Jaksa Kembali Periksa Mantan Kepala BNI Mataram

DIBORGOL : Mantan Kepala Cabang Bank BNI Mataram dengan kodisi tangan terborgol dan memakai rompi tahanan Kejati NTB, saat akan dibawa ke Lapas Mataram beberapa waktu lalu. (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB kembali memeriksa AM, mantan Kepala Cabang Bank BNI Mataram, salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyaluran bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif jagung di Lombok Timur (Lotim) tahun 2020 – 2021.

“Iya, penyidik lagi memeriksa tersangka AM,” ungkap Kasi Penkum Kejati NTB, Efrien Saputera, Rabu (26/10).

AM diperiksa sebagai saksi dari tersangka lainnya, yaitu LIRA, Bendahara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) NTB. AM diperiksa mulai dari pukul 10.00 Wita hingga 17.00 Wita. Untuk materi pemeriksaan, Efrien tidak mengetahui secara persis. “Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka LIRA, untuk berkas perkara,” katanya.

Sisi lain, dalam kasus ini berdasarkan hitungan Kejati NTB, potensi kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp 29,95 miliar. Potensi ini dilihat dari banyaknya petani yang tercatut namanya sebagai penerima, yaitu sebanyak 789 orang.

Untuk lebih memastikan kerugian negara yang ditimbulkan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB, selaku auditor. “Hasil perhitungan kerugian negara belum keluar, masih dilakukan perhitungan,” sebutnya.

Sebagai tersangka, keduanya disangkakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Tersangka sudah ditahan di Lapas Mataram dan sudah sudah diperpanjang selama 40 hari kedepan,” ujarnya.

Untuk diketahui, kasus ini sebelumnya ditangani Kejati NTB atas adanya laporan masyarakat, terutama para petani yang menjadi korban pengajuan KUR fiktif di BNI. Permasalahannya yaitu para petani kesulitan untuk mendapatkan akses pinjaman di bank. Hal tersebut disebabkan karena para petani telah tercatat namanya sebagai penerima pinjaman KUR di BNI. Padahal para petani sama sekali tidak pernah menerima dana KUR tersebut.

Total jumlah petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR fiktif ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Dari jumlah tersebut total pinjaman KUR fiktif yang menjual nama petani ini mencapai Rp 16 miliar lebih.

Kasus ini bermula pada Agustus 2020. Ketika itu, Dirjen salah satu kementerian melakukan pertemuan dengan para petani di wilayah selatan Lombok Timur. Dalam pertemuan itu, Dirjen tersebut memberitahukan terkait adanya program KUR untuk para petani.

Informasi itu lalu ditindaklanjuti dengan pengajuan nama petani yang diusulkan mendapatkan kredit. Untuk petani jagung sekitar 622 orang yang tersebar di lima desa. Yang paling banyak adalah petani jagung di Desa Ekas Buana dan Sekaroh Kecamatan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan pinjaman sebesar Rp 15 juta per hektare dengan total luas lahan mencapai 1.582 hektare.

Sementara petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan dana KUR mulai Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per orang.

Para petani yang terdata sebagai penerima KUR diwajibkan menandatangani berkas-berkas pendukung untuk kelancaran pengajuan pinjaman tersebut. Proses penandatanganan dilakukan oleh petani jagung di lima desa di wilayah Kecamatan Jerowaru yang melibatkan pihak ketiga atau off taker yaitu CV. Agro Briobriket dan Briket (ABB) serta oknum pengurus HKTI NTB sebagai mitra pemerintah dan BNI Cabang Mataram sebagai mitra perbankan dalam penyaluran KUR. Sementara untuk petani tembakau melalui BNI Cabang Praya.

Saat proses pengajuan KUR ini, pihak BNI langsung turun meminta tanda tangan para petani dengan dilengkapi berkas pinjaman. Skema KUR tani melibatkan pihak ketiga atau off taker, yaitu CV ABB. Perusahaan atau off taker ini kuat dugaan ditunjuk langsung dari pihak kementerian, termasuk juga salah satu organisasi di NTB yang bergelut di bidang pertanian.

Namun persoalan mulai muncul ketika sejumlah petani yang ingin mengajukan pinjaman di BRI tidak bisa diproses. Mereka dinilai keuangannya bermasalah karena memiliki pinjaman dan tunggakan KUR di BNI. Tunggakan mereka pun beragam, mulai dari Rp 15 juta hingga Rp 45 juta tergantung dari jumlah luas lahan yang dimiliki. Sementara petani ini mengaku tidak pernah menerima dana kredit itu. (cr-sid)

Komentar Anda