Kisah Maridi, Guru Asal Lombok yang Mengajar di Papua

Berjalan Kaki 4 Jam Untuk Mengajar, Pernah Juga Ingin Dibunuh

Guru Asal Lombok yang Mengajar di Papua
MENGABDI : Maridi S.Pd, SGI mengajar anak didiknya di sekolah terpencil di Papua. (Maridi For Radar Lombok)

Cerita keterbelakangan Papua yang selama ini terdengar, dialami langsung oleh guru asal Lombok Tengah. Membawa idealisme sejak mahasiswa, membuat seorang Maridi terpanggil untuk mengabdi di pelosok negeri Indonesia.


AZWAR ZAMHURI – MATARAM


Sejak kuliah S1 di Universitas Islam Negeri  Malang jurusan pendidikan Bahasa Inggris, idealisme Maridi tumbuh dan berkembang karena aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Pria kelahiran 8 Desember tahun 1989 di Dusun Liwung Desa Setuta Kecamatan Janapria ini, ingin mengabdi membangun negeri, dan mengaktualisasikan ilmu yang didapatkan dalam kehidupan nyata.

Pria yang hobi travelling dan membaca ini, sejak SMA memang memiliki mimpi untuk bisa mengunjungi pelosok-pelosok negeri. Mimpi dan idealisme itu, membuatnya memilih jalan hidup yang jarang ditempuh orang lain. Setelah lulus kuliah tahun 2012 lalu,  Maridi ikut program Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa dan dinyatakan lulus. Itulah langkah awal yang diambilnya sebagai pintu pengabdian. Setelah lulus, Maridi dikuliahkan selama 6 bulan di Bogor sebelum dikirim ke Kalimantan untuk mengabdi disana sebagai guru.

Maridi ditugaskan di perbatasan Malaysia- Kalimantan selama 1 tahun 6 bulan. Sepulangnya, ia menikah dengan Nurul Haeniah pada tanggal 25 Desember 2014 dan dikaruniai seorang putri bernama Farosha Keylila Nadhifa.

Setelah menikah, ada yang kurang dari hidup Maridi. Idealisme dan semangat membangun negeri yang ada dalam jiwanya, seakan berontak. “Saya merasa belum cukup dalam pengabdian saya kepada negeri ini. Akhirnya saya   putuskan program ikut GPDT (Guru Penggerak Daerah Terpencil – red),” tutur Maridi kepada Radar Lombok saat bertemu di Mataram, Senin kemarin (26/2).

Baca Juga :  SMAN 4 Mataram Tambah 2 Kelas untuk Zona Terdekat

Program GPDT diadakan oleh Universitas Gajah Mada (UGM). Kontrak tersebut sebenarnya telah berakhir sejak tanggal 8 Januari 2018, namun pihak UGM minta tetap dilanjutkan karena memang guru di Papua sangat kurang. “Menurut saya, inilah kontribusi yang sebenarnya dalam membangun negeri ini. Mengabdi di Papua yang serba berbeda secara adat, budaya, transportasi, komunikasi, logistik dan serba kekurangan semuanya,” kata alumnus SDN Liwung, MTs Liwung dan MAN 1 Praya ini.

Menjadi guru bahasa Inggris di Papua, benar-benar pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Disana, Maridi harus mengajar bahasa Inggris di SMPN 2 Homeyo, SMP YPPK SATAP Bilai, SDN Inpries Pogapa dan menjadi guru kelas di SD YPPK Satap Bilai.

Maridi harus mengajar dibanyak tempat, karena tidak ada guru bahasa Inggris dalam satu kecamatan Homeyo itu. Parahnya lagi untuk menuju tempat mengajar, tidak bisa menggunakan kendaraan sepeda motor. Lokasi sekolah memang berada di pegunungan, tidak ada infrastruktur jalan disana. “Saya ngajarnya memang di atas pegunungan, harus jalan naik selama 4 jam,” ungkapnya.

Untuk mensiasatinya, Maridi terkadang berdiam diri menginap di atas gunung selama satu minggu. Mengingat, tempat tinggalnya di bawah di rumah adat. Transportasi utama yang bisa digunakan adalah pesawat kecil. “Bandaranya di depan sekolah. Saya naik pesawat kecil kalau ke pusat pemerintahn di distrik Sugapa atau sewaktu beli logistik,” ucapnya.

Berjalan kaki bagi Maridi selama 4 jam untuk mengajar, bukanlah masalah. Itulah yang dinamakan pengabdian untuk negeri. Namun pristiwa yang tidak bisa dilupakannya, ketika masyarakat setempat ingin membunuhnya.

Baca Juga :  Dua Tahun Tafakur, Lagu “Sumbawanesia” Tercipta

Belum lagi perang suku yang sering terjadi. Sekolah bahkan sering disegel hanya  gara-gara masalah pribadi dengan anaknya. “Saya pernah berpikir untuk berhenti. Tapi inilah yang mungkin namanya pengabdian. Apalagi ketika saya ingin dibunuh hanya karena persoalan sepele,” kata Maridi.

Beberapa waktu lalu, ada siswa kelas X SMP yang tidak bisa ikut ujian. Hal itu disebabkan usia siswa tersebut sudah 33 tahun. “Usianya sudah 33 tahun, mau ikut ujian tapi namanya tidak bisa masuk dapodik. Nah masyarkat disana tidak tahu soal online, mereka marah dan mencari-cari saya ingin dibunuh saja,” tuturnya.

Maridi sendiri sudah berusaha agar siswa yang berusia 33 tahun tersebut bisa ikut ujian. Dirinya bahkan langsung konsultasi dengan dinas pendidikan disana. Namun memang tidak bisa diupayakan. “Tapi sebenarnya masyarakat disana sangat ramah, siswa-siswi juga semangat belajar. Cuma memang ada kesalahpahaman saja,” katanya.

Bertahun-tahun mengabdi di Papua, memperluas wawasan Maridi. Banyak hal yang didapatkan disana. Namun di sisi lain, dirinya ingin kembali dan menetap di NTB untuk mengabdi. Setelah cukup lama dirinya di daerah orang hingga pelosok, sudah saatnya membangun kampung halaman sendiri dan mengabdi membangun desa serta daerah.

Mimpi Maridi, ingin melihat anak-anak muda di pulau Lombok dan NTB bisa menjadi generasi yang siap menghadapi tantantangan zaman dan krisis sosial.  “Saya secara khusus, ingin mengabdi juga untuk memajukan sektor pendidikan,” tutupnya.(*)

Komentar Anda