Operasional Sebelum Zul-Rohmi Berakhir, KIHT Berubah Jadi APHT

KIHT NTB: Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) NTB di eks Pasar Paok Motong, Lombok Timur, sesuai surat PMK (Peraturan Menteri Keuangan) akan diubah namanya menjadi Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau (APHT). (RATNA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Pemerintah Provinsi NTB memastikan Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) NTB di eks Pasar Paok Motong, Lombok Timur, akan beroperasi sebelum berakhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, Zulkieflimansyah-Sitti Rohmi Djalilah (Zul-Rohmi) pada 19 September 2023.

Kepastian itu disampaikan Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) NTB, Achmad Ripai, menanggapi gugatan masyarakat Paokmotong terhadap Pemerintah Kabupaten Lombok Timur soal pinjam pakai lahan KIHT yang menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram.

“Pokoknya dalam waktu dekat sebelum kepemimpinan Zul-Rohmi (berakhir), akan ada peresmian KIHT. Informasinya menteri yang akan datang,” kata Ripai di Mataram, Kamis (31/8).

Disampaikan Ripai, masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Paokmotong (FMP) mengajukan dua gugatan ke PTUN. Pertama SK penetapan lokasi, dan kedua SK persetujuan pinjam pakai. Pemkab hanya kalah di SK penetapan lokasi, sedang SK persetujuan pinjam pakai antara Pemkab dan Provinsi tidak dibatalkan, dan tetap beroperasi.

Hanya saja KIHT yang berada di eks Pasar Paokmotong akan berubah nama menjadi Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau, sesuai PMK Nomor 2022 tahun 2023. “Kalau informasi dari Lombok Timur itu yang dituntut adalah SK penetapan lokasi. Sedangkan pinjam pakai tidak kalah. Sekarang begitu tahun 2023 ada PMK No 22 Tahun 2022 ini adalah Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau (APHT), bukan KIHT,” jelasnya.

Baca Juga :  Penutupan TPA Kebon Kongok, Miq Gita: Mari Cari Alternatif Terbaik

Dengan demikian, SK Bupati Nomor 188.45/124/PKAD/2021 tentang penetapan nama KIHT harus dibatalkan, dan diganti nama menggunakan APHT mengikuti aturan PMK Nomor 2022 tahun 2022.

“Operasional KIHT tetap berlanjut. Itu panitianya Bappeda yang jadi depan untuk persemiannya. Target kita (operasional) harus sebelum berakhir masa jabatan Gubernur. Makanya sedang berproses dari teman-teman Perindustrian dan Bappeda,” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakan Ripai, dalam aturan baru ini, luasan aglomerasi pabrik hasil tembakau tidak lagi terikat aturan UU nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPKB) yang mengharuskan luasannya 5 hektar. Begitu juga jarak dengan pemukiman tidak mengharuskan berjarak 2 kilometer. “Sekarang pada aglomerasi ini boleh satu hektar lebih. Kalau dulu KIHT dia berpatokan minimal lima hektar. Itu yang sedang diproses oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur,” ucapnya.

Dalam aglomerasi itu juga, sambung Ripai, sudah tidak lagi menggunakan istilah pengelola, melainkan penyelenggara. Sehingga bagi siapapun penyelenggara yang ingin mengelola aglomerasi pabrik hasil tembakau, atau memproduksi rokok di kawasan tersebut, bisa mengajukan permohonan ke Bea Cukai, untuk kemudian dilakukan seleksi oleh pihak Bea Cukai.

Baca Juga :  Tiga Tahun Sukiman-Rumaksi Pimpin Lombok Timur, Toreh Prestasi Tingkat Nasional hingga Internasional

“Informasinya sudah ada satu perusahaan yang mengajukan, dan sudah berkoordinasi dengan Bea Cukai, yang saat ini sedang berproses. Begitu perusahaan sudah ada, baru kita resmikan (Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau, red),” tegasnya.

Sebelummya Kepala Bagian (Kabag) Hukum Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lotim, Biawansyah Putra mengungkapkan penyebab kalahnya Pemkab Lotim karena status KIHT yang aturannya harus berdiri di lahan seluas minimal 5 hektar.

Akan tetapi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No. 22 tahun 2023 mengenai Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau (APHT), maka pemanfaatan bangunan itu tetap akan berlanjut.

Akan tetapi statusnya ke depan bukan sebagai kawasan industri, namun sebagai aglomerasi atau pengumpulan atau pemusatan pabrik hasil tembakau dalam suatu tempat, lokasi, atau kawasan tertentu. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pengusaha pabrik rokok.

“Artinya, mau kita menang dan tidak, memang kita akan ubah. Bukan sebagai KIHT, namun APHT, mengingat aturannya memang yang paling sesuai itu. Dimana minimal 1 hektar, dan dekat pemukiman,” pungkasnya. (rat)

Komentar Anda