Resensi Buku “Tan; Sebuah Novel”

Buku "Tan; Sebuah Novel"

Peresensi: Saepul Akhkam Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Lombok Barat

Cetakan : III / Juli 2016
Tebal : 427 halaman
ISBN. : 978-602-6799-06-7

Saat ini siapa yang tidak mengenal Datoek Ibrahim Tan Malaka? Seorang pahlawan nasional yang kerap disamarkan oleh Rezim Orde Baru karena antipati Orde Baru terhadap apapun yang berbau Marxisme , khususnya komunisme (baca: PKI).

Pasca reformasi, nama ini semakin menarik minat banyak orang, terutama para mahasiswa dan aktivis pergerakan. Setelah berbagai karya besarnya dicetak secara massif, seperti Dari Penjara Ke Penjara, Madilog, dan karya lainnya lalu menjadi literatur yang banyak dibaca, nama Tan Malaka menjadi semakin mendapat tempat di hati para pembaca sejarah.

Paradoksnya, keingintahuan yang besar tentang Tan seakan sama besarnya dengan misteri yang menyelimutinya. Sosok pemikir Indonesia yang jauh sebelum Hatta dan Soekarno menulis buku tentang cita-cita ke-Indonesia-an, buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) menjadi salah satu karya monumental nan heroik dari Tan Malaka yang menjadi inspirasi banyak tokoh pergerakan yang belajar di Negeri Belanda di era 1920-an.

Saepul Akhkam Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Lombok Barat

Sosok misterius Tan akhirnya banyak menarik minat untuk diteliti. Seorang Belanda, Harry A Poeze bahkan mengkhususkan hidupnya meriset selama puluhan tahun untuk mengobati keingintahuannya. Demikian pula para penulis yang menjadikan Poeze sebagai referensi utama. Tidak seperti para penulis lainnya, Hendri Teja yang menulis buku ini memilih pendekatan fiksi yang dengan bebas memainkan peran Tan Malaka secara personal melalui tangan dan imajinasinya.

Baca Juga :  Resensi Buku "Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949"

Hendri Teja bermain-main dengan tenggelam sebagai tokoh Tan itu sendiri. Tidak seperti Poeze atau Taufik Adi Susilo dan Syafruddin Munir yang menyajikan biografi pendiri Partai Moerba dengan selayaknya karya ilmiah, Hendri Teja tegas menyebut bukunya sebagai “Sebuah Novel”.

Sebagai “Sebuah Novel” yang prosaik, Hendri menuturkan episode-episode menarik yang sangat jarang diungkap oleh para sejarawan. Di sinilah pendekatan fiksi memiliki kelebihan tersendiri. Cukup berlatar sejarah, Hendri tetap bebas “membayangkan” situasi kontekstual setiap pikiran, suasana kebathinan, dan tindakan heroik seorang Tan Malaka sebagai dirinya.

Seperti halnya para penulis lain, barangkali karena keterbatasan referensi, Hendri mengawali tuturannya tentang masa sekolah Tan di Ranah Minang dan previlege yang diberikan Horensma sang guru Belanda untuk Tan bisa bersekolah di Rijkweekschool Harlem.

Hendri tidak banyak memainkan masa kecil Tan imajiner, namun mengambil porsi yang sangat dominan tentang pembentukan awal pergolakan pikiran tentang anti imprealisme. Terbanyak adalah episode Tan di masa pendidikan di Harlem sebelum Tan pulang untuk menerima pekerjaan sebagai guru bagi anak buruh pabrik.

Di Harlem, Hendri memainkan imajinasinya sebagai Tan yang humble atau mudah bergaul, ambisius dan visioner. Interaksinya dengan teman-teman sekolahnya, aktivitas di PPHN (Perhimpunan Pelajar Hindia Belanda), dan perkenalan awalnya dengan ide-ide sosialisme. Hendri berhasil menjadikan “sebuah novel” yang fiksional selayaknya literatur sejarah yang sangat kuat dengan evidensi.

Baca Juga :  Resensi Buku "Dari Kelas Menulis Menuju Mahakarya"

Hendri pun cukup fasih memanifestasikan dirinya sebagai Tan dan Ilyas Husein (nama alias dari Tan) ketika Tan tidak setuju terhadap aksi pemberontakan fisik partai di masa Hindia Belanda.

Berbagai setting sosial politik dijadikan layar dengan dialog-dialog patriotik yang berat. Polemik pergerakan, kesalehan atau religiusitas Tan sebagai putra Minang yang memegang teguh moral agama, serta setting romantis Tan dengan Fenny dalam relasi tidak jelas di Belanda atau romansa tragis Tan dengan Enur saat perkembangan pasca pemberontakan PKH.

Hendri memastikan bahwa Tan Malaka pun memiliki kisah cinta. Tan bukanlah manusia patriotik yang tidak romantis, namun kisah cintanya berakhir tragis seperti hidupnya yang juga berakhir tragis. Syukurnya, Hendri mengakhiri imajinya tentang Tan dengan tidak tuntas. Seandainya pun tuntas, barang kali para pembaca saat ini akan menjadi tahu suasana hancurnya hati dan matinya Tan oleh peluru yang ditembakkan oleh orang Indonesia yang dahulu dibela dan diperjuangkannya.

Selamat Membaca….!!!

Komentar Anda