MATARAM—Belakangan ini tindak kejahatan terorisme dan penyebaran isu-isu radikalisme semakin marak berkembang di NTB.
Bahkan dua terduga teroris yang ditembak mati di Poso, Sulawesi Tengah, Selasa lalu (16/5) berasal dari NTB. Keduanya sudah masuk menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) karena terlibat jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Direktur Deradukalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof Irfan menyampaikan ada dua kampung di NTB yang diduga kuat dihuni kelompok yang diduga kuat penyebar paham radikalisme tersebut. Bahkan pergerakan kelompok itupun sangat massif.“Di Bima ada dua dusun yakni dusun Panatoi dan Kampung Melayu yang memiliki kepala keluarga hanya 60 KK, namun kelompok ini tergolong tertutup dan massif bahkan tidak ada satupun yang bisa memasuki kawasan itu. Namun sekarang perlahan sudah kita dekati dan bisa melakukan pembinaan,”ungkapnya saat menjadi pemateri dalam acara literasi media dalam upaya cegah dan tangkal paham radikalisme dan terorisme Rabu lalu (24/5).
Dikatakan, untuk mengantisipasi penyebaran paham radikalisme tersebut harus ada regulasi, kesadaran dan desain yang dilakukan oleh masyarakat. Tidak cukup permasalahan tersebut diatasi oleh para penggiat media atau para jurnalis. ”Tokoh agama dan tokoh masyarakat maupun tempat pendidikan harus berbuat karena kalau hanya lewat media tidak akan bisa,”ujarnya.
Namun diakui kendati ada beberapa tempat yang diduga basis penyebar radikalisme, namun secara umum NTB sebenarnya aman dan kondusif dari perekrutan kelompok radikal. Bahkan beberapa kasus yang sudah terungkap kendati pelakunya merupakan orang NTB, akan tetapi mereka belajar diluar. Ketika diburu oleh Densus 88 mereka balik ke kampung halamannya. “Untuk NTB sendiri masih kondusif meskipun menjadi perhatian BNPT. Para pelaku radikalisme di NTB ini kebanyakan mendapat ilmu dari luar, namun terdesak di tempatnya menuntut ilmu karena sudah menjadi DPO,akhirnya pulang ke kampung sehingga dia ditangkap dikediamannya,”ungkapnya.
Ia tidak menampik penyebaran radikalisme sudah masuk di lembaga pendidikan. Namun hal itu bisa saja ditanggulangi salah satunya dengan cara mempertahankan kearifan budaya lokal.”Radikal dalam belajar itu tidak salah, akan tetapi kita harus berikan penguatan dan harus ada legal standing bahwa watak generasi muda kita harus dirubah. Meskipun banyak melihat media massa namun tetap mengatakan bahwa hidupnya disini sehingga apapun yang dibaca tidak bisa mempengaruhi pola pikirnya,” ungkapnya.
BNPT sendiri sebenarnya sudah dan terus melakukan upaya melawan penyebaran paham radikalisme ini. ”Jangan kita jadi ikut penyebar hoax karena penyebaran radikalisme tantangannya semakin besar. Kita perlu komunikasikan serta harus bersinergi,”ungkapnya.
Ketua FKPT NTB Drs Lalu Mudjitahid menyampaikan bahwa mengacu hasil survei yang dilakukan FKPT bekerja sama dengan tim dari UIN Sunan Kalijaga, potensi dan penyebaran radikalisme di NTB masih kecil. Diakui kendati para pelaku radikalisme lahirnya di NTB namun belajar diluar daerah. “Kendati potensinya masih kecil namun diperlukan adanya gerakan- gerakan pernyataan sikap. Kami melihat potensi di NTB ada di Bima namun itupun karena dia belajar di luar daerah sehingga sepulangnya belajar membawa ideologi yang diajarkannya,”ujarnya.
Ditegaskan, paham radikalisme dan terorisme tidak ada kaitanya dengan agama maupun faktor ekonomi. Tidak ada satu agama manapun yang mengajar hal yang dilakukan oleh teroris. Selain itu jika dikaitkan dengan faktor ekonomi, ternyata tidak jarang para pelaku merupakan kalangan dari orang berada. “Tidak ada kaitanya agama dengan teroris. Teroros adalah musuh kita bersama sebagai ideologi penyebar ketakutan. Sehingga dengan adanya literasi ini kita berharap bisa menjalin sinergitas untuk cegah dan tangkal paham radikal dan terorisme,”ujarnya.(cr-met)