Gubernur Minta Isu Fee Proyek DAK Dinetralisir

H Zulkifliemansyah (FAISAL HARIS/RADAR LOMBOK)

MATARAM – Gubernur NTB Zulkieflimansyah memanggil Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB, Aidy Furqon dan jajarannya menyusul merebaknya isu fee proyek DAK fisik 2022.

Gubernur mengaku telah mengklarifikasi kebenaran isu yang telah menyebar ke publik itu. Termasuk untuk meminta dinas terkait menetralisir persoalan itu agar tak menjadi isu liar yang terus menggelinding. Mengingat, sebuah isu biasanya berkembang ketika ada pihak yang tidak merasa puas atas suatu kebijakan. ‘’Ketidakpuasan ini biasanya menimbulkan reaksi yang tidak trekontrol. Saya sudah suruh jaga-jaga untuk tidak ada preferensi. Apalagi sampai terima uang, terus dikasi kerjaan,” katanya, Kamis (11/8).

Zulkiefli mengaku akan ada pendampingan dari kejaksaan untuk memastikan kelancaran semua proses tahapan pembangunan proyek DAK fisik di bidang pendidikan tersebut. Pendampingan ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya potensi penyimpangan. ‘’Dengan adanya pendampingan baik dari Kejaksaan maupun Inspektorat tentu proses akan lebih mudah dan transparan,’’ ujarnya.

Selain itu, Zulkiefli juga berharap bagi pelaksana proyek yang terpilih nanti dalam mengerjakan proyek agar dapat memperhatikan kualitas pembangunan. Tidak hanya menghabiskan anggaran tetapi kualitas pembangunan tidak sesuai harapan. “Mudah-mudahan yang terpilih mengerjakan (proyek DAK) yang betul-betul hasilnya bagus,” tandasnya.

Seperti diketahui, besaran pagu anggaran untuk pembangunan proyek DAK fisik di bidang pendidikan dengan Subbidang SMA mencapai Rp 78,12 miliar lebih. Dengan rincian untuk pembangunan di Kota Mataram sebesar Rp 4,7 miliar lebih, Kabupaten Lombok Barat Rp 6,5 miliar lebih, Lombok Tengah Rp 17,3 miliar lebih, Lombok Timur Rp 17,9 miliar, Lombok Utara Rp 7,2 miliar, Sumbawa Rp 2,06 miliar lebih, Sumbawa Barat Rp 803 juta, Dompu 8,4 miliar lebih, Bima Rp 10,7 miliar lebih, dan Kota Bima Rp 2 miliar lebih.

Jumlah pembangunan di NTB yaitu sebanyak 117 paket pengerjaan dan rehab sebanyak 97 paket pengerjaan. Rinciannya 31 sekolah di pulau Lombok dengan peket pembangunan sebanyak 76 peket pengerjaan dan rehab sebanyak 67 paket pekerjaan. Sedangkan di pulau Sumbawa tersebar di 27 sekolah, pembangunan sebanyak 41 peket pengerjaan dan rehab sebanyak 30 peket pengerjaan.

Baca Juga :  Gubernur Beber Alasan Kadistanbun Ajukan Pensiun Dini

Selanjutnya untuk DAK fisik Subbidang SMK, pagu anggarannya sebesar Rp 53,5 miliar lebih. Dengan rincian Kota Mataram Rp 3,02 miliar lebih, Kabupaten Lombok Barat Rp 6,07 miliar lebih, Lombok Tengah Rp 4,25 miliar lebih, Lombok Timur Rp 13,3 miliar, Sumbawa Barat Rp 2,5 miliar lebih, Sumbawa Rp 15,7 miliar lebih, Dompu Rp 5,5 miliar lebih, Bima Rp 1,02 miliar lebih, dan Kota Bima Rp 1,97 miliar lebih.

Sementara untuk DAK fisik Subbidang SLB di Provinsi NTB alokasi DAK fisik, yaitu sebesar Rp 4,6 miliar. DAK tersebut akan dialokasikan untuk pembangunan ruang kelas baru, bangunan gedung perpustakaan, pembangunan kantin SLB, pembangunan ruang pembelajaran khusus dan rehab ruang ibadah di SLB baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa. Semua paket proyek tersebut dikerjakan dengan metode swakelola.

Terpisah, Direktur Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Provinsi NTB, Ramli Ernanda menilai bahwa pembangunan proyek DAK fisik dengan pola swakelola rentan terjadi permainan. Sehingga wajar kemudian berhembus adanya dugaan pemberian fee dan lain sebagainya. “Kami menilai metode swakelola dalam pengerjaan DAK fisik ini sangat sarat dengan potensi permainan karena dilaksanakan dengan tertutup,” katanya.

Menurutnya, perlu ada argumentasi yang klir terkait pemilihan metode PBJ menggunakan model swakelola. Karena melihat item pekerjaannya yang lebih tepat dilakukan melalui penyedia. Bahkan, kalau merujuk ke Peraturan LKPP Nomor 3 tahun 2021, swakelola dilaksanakan manakala barang yang dibutuhkan tidak dapat disediakan oleh pelaku usaha, atau lebih efektif dan efisien kalau dilakukan oleh pelaksana swakelola. Atau dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya teknis yang dimilki pemprov, atau barangnya bersifat rahasia. “Kami justru menduga pemilihan swakelola sebagai ajang bagi-bagi kue dengan oknum tertentu,” tudingnya.

Baca Juga :  Layanan Dikeluhkan, Dewan akan Panggil Direktur RSUD NTB

Ramli juga melihat, jika model swakelola yang harus diterapkan akan memberikan peluang bagi pemilik kewenangan dalam pengelolaan DAK bidang pendidikan dari perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. “Maka di sinilah ruang masuknya para broker proyek. Broker ini berperan membawa para penyedia atau pemborong agar mendapat keistimewaan untuk ditunjuk atau dipilih dalam penyediaan material atau tenaga kerja,” jelasnya.

Siapa para broker tersebut, kata Ramli, tentu mereka yang punya akses ke pihak yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan DAK. “Ini modus umum sebenarnya. Dan Kami duga tidak hanya di Dikbud,” katanya.

Ramli juga menyinggung soal beredar isu soal fee DAK. Hal ini harus diperjelas posisi para penerima fee yang sudah diketahui publik dengan beredarnya bukti transfer untuk bisa dilacak siapa para penerima dan pengirimnya. “Praktik ini menurut kami memang tidak bisa dikategorikan suap atau gratifikasi. Tapi tindakannya dapat jadi petunjuk awal untuk APH menelisik engkarit pengelolaan DAK pendidikan. Kedua, kami kira Inspektorat dan Biro AP perlu melakukan reviu atas seluruh rencana proyek swakelola yang rencanakan OPD dan melakukan mitigasi untuk mencegah terjadinya praktik kavling proyek,” katanya.

Maka dari itu, kata Ramli, perlu dibuka ke publik seberapa besar PBJ yang dikerjakan melalui swakelola, baik tipe I (oleh OPD), tipe II (OPD lain/perguruan tinggi), tipe III (oleh ormas), dan tipe IV (oleh pokmas) maupun PBJ yang dilaksanakan melalui penyedia. Agar masyarakat bisa ikut mengawasi kemana pajak yang dibayarkan ini dibelanjakan. “Ketiga, gaduh ini menurut saya perlu dijembatani agar tidak liar dan dapat diklarifikasi danga klir oleh Dikbud. Permendikbud 3/2022 sebenarnya memberikan ruang bagi masyarakat termasuk siswa untuk menyampaikan pengaduan terkait pelaksanaan DAK pendidikan ini. Sehingga Dinas Dikbud perlu menyediakan salurannya,” tambahnya. (sal)

Komentar Anda