Sensitivitas Catatan Ramadhan hari ke-3

Drs H Cukup Wibowo
Drs H Cukup Wibowo

Dalam keseharian kita sering menjadi saksi bagaimana sebuah perasaan paling hebat menghinggapi diri seseorang. Sebuah perasaan untuk menempatkan diri lebih penting, lebih utama dari orang lain. Seolah-olah orang lain itu kecil dan remeh karena tak memiliki otoritas yang patut dibanggakan. Hanya diri sendiri yang hebat dan kuat karena sedang memiliki sesuatu yang orang lain tak memilikinya. Kenapa perasaan itu harus kita cegah bila seandainya menghinggapi diri kita? Karena kita semua tahu dan itu telah terbuktikan, yang berhak atas kehebatan itu sudah ada, dan memang hanya DIA yang paling berhak untuk disebut hebat.

Bila ungkapan “hindarkan diri dari perasaan paling hebat” adalah sebuah peringatan, maka peringatan itu biarlah untuk diri kita saja, biar menjadi keharusan yang kita ikuti untuk pesan kebaikan yang dikandungnya. Terhadap kesombongan orang lain, biarkan itu menjadi urusannya sendiri. Sebab setiap urusan itu kembali pada masing-masing. Di dunia ini untuk urusan hati sudah ada yang mengurus, ialah Dzat yang Maha dalam membolak-balikkan hati. Dan masing-masing kita hanya bisa bermohon untuk senantiasa ditetapkan di ketetapan hati yang baik.

Jabatan, kekuasaan, harta, dan ilmu adalah bahan kehebatan yang bisa membuat orang bersikap sombong, menolak kebenaran dan bahkan sampai merasa bahwa dirinya setara dengan Tuhan. Tidakkah mereka belajar dari kesombongan Firaun, dimana hidupnya berakhir dengan tragis dan penuh kehinaan, sampai-sampai usaha tobatnya tidak diterima oleh Allah? Naudzubillahi mindzalik!

Prof. Dr. Quraish Shihab pernah menjelaskan dalam satu kesempatan bahwa kesombongan itu hakekatnya penyakit hati yang menjerumuskan. Ada banyak orang yang gagal dalam kehidupannya karena kesombongan dan keangkuhannya. Bahkan tidak sedikit yang harus ke jurang kehinaan karena prilaku ini. Seringkali kita mendengar berujar, “Kalau tidak karena saya dia tidak jadi apa-apa”. Sebuah ungkapan yang menggambarkan kepongahan dan rasa tinggi hati. Tak ada yang lebih hebat kecuali dirinya. Sungguh tak ia sadari kalau kesombongan itu telah membunuh karakternya sendiri.

Bulan Ramadhan adalah bulan pembelajaran. Tak hanya pada dimensi jasmani dan rohani saja, melainkan juga pada dimensi sosial kemasyarakatan. Maka di proses pembelajaran itulah kita optimalkan kebersediaan diri untuk terus belajar agar ilmu bisa bertambah. Sebagaimana halnya dengan ilmu tentang kepekaan atau sensitivitas, tak akan bisa seseorang peka dengan apa yang terjadi di sekitar bila ia tak melatih refleks kepekaannya. Kepekaan itu melahirkan rasa malu untuk yang melakukan yang tak pantas dilakukan, rasa bersalah karena telah menyinggung perasaan orang lain, rasa belum berbuat apa-apa karena masih asyik dengan diri sendiri, rasa kurang ilmu karena merasakan betapa maha luasnya ilmu-Nya. Kepekaan adalah cikal bakal hilangnya kesombongan.

Sebaliknya, ketidakpekaan akan membuat perasaan yang semula biasa dengan cepatnya berubah menjadi luar biasa. Oleh kesempatan dan otoritas yang dimilikinya, seseorang yang dulunya biasa saja tiba-tiba berubah perangainya. Yang dulu bersahaja dan mengalah tiba-tiba menjadi besar kepala. Oleh kepalanya yang membesar seolah-olah orang lain jadi terasa kecil dan tak sepadan dalam pandangannya.

Semoga di hari Minggu yang menandai hari ketiga puasa ini segenap pikiran kita dicerahkan oleh cara Tuhan memilih hamba-hamba yang dikehendaki-Nya untuk menjadi pribadi yang memiliki kepekaan atau sensitivitas diri terhadap sekitar. Kepekaan untuk bersedia berendah hati dan terus melakukan kemanfaatan bagi orang lain.

Kopajali-Mapak, Minggu 26 April 2020

Komentar Anda