Dua Anggota DPRD Lotim dari PDIP Akui Terima Alsintan Tanpa Prosedur

BERSAKSI: Dua Anggota DPRD Lotim tengah duduk di kursi persidangan untuk bersaksi dalam persidangan korupsi penyaluran bantuan alsintan. (ROSYID /RADAR LOMBOK )

MATARAM–Dua Anggota DPRD Lombok Timur (Lotim) dari PDIP dihadirkan dalam sidang korupsi penyaluran alat dan mesin pertanian (alsintan) pada Dinas Pertanian (Distan) Lotim, Rabu (24/5) kemarin. Mereka ialah Fauzul Aryandi dan Mariana.

Terungkap, bantuan yang bersumber dari kementerian itu dibagi-bagi ke kelompok tani (poktan) tanpa melalui prosedur. Dan petani yang mendapatkan bantuan bukan petani yang masuk dalam daftar penerima bantuan.

Saksi Mariana, yang juga satu fraksi dengan terdakwa Saprudin (mantan Anggota DPRD Lotim) dari partai PDIP mengungkapkan bahwa dirinya turut mendapatkan bantuan tersebut, berupa empat unit mesin pompa air. Bantuan itu diambil dari terdakwa Asri, setelah mendapatkan arahan dari terdakwa Saprudin. Meminta jatah bantuan kepada terdakwa Saprudin dilakukan saksi karena sudah dijanjikan sebelumnya. “Saya ambil di rumah Asri Mardianto (terdakwa), karena semua bantuan itu di sana,” katanya.

Empat mesin pompa air yang didapatkan kemudian dibagikan kepada poktan. Akan tetapi, poktan yang diberikan bantuan tersebut bukan poktan yang masuk dalam daftar penerima bantuan yang sesungguhnya. Dia pun tidak menyangkal tidak melakukan pengusulan poktan sebagai penerima bantuan tersebut. Tetapi karena Saprudin sudah berjanji untuk memberikan ke poktan makanya ditagih.

“Karena sudah ada poktan lain yang sudah dapat, tetapi poktan saya tidak dapat. Makanya saya tagih meski tidak diusulkan sebelumnya,” ucapnya.
Sisi lain, Mariana juga mengakui bahwa pada saat bantuan tersebut masih dalam pengusulan, dirinya ikut mendampingi terdakwa Saprudin ke Kementerian Pertanian sebanyak dua kali. “Saya turut mendampingi Pak Saprudin ke Jakarta, makanya saya tagih ketika bantuan itu disalurkan,” bebernya.

Kendati sempat menemani terdakwa ke Jakarta, saksi mengakui tidak mengetahui bahwa bantuan tersebut turun ke Lombok Timur. Melainkan mengetahui setelah ada poktan yang sudah mendapatkan bantuan. “Saya tidak tahu kapan datangnya ke Lotim, saya tahunya kalau sudah ada poktan yang dapat, makanya saya tagih ke pak Saprudin,” sebutnya.

Sementara saksi Fauzul Aryandi, mengakui mendapatkan bantuan tersebut sebelum dirinya menjadi Anggota DPRD Lotim. Mendapatkan bantuan tersebut setelah ditawarkan oleh seseorang bernama Amrullah. Dan bantuan yang ditawarkan itu tidak diketahui merupakan bantuan dari kementerian. “Hanya sebatas ditawarkan saudara Amrullah, setahu saya Amrullah sebagai yang mengurus administrasi,” akunya.

Bantuan alsintan yang didapatkan saksi ini berupa satu unit traktor roda dua dan empat unit mesin air. Dalam mendapatkan bantuan itu, ia mengeluarkan uang sebesar Rp 13 juta. “Uang itu saya berikan berikan kepada Amrullah,” sebutnya.
Uang administrasi yang diserahkan itu pun tidak diketahui peruntukannya untuk apa dan akan diberikan ke siapa. Amrullah hanya menyatakan uang tersebut sebagai syarat administrasi. “Atas dasar administrasi, saya berikan uang itu,” ucap dia.

Setelah mendapatkan, bantuan itu kemudian digunakan oleh Poktan Barokah 2. Poktan ini pun diakui yang menjadi ketua kelompok pamannya sendiri. Mengenai Poktan Barokah 2 yang memiliki legalitas sebagai penerima alsintan tersebut, berdasarkan adanya surat keputusan (SK), tidak diketahui. “Saya tidak tahu,” jawabnya.

Dalam kasus ini telah ditetapkan tiga tersangka dan para tersangka ini memiliki peran berbeda. Untuk tersangka Sapruddin berperan menyuruh tersangka Asri Mardianto (warga) membentuk unit pelayanan jasa (UPJA) alsintan untuk diusulkan ke Dinas Pertanian Lombok Timur.

UPJA yang diusulkan sebagai syarat untuk diterbitkan SK calon petani calon lokasi (CPCL) penerima, baru setelah itu bantuan alsintan ini bisa diterbitkan.
Sedangkan tersangka Asri Mardianto berperan membentuk dua UPJA sesuai permintaan tersangka Sapruddin. Dua UPJA tersebut berada di Kecamatan Pringgabaya dan Suela. Namun UPJA yang dibentuk itu hanya formalitas.
Terakhir tersangka Zaini selaku Kepala Dinas Pertanian berperan menerbitkan SK CPCL sesuai usulan diajukan tersangka S. Namun proses penerbitan SK CPCL tersebut tanpa melalui verifikasi kebenaran dan keabsahan CPCL yang diusulkan.

Bantuan alsintan di tahun 2018 terdiri dari traktor roda 4 sebanyak 5 unit, traktor roda 2 sebanyak 60 unit, pompa air 121 unit, pompa air Honda irigasi 29 unit dan handsprayer 250 unit.
Penggunaan bantuan alsintan ini sama sekali tidak sesuai dengan peruntukan. Bahkan sebagian dikuasai secara pribadi oleh para tersangka ini. Atas perbuatan para tersangka ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 3,8 miliar. Hal tersebut berdasarkan hasil audit yang diterima dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI Perwakilan NTB.

Perbuatan para tersangka ini telah melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. (cr-sid)

Komentar Anda