berpotensi merugikan daerah dan masyarakat. Apalagi event MotoGP sudah di depan mata, maka kondusivitas daerah sangat diperlukan agar semua yang datang merasa nyaman dan bahagia selama event berlangsung. “Langkah solutifnya harus segera diselesaikan. Hal seperti ini tidak boleh terjadi dalam pengelolaan pemerintah dan birokrasi. Dan sudah pasti mempertontonkan ketidakmampuan serta kelemahan Pemprov NTB dalam manajemen pengelolaannya,” sambungnya.

Penilaian sama ditambahkan anggota Komis I DPRD Provinsi NTB, Najamudin Mustofa. Ia melihat terjadinya kegaduhan antara gubernur dan sekda disebabkan lemahnya penataan birokrasi dalam pemerintahan. Kelemahan ini menunjukkan betapa tak terampilnya orang-orang yang berada di dalamnya.

Karena itu, Najamudin secara khusus mengingatkan kepada Sekda Gita agar tak membuat gaduh, apalagi dengan gubernur. “Sekda itu hanya berperan sebagai administrator. Tidak boleh membuat kebijakan. Keliru kalau sekda buat kebijakan. Sekda harus tunduk patuh terhadap pemerintah dalam hal ini gubernur dan wakil gubernur,” cetusnya.

Najamudin juga mengingatkan Sekda Gita agar tak melampaui kewenangannya sebagai pejabat administrator. Jangan keluar lingkaran dengan membuat intrik-intrik politik. Sekda harus tunduk tunduk dan patuh terhadap instrumen pemerintah tanpa harus membangun kebijakan baru di luar batas kewenangannya. “Jalankan tugas sesuai aturan main. Jangan buat intrik-intrik. Sekda kita ini kok selalu berpolitik, pengaruhi ini, pengaruhi Sasak, pengaruhi PDIP. Semua mau dipengaruhi,” kritik Najamudin.

Menurut politisi PAN ini, bilamana ada kebijakan gubernur yang kurang pas di mata sekda, tak semestinya dibawa keluar masalahnya. Tetapi harus didiskusikan dengan gubernur sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di ruang publik seperti yang dipertontonkan saat ini. “Sekda kita sekarang ini terlalu berpolitik. Saya bilang langsung kepada Gita, ente ini terlalu berpolitik, nggak boleh dong begini. Saya ingatkan sekali lagi kepada Gita ini, jalankan tugas sesuai aturan main. Jangan bermain politik, karena saya lihat sekarang ini Sekda Gita bermain politik, mengadu domba,” tukasnya.

Seperti diketahui, Gubernur Zulkieflimansyah dan Sekda Gita Ariadi berseteru lantaran kebijakan. Di satu sisi, Zulkieflimansyah harus ‘menelanjangi’ Sekda Gita lantaran membuat kebijakan yang mewajibkan ASN membeli tiket MotoGP. Zulkiefli juga mengaku kebijakan itu diteken Sekda Gita tanpa sepengetahuannya.

Bak gayung bersambung, tudingan Gubernur Zulkieflimansyah ini lantas dibalas Sekda Gita. Ia mengaku sama sekali tak pernah mewajibkan ASN membeli tiket MotoGP. Bahkan, surat yang ditekennya keluar berdasarkan hasil koordinasi dengan gubernur setelah diparaf bawahannya. (sal)

Komentar Anda