Tersangka BPR Buka Suara, Oknum Dewan dan Eksekutif Diduga Terima Dana

Ilustrasi Korupsi
Ilustrasi

MATARAM — Dua tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan dana perubahan dan penggabungan (merger) bentuk Perusahaan Daerah (PD) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) NTB menjadi Perseroan Terbatas (PT) BPR NTB tahun 2016 senilai Rp 1,6 miliar, mulai bernyanyi.

Menurut  Mutawalli salah satu tersangka di kasus ini, konsolidasi merupakan kegiatan dan kepentingan pemegang  saham. Sedangkan dirinya sebagai waki ketua tim konsolidasi, hanya pekerja yang bertugas membantu pemilik (pemda) untuk menyempurnakan segala kelengkapan. Hal ini sebagai persiapan konsolidasi PD BPR menjadi PT BPR. ‘’ Jadi kami (tim konsolidasi) hanya buruh yang mana membantu pemilik untuk menyempurnakan segala kelengkapan untuk persiapan konsolidasi BPR,’’ujarnya saat memberikan keterangan, kemarin.

Dalam pelaksanaan konsolidasi ini, tim menerima mandat atau perintah dari kuasa pemilik.Akan halnya soal penarikan dana konsolidasi di bendara, pihaknya hanya mematuhi perintah. Dana itu ditarik diperuntukkan sebagai biaya percepatan pembahasan dan pengesahan peraturan daerah(Perda) BPR di DPRD NTB. Dikatakan, pihak  yang memiliki akses ke  DPRD NTB disebutnya hanya pemilik saham. Untuk diketahui, pemilik saham 8 PD BPR yang hendak di-merger ini adalah pemda. Sedangkan pengendali mayoritas saham adalah Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB. ‘’ Kami ini hanya pesuruh atau kurir yang diperintah untuk menarik dana,’’ akunya.

Dari informasi yang diterimanya, dana hasil iuran delapan PD BPR ini diserahkan ke beberapa oknum anggota DPRD NTB. Selain itu juga  mengalir ke oknum eksekutif.  ‘’ Dari informasi yang saya terima dari orang pemprov dana kontribusi ini mengalir ke beberapa anggota dewan dan eksekutif. Walaupun saya memang tidak memiliki bukti penyerahan,’’ ungkapnya.

Mengenai berapa anggaran yang mengalir ke oknum  eksekutif dan DPRD, Mutawalli mengatakan, besaran pastinya tidak diketahuinya. Namun, sepengetahuannya, khusus untuk biaya percepatan pembahasan dan pengesahan  Perda BPR lebih dari Rp 700 juta.

Ia memastikan, anggaran percepatan pembahasan dan pengesahan Perda  BPR ini tidak ada sama sekali dalam anggaran tim yang dimuat dalam  Term of Reference (TOR).  Namun, anggaran itu diadakan atas perintah dan permintaan dari pemilik sesuai SK bahwa kepala biro prekonomian sebagai pengarah. ‘’ Tapi ada orang yang terus memerintahkan kami untuk mengeluarkan dana dari tim. Maka kami mengalah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dan hal ini yang menjadi penyebab perbedaan pendapat antara kami dan wakil pemilik (kepala biro perekominan) selaku pengarah,’’ sesalnya.

Baca Juga :  Mantan Kadis Koperasi NTB Dituntut 2,5 Tahun

Terhadap hal tersebut, ia juga mendesak kejaksaan  mengusut aliran dana yang mengalir ke pihak legislatif dan eksekutif ini. Ia pun mengaku siap memberikan keterangan dalam pemeriksaan yang nanti akan dilakukan kejaksaan. ‘’ Nanti akan saya sampaikan keterangannya ke penyidik kejaksaan. Harusnya itu diusut juga,’’ Katanya.

Paska penetapan dirinya dan ketua tim konsolidasi Ikhwan sebagai tersangka oleh kejaksaan, Mutawalli mengaku kecewa dengan tidak adanya tanggung jawab dari pemilik saham terhadap mereka berdua. ‘’ Kenapa kami yang dikorbankan?. Sementara setelah kami  terjerat dengan hukum, sejauh mana tanggung jawab pemilik terhadap kami?,’’ sesalnya.

Sementara itu, tersangka lainnya Ikhwan melalui penasehat hukumnya Umayyah mengatakan, tanggung jawab pelaksanaan kegiatan konsolidasi berdasarkan SK Gubernur nomor 503-89 tahun 2016 .Terkait dengan susunan pengurus, penanggung jawab secara keseluruhan atas pelaksanaan kegiatan konsolidasi adalah kabag sarana perekonomian daerah pada Biro Ekonomi Setda Provinsi NTB. Sedangkan sumber  pembiayaan konsolidasi PD BPR berasal dari iuran delapan PD BPR NTB. ‘’ Rencana penggunaan dana untuk percepatan perda, sebenarnya telah diketahui oleh seluruh direksi BPR se-NTB. Karena pemilik atau pejabat yang mewakili telah menyampaikan pada rapat yang bertempat di ruang rapat biro perekonomian,’’ Katanya.

Ia menyoroti mengenai pembayaran pengadaan server (kelengkapan IT) yang pengelolaannya tidak sesuai dengan prosedur barang dan jasa. Dimana,dari hasil pemeriksaan kejaksaan ditemukan kesalahan tidak sesuai prosedur. Kliennya sebagai ketua tim konsolidasi telah mengingatkan agar pengadaan barang dan jasa harus mengikuti prosedur. Upaya yang telah dilakukan yaitu bersama pelaksana pengadaan IT untuk konsultasi dan meminta petunjuk dan arahan dari Pemprov NTB. Ia pun telah menawarkan contoh pengadaan barang dan jasa yang berada di kantor BPR Sumbawa.

Baca Juga :  OJK Penentu Pejabat Komisaris dan Direksi PT BPR

Upaya ini tidak ada tindak lanjut oleh tim. Justru anggota pengadaan IT mendesak kliennya   sebagai ketua untuk membayar lunas server. Tindakan tersebut ditindaklanjuti dengan mengirim surat kepada kliennya dengan nomor surat : 03/TIM-AK&IT/IX/2016 perihal pengadaan server, UPS dan biaya pelatihan sebesar Rp 621.783.300. ‘’ Klien saya tidak dapat memberikan rekomendasi sampai saat ini. Karena pengadaan barang dan jasa server tersebut dengan biaya cukup besar tidak melalui prosedur pengadaan barang dan jasa sehingga tidak ada dasar untuk dilakukan pembayaran.  Yang jelas  tidak pernah diberikan rekomendasi untuk membayar,’’ terangnya.

Dalam kasus ini, penyidik pidana khusus (Pidsus) Kejati NTB telah menetapkan dua orang sebagai tersangka. Keduanya masing-masing Ikhwan selaku ketua tim konsolidasi, tersangka lainnya Mutawalli yang tak lain wakil ketua tim konsolidasi.

Keduanya selaku ketua dan wakil tim konsolidasi secara bersama-sama bersurat ke delapan cabang BPR di NTB untuk meminta dana untuk proses merger. Awalnya disepakati di delapan  cabang BPR menyerahkan uang sebesar Rp 100 juta. Kemudian dilakukan lagi penambahan hingga terkumpul dana sebesar Rp 1,8 miliar. Pengelolaan uang tersebut diambil alih oleh keduanya dari bendahara tim konsolidasi. Namun sebagian penggunaan dana tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan perhitungan atau auditor dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB, kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp 1.063.578.853. Sebagai tersangka,  keduanya diduga melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo pasal 64 KUHP.(gal)

Komentar Anda