Kasus Lahan Gili Trawangan, Kejati Belum Temukan Bukti Kuat

Ely Rahmawati (ROSYID/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB belum menetapkan tersangka pada kasus dugaan korupsi aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB seluar 65 hektare, yang berada di kawasan Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara (KLU). Itu lantaran Kejati NTB belum menemukan adanya bukti yang cukup kuat.

“Masih pemeriksaan saksi-saksi, baik dari orang yang disewakan dan lainnya,” ucap Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB, Ely Rahmawati, Minggu (25/12).

Dalam kasus yang belum memiliki kepastian hukum ini, diyakini sudah banyak saksi yang sudah diperiksa oleh penyidik. “Termasuk juga ada warga asing yang diperiksa,” sebutnya.

Jumlah pasti saksi ini tidak disebutkan secara detail. Kendati sudah cukup banyak saksi yang diperiksa, penyidik belum menemukan alat bukti yang kuat untuk penetapan tersangka. “Apabila sudah mendapat alat bukti yang kuat, minimal dua alat bukti, baru akan menetapkan tersangka,” katanya.

Diyakini, penyidikan terhadap kasus tersebut masih terus berjalan. Selain pemeriksaan terhadap penyewa lahan maupun yang menyewakan. Penyidik juga sudah memeriksa ahli. “Ahli juga sudah kami periksa. Ahli dari Jakarta. Yang jelas kasusnya tidak berhenti, masih jalan. Kami masih mengumpulkan alat bukti,” tegasnya.

Salah satu saksi yang pernah diperiksa Kejati, yaitu Marwi. Pemeriksaan saksi diterbitkan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dengan Nomor: SP-1116/N.2.5/Fd.1/10/2022, tanggal 21 Oktober 2022.

Dalam surat yang ditandatangani Asisten Pidana Khusus Kejati NTB, Ely Rahmawati, meminta Marwi hadir menghadap tim penyidik Ema Mulyawati pada Selasa (25/10). Lokasi pemeriksaan Marwi sebagai saksi tertulis di Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.

Baca Juga :  Mantan Kepala Puskesmas Babakan dan Bendahara Dituntut 6 Tahun

Saksi Marwi, yang sebelumnya dimintai keterangan membenarkan bahwa telah menjalani pemeriksaan di Polsek Pemenang. Saksi ini juga membeberkan bukan hanya dirinya saja yang diperiksa penyidik, melainkan ada dua orang pengelola lahan lainnya, yang sama-sama menjadi pengelola juga dengan lahan berbeda-beda.

Di lahan milik Pemprov seluas 65 hektare tersebut, diakui dirinya mengelola lahan seluas tiga are. Dirinya menguasai lahan tersebut sejak masih kecil. Pemilik lahan itu tidak diketahui secara persis. Karena dahulu lahan itu sebelum dikelola seperti hutan, dan berinisiatif untuk dikelola. Sedangkan dua orang pengelola lainnya yang ikut diperiksa penyidik tersebut, pihaknya tidak mengetahui secara persis berapa luas lahan yang mereka kelola.

Diatas lahan yang dikelola tersebut, saat ini terdiri bangunan toko dan tempat tinggal, dan itu masih dikelola sendiri, dan tidak pernah disewakan. Pendapatan dari bangunan yang didirikan itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ditanyakan mengenai alat hak kepemilikan? Diakuinya memang tidak memiliki alas hak yang jelas. Hanya saja dia memiliki surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT). Pembayaran pajak itu pun tidak disetorkan ke pihak desa, melainkan disetorkan ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) KLU.

Lantas, kapan terkahir dirinya menyetor pajak? Saksi mengaku tidak mengingatnya. Begitu juga dengan jumlah pajak yang disetorkan. Yang diketahui, pajak yang disetorkan tergantung dari luas lahan itu sendiri.

Baca Juga :  Timses Caleg DPRD NTB Divonis Bebas

Perihal pajak, ketika dikonfirmasi Ely enggan berkomentar panjang lebar. Dengan alasan masih pengumpulan alat bukti. “Kami masih mengumpulkan alat bukti. Soal itu, nanti dibicarakan lebih lanjut,” tuturnya.

Diketahui, Kejati menelisik kasus tersebut berawal dari adanya laporan masyarakat soal adanya dugaan sewa dan pungutan liar (Pungli) terkait pemanfaatan Hak Pengelolaan (HPL) yang awalnya dikerjasamakan dengan  PT Gili Trawangan Indah (GTI). Pungli tersebut dilakukan sejak 1998 pasca adanya kesepakatan kontrak produksi antara Pemprov NTB dengan PT GTI seluas 65 hektare.

Meski sudah dikerjasamakan dengan PT GTI, namun muncul pengusaha lain yang mendirikan beberapa bangunan diatas lahan tersebut, dan tanpa persetujuan dari PT GTI selaku pengelola lahan.

Terindikasi para pengusaha itu bisa mendirikan bangunan diatas lahan tersebut, dengan menyetorkan sewa atau jual beli lahan ke oknum-oknum tertentu, yang mencoba mencari keuntungan dengan jual beli atau sewa lahan.

Tak ayal perbuatan tersebut, berpotensi mengakibatkan kerugian Negara. Sebab, hasil sewa atau Pungli tersebut tidak masuk kas daerah, tetapi masuk kantong pribadi.

Sekitar bulan November 2021 lalu, penyidik mulai melakukan penyelidikan. Seiring berjalannya waktu, kasus tersebut dinaikkan tahap ke penyidikan. Hal tersebut berdasarkan surat perintah penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi NTB Nomor: Print-02/N.2/Fd.1/02/2022 tanggal 9 Februari 2022. (cr-sid)

Komentar Anda