BI Pantau Kondisi NPL BPR di NTB

NPL BPR NTB Diatas 15 Persen

Farid Faletehan
Farid Faletehan (DOK/RADAR LOMBOK)

MATARAM–Akibat tingginya rasio kredit bermasalah ‘Non Performing Loan’ (NPL), kondisi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kian memprihatinkan. Hal ini tak ayal mendapat perhatian serius dari pihak Bank Indonesia (BI). Meski pengawasan berada di tangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), namun BI tetap harus memantau dampaknya terhadap industri perbankan dan perekonomian.

Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI), Linda Maulidina Hakim, mengatakan BI tetap dan terus melakukan pemantauan terhadap kondisi usaha dari BPR yang ada di Provinsi NTB dan juga daerah lainnya di Indonesia. “Kami di BI tetap melakukan pemantauan kondisi BPR di NTB, termasuk daerah lainnya di Indonesia, dampaknya terhadap perekonomian,” kata Linda, Kamis kemarin (23/11).

Baca Juga :  Dewan-Eksekutif Disebut Kecipratan Duit BPR, Saksi Beber Peran Manggaukang

Di Provinsi NTB terdapat ada 32 lembaga BPR yang beroperasional. Dari 32 BPR tersebut, terdapat 29 BPR konvensional, dan 3 BPR menjalankan usaha prinsip syariah. Selanjutnya dari 32 BPR tersebut, terdapat 8 BPR merupakan milik pemerintah daerah dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan sisanya sebanyak 24 lembaga BPR milik swasta patungan, dan ada juga saham mayoritasnya dimiliki BUMN, yakni PT BPR PNM Patuh Beramal.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dijelaskan bahwa Bank Indonesia bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan makro prudensial sejak 31 Desember 2013.

Artinya, Bank Indonesia bertugas memonitor pengaruh tingginya rasio kredit bermasalah atau NPL perbankan yang tergolong sistemik atau menimbulkan kerugian ekonomi yang besar di sektor keuangan. “BI tetap memberikan masukan kepada OJK terkait dengan masalah rasio kredit bermasalah yang cukup tinggi di BPR yang ada NTB,” jelasnya.

Sebelumnya Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi NTB, Farid Faletehan menyebut sebanyak dua lembaga BPR di NTB masuk dalam pengawasan khusus (DPK) yang habis masanya pada bulan Maret 2018 mendatang.

Baca Juga :  BPR Lobar Siapkan Rp 5,1 M untuk UMKM Pariwisata

“Dua BPR yang masuk kategori dalam pengawasan khusus ini terus kami pantau perkembangannya. Jika tidak ada perbaikan sampai batas akhir Maret 2018, maka akan ditutup,” kata Farid.

Sebanyak dua industri keuangan BPR itu, 1 BPR ada di Pulau Lombok dan 1 lagi ada di Pulau Sumbawa. Hanya saja, Farid enggan menyebut nama BPR yang masuk dalam pengawasan khusus OJK, karena kondisi usaha, NPL diatas 15 persen, serta kondisi Aset dan permodalannya anjlok.

Farid mengatakan, sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 19/POJK.03/2017 tentang penetapan status dan tindak lanjut pengawasan Bank Perkreditan Rakyat/Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPR/BPRS), yang mulai berlaku tertanggal 1 November 2017, bahwa BPR yang masuk dalam pengkawasan khusus (DPK) setelah tanggal 2 November 2017, maka perbaikan usahanya itu diberikan tenggat waktu selama tiga bulan.

Jika selama tiga bulan BPR/BPRS tersebut tidak ada perbaikan sesuai ketentuan, maka BPR/BPRS tersebut akan dicabut izinnya alias di tutup. Sementara itu, jika BPR/BPRS tersebut masuk dalam kategori pengawasan intensif, maka diberikan tenggat waktu melakuan perbaikan selama enam bulan. Jika dalam kurun waktu enam, bulan belum ada perbaikan, maka dikasih perpanjangan waktu hingga 1 tahun.

Baca Juga :  Tersangka BPR Buka Suara, Oknum Dewan dan Eksekutif Diduga Terima Dana

Menurut Farid, adanya ketentuan aturan baru dari OJK yakni Nomor 19/POJK.03/2017 tentang penetapan status dan tindak lanjut pengawasan BPR/BPRS. Sehingga pemegang saham/pemodal tidak bisa lagi setengah hati dalam mengelola dan menangani usaha BPR mereka.

Karena dalam ketentuan tersebut, jika BPR itu masih dalam kategori DPK (Dalam Pengawasan Khusus), maka waktu yang diberikan untuk memperbaiki serta memberikan suntikan modal inti sesuai ketentuan hanya 3 bulan. Selanjutnya jika tidak ada perubahan, maka OJK akan mengusulkan kepada Lembaga Penjamian Simpanan (LPS), dan OJK kemudian menutup izin/operasional dari BPR tersebut.

Untuk dua BPR yang masuk dalam pengawasan khusus OJK, lanjut Farid, dilakukan pemantauan dan pengawasan selama enam bulan. Karena kedua BPR yang operasional di Pulau Sumbawa dan satu lagi operasional di Pulau Lombok ini, mulai masuk DPK OJK sebelum November. Dengan demikikan masa pengawasan khusus selama 6 bulan.

“Kedua BPR itu berakhir masa pengawasan khusus sampai Maret 2018 mendatang. Jika sampai Maret tidak ada perubahan, maka akan ditutup,” tegas Farid. (luk)

Komentar Anda