Pasutri Dosen UIN Mataram akan Dikukuhkan Bersamaan Jadi Profesor

MATARAM – Pasangan suami istri yang menjadi dosen di Univesitas Islam Negeri (UIN) Mataram bakal dikukuhkan secara bersamaan menjadi guru besar pada Rabu tanggal 16 November mendatang. Kedua pasangan ini adalah Prof Dr Abdul Wahid, M.Ag, M.Pd dan Prof Atun Wardatun, M.Ag, M.A, Ph.D. Pasangan suami istrinya ini akan dikukuhkan sebagai guru besar bidang Antropologi Agama dan Bidang Hukum Keluarga Islam.

“Capaian guru besar ini tentu raihan tertinggi bagi seorang akademisi. Suatu yang membanggakan, tetapi juga punya beban yang berat, menyangkut tanggung jawab keilmuan. Pengukuhan bersama dengan istri ini juga hal lain yang kami anggap suatu keberkahan, buah dari kerja keras dan kerja sama dalam keluarga, masing-masing bisa menopang satu sama lain,” ungkap Prof Abdul Wahid.

Menurutnya, pengukuhan bersama ini kebetulan dijadikan sebagai momentum bertemunya dua bidang keilmuan, satu Antropologi Agama satu lagi Hukum Keluarga Islam. Dalam studi Islam ada paradigma interkoneksi-multidisipliner, dan dirinya ingin menyumbang bagi praktik interkoneksi keilmuan.

Baca Juga :  STIKES dan STEI Hamzar Cetak SDM Berkualitas Profesional

“Kebetulan kami banyak melakukan proyek penelitian bersama dengan satu subjek yang sama, tapi dengan pendekatan yang berbeda sesuai corak keilmuan kami masing-masing,” jelasnya.

Dipaparkan,  awalnya proyek penelitian interdisipliner yang dibuat itu hanya dilakukan dengan pertimbangan efisiensi dan soliditas tim. Akan tetapi lama-lama dirinya menemukan bahwa realitas dalam masyarakat Muslim Indonesia cukup menarik untuk didekati secara interkoneksi.

Atas dasar itu, ia mulai mendalami salah satu sampel masyarakat Muslim, yakni Bima. Karena ada kemiripan simetris, atau disebut fraktalitas, antara satu masyarakat Muslim dengan masyarakat Muslim lainnya di Indonesia, maka dikembangkan penelitian untuk membuktikan fraktalitas itu, maka ia bersama tim meneliti masyarakat Ruteng Reo di NTT, masyarakat Banjar-Martapura di Kalimantan Selatan, masyarakat Muslim Kendari Sulawesi Tenggara, dan masyarakat Muslim Minangkabau di Padang dan Pariaman.

Selain itu,  ada semangat untuk ikut mengembangkan apa yang disebut Antropologi baru Islam, yakni suatu studi yang menekankan pada penelusuran lebih mendalam dunia batin masyartakat Islam, yakni cara mereka menhayati sumber-sumber agama sambil melihat praktik mereka yang bersifat partikulariras atau khas.

Baca Juga :  DPR NTB Dukung Eks Akper Selong Dijadikan SMA Sakra

’Dari situ ia bersama tim menemukan suatu fenomena lain, yaitu fenomena Heterarki. Maksudnya, ternya untuk melihat masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, khsususnya lagi di Bima.

“Tidak bisa kita lihat semata-mata secara hierarki, karena memang banyak ditemukan unit-unit kekuatan dalam masyarakat Muslim, berupa pengetahuan, otoritas-otoritas, yang satu sama lain menjalin relasi dalam apa yang bisa disebut heterarki,” paparnya.

Salah satu contoh heterarki, atau tidak berlakunya hierarki dalam masyarakat Muslim Bima, adalah tidak adanya  identitas baku dalam hubungan otoritas agama dengan umat di grass root. Tidak ada sebutan Tuan Guru atau Kiyai yang disematkan secara baku. Hubungan Umat-Ulama tidak begitu hierakis. dengan kata lain, kantong-kantong pengetahuan relatif menyebar. (adi)

Komentar Anda