HPTKes dan APTISI Tolak Keras Permendikbud Soal Uji Kompetensi Mahasiswa Kesehatan

Pengurus Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta Indonesia (HPTKes) dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) menolak Permendikbud Nomor 2 Tahun 2020 ( istimewa )

JAKARTA – Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Swasta Indonesia (HPTKes) dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) menolak keras Permendikbud Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan (Permen Ukom).

Sikap tersebut sudah disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 13 April 2022, sebagai bagian dari langkah-langkah hukum menolak aturan tersebut. Ketua Umum HPTKes Budi Djatmiko dan tim telah menyampaikan sedikitnya tujuh poin pertimbangan mengapa aturan tersebut harus dibatalkan.

Pertama, Permen Ukom sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Nakes) malah memuat norma baru yang tidak memiliki landasan pengaturan dalam UU Nakes dengan membentuk lembaga baru yakni Komite Nasional Uji Kompetensi. ”Hal ini sudah diperingatkan dengan tegas oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIX/2021 tanggal 15 Desember 2021 dalam perkara constitutional review UU Nakes,” tulisanya dalam siaran pers yang diterima Senin (25/4/2022).

Pertimbangan Hukum dalam Putusan MK No. 56/PUU-XIX/202, halaman 38 berbunyi “…Meskipun demikian, materi muatan dalam Peraturan Menteri a quo juga haruslah selaras dan tidak boleh bertentangan dengan UU 36/2014 atau bahkan menciptakan norma hukum baru yang tidak diatur dalam undang-undang yang memerintahkan pembentukan Peraturan Menteri dimaksud.”

Kedua, menurut UU Nakes, kewenangan melaksanakan uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan ada pada perguruan tinggi. Kehadiran Komite Nasional Uji Kompetensi yang dibentuk oleh peraturan menteri (yang secara hirarki merupakan peraturan pelaksana yang berada di bawah undang-undang) justru mengambil alih kewenangan Perguruan Tinggi yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 21 (2) UU Nakes berbunyi “Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.”

Baca Juga :  NTB Jadi Mentor BLUD SMK Wilayah KTI

Ketiga, meskipun Permen Ukom mengalihkan pelaksanaan uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan kepada Komite Nasional Uji Kompetensi, tanggung jawab penerbitan sertifikat kompetensi tetap berada pada perguruan tinggi. ” Padahal, sebagai akibat pengambilalihan kewenangan tersebut, perguruan tinggi tidak lagi memiliki andil dalam penentuan kriteria, standar, dan output dari uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan. Dengan demikian, perguruan tinggi hanya berperan sebatas “tukang stempel” sertifikat karena tidak lagi memiliki fungsi quality control,” tambahnya.

Keempat, Permen Ukom yang mengatur dan menjadikan uji kompetensi sebagai prasyarat kelulusan mahasiswa untuk memperoleh gelar akademik dan penerbitan ijazah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas telah mengatur bahwa kewenangan menentukan syarat kelulusan sepenuhnya berada pada perguruan tinggi. Akibatnya, lebih dari 300 ribu mahasiswa bidang kesehatan terhalang kelulusannya sehingga harus memperpanjang masa studi dan membayar tambahan biaya uang kuliah.

Alih-alih menjadi aturan pelaksana undang-undang, kehadiran Permen Ukom justru menjadi penghambat bagi perguruan tinggi untuk melaksanakan perintah undang-undang. Pasal 25 ayat (1) UU Sisdiknas berbunyi “Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.”. Selanjutnya Pasal 61 ayat (2) UU Sisdiknas berbunyi “Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.”

Baca Juga :  Perusahaan Malaysia Tertarik Rekrut Lulusan SMK Pariwisata NTB

Kelima, uji kompetensi sebagai syarat kelulusan mahasiswa dan syarat perolehan gelar akademik adalah keliru secara filosfis dan secara fungsional tidak tepat sasaran. Uji kompetensi sejatinya diperlukan sebagai acuan standar kemampuan calon tenaga kesehatan ketika berpraktik. ”Namun demikian, tidak semua mahasiwa bidang kesehatan nantinya akan berpraktik dan menekuni profesi sebagai tenaga kesehatan setelah lulus dari perguruan tinggi. Uji kompetensi seharusnya ditujukan kepada lulusan kampus/jurusan bidang kesehatan yang memang akan berpraktik sebagai tenaga kesehatan,” jelasnya.

Keenam, hasil dari uji kompetensi dengan metode computer based test (CBT), seperti yang diatur dalam Permen Ukom hanya dapat memberikan gambaran dimensi pengetahuan (knowledge) calon tenaga kesehatan. Namun tidak dapat dijadikan acuan untuk menilai kompetensi calon tenaga kesehatan secara utuh.”
Kompetensi tenaga kesehatan sejatinya terdiri dari tiga elemen yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, yakni pengetahuan (knowledge), kemampuan praktik (practice), dan sikap tindak (attitude),” tulisnya.

Ketujuh, setiap mahasiswa yang akan mengikuti ujian kompetensi dikenakan biaya ujian. Menurut Permen Ukom, biaya ujian kompetensi tersebut merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (“PNBP”). Namun demikian, pengelolaan biaya ujian yang secara akumulatif berjumlah ratusan miliar rupiah tersebut tidak transparan dan tidak mengikuti skema pengelolaan PNBP berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2020 tentang Pengelolaan PNBP. Namun, dikelola oleh Pejabat Pengelola Keuangan yang ditunjuk langsung oleh Mendikbudristek melalui Keputusan Menteri yang saat ini dipegang oleh Wakil Rektor Bidang Keuangan Universitas Jember.(rl)

Komentar Anda