MATARAM—Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Yusri mulai mengkhawatirkan kondisi usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di awal tahun 2016 ini. Pasalnya, rasio kredit macet atau non permforming loan (NPL) BPR yang ada di NTB mengalami kenaikan cukup tinggi dibanding akhir Desember 2015 lalu.
“NPL BPR di NTB ini mengalami peningkatan dan ini perlu mendapat perhatian dari BPR yang ada di NT,” kata Yusri di Mataram, Jum’at (15/7).
Yusri menyebut rasio kredit macet atau NPL BPR yang ada di NTB pada akhir Desember 2015 mencapai 8,14 persen meningkat menjadi 9,20 persen pada akhir Mei 2016. Peningkatan rasio kredit macet di BPR ini cukup tinggi. Oleh karena itu, Yusri berharap para pengelola BPR di NTB untuk memperhatikan hal tersebut. “Sebagian besar kredit macet di BPR ini adalah kredit produktif,” kata Yusri.
Di Provinsi NTB jumlah lembaga BPR sebanyak 32 unit. Dari jumlah itu sebanyak 3 BPR Syariah. Sementara itu dari klasifikasi kegiatan usaha (KU) dari BPR NTB untuk KU I yang memiliki modal inti dibawah Rp15 miliar sebanyak 24 unit BPR dan sebanyak 8 BPR yang masuk KU II dengan memiliki modal inti antara Rp15 miliar – Rp50 miliar. Sementara untuk KU III di NTB belum ada BPR yang masuk.
Di tempat terpisah Ketua DPD Perabrindo Provinsi NTB, Yanuar Alfan mengakui jika rata-rata BPR di NTB mengalami resiko kredit macet yang masih tergolong cukup tinggi diatas batasan maksimal aturan yakni 5 persen. Sementara itu rata-rata sebagian besar BPR di NTB NPL –nya diatas itu bahkan ada yang diatas 10 persen.
Menurut Alfan, untuk menekan NPL yang ada di tersebut, pihaknya bersama anggota Perbarindo NTB terus berupaya melakuan koordinasi dan berbagi cara-cara ampuh dalam menekan NPL tersebut.
“Kita ingin BPR yang NPL rendah bisa berbagi dengan BPR lainnya dalam menekan rasio kredit macet ini. Sehingga NPL semua BPR yang ada di NTB bisa di bawah batasan maksimal 5 persen,” ujarnya. (luk)