Masyarakat Diminta Kawal Perpajakan Bebas Korupsi

MATARAM – Kepatuhan wajib pajak di wilayah Nusa Tenggara (NTB dan NTT) dalam menyerahkan surat pemberitahuan tahunan dan membayar kewajibannya yakni pajak masih belum ada peningkatan yang berarti setiap tahunnya.

''Beberapa tahun ini kepatuhan wajib pajak membayar kewajiban pajak masih berkutat di kisaran 53 persen," kata Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Nusra, Suparno di hadapan sejumlah pengusaha, mahasiswa dan insan pers dalam memperingati hari anti korupsi internasional di Kantor Kanwil DJP Nusra, Kamis kemarin (8/12).

Ia mengatakan, jumlah wajib pajak yang membayar dan menyerahkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dibandingkan dengan wajib pajak yang terdaftar masih stagnan setiap  tahunnya. Kisaran kepatuhan ini jelas mencerminkan bagaimana perhatian masyarakat yang termasuk dalam wajib pajak dalam hal perpajakan.

Menurut Suparno,  adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh wajib pajak. Pasalnya ada kekhawatiran wajib pajak dikenakan sanksi administrasi dan ancaman kriminal pajak. Saat ini amnesti pajak berada di periode kedua yang akan berakhir pada 31 Desember mendatang dengan tarif tebusan 3 persen yang akan naik menjadi 6 persen jika uang yang ada di luar negeri tidak direpatriasi.

Disamping terus gencar dengan amnesti pajak, pihak DJP Nusra juga mengajak masyarakat menjauhi tindakan korupsi. Korupsi ini bisa merusak seseorang dan mengajak kepada perilaku koruptif. Pajak mendorong dan menekan tindakan korupsi.  "Mengenai adanya oknum orang kami di perpajakan tertangkap KPK karena tersangkut korupsi, kami menyampaikan permohonan maaf. Kami di perpajakan terus berbenah dan melawan tindakan korupsi," ungkapnya.

Direktorat Perpajakan, lanjut Suparno, telah berkomitmen melawan perilaku korupsi dengan membuka diri dan menjalankan tugas secara transparan. Selain itu, perpajakan menjadi garda terdepan.  "Untuk memberantas korupsi itu jelas seperti apa. bahwa korupsi di lingkup Direktorat Jenderal Pajak itu tidak mungkin diberantas sendiri tanpa melibatkan semua pihak dan komponen masyarakat," katanya.

Ia menambahkan, secara preventif dari awal, DJP meminta peranan aktif semua komponen masyarakat, baik itu insan pers, pengusaha, mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat untuk ikut membantu memerangi perilaku korupsi di lembaga perpajakan.

Sementara itu, Kepala Seksi Bimbingan penyuluhan  DJP Nusra Ardi Nugroho mengatakan, salah satu instrumen yang penting bagi pemerintah dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan serta kesenjangan antar daerah yakni adalah melalui APBN atau instumen fiskal.

Instrumen tersebut dinilai bisa melakukan intervensi, baik melalui sisi penerimaan seperti pajak maupun penerimaan bukan pajak dan juga dari sisi belanja negara. Penggunaan instrumen APBN secara efektif bisa mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran termasuk kesenjangan sosial lainnya, maka dibutuhkan penerimaan pajak.  ”Sebanyak Rp 1 triliun dari APBN yang terkumpul dari pajak bisa untuk infrastruktur, subsidi, belanja pegawai, dan bantuan sosial. Rp 1 triliun lainnya bisa untuk DAK Fisik, BOS, tunjangan profesi guru,"  jelasnya.

Ardi menjelaskan berdasarkan distribusi per pulau belanja APBD se-Bali Nusa Tenggara paling rendah dibandingkan seluruh pulau di Indonesia. Ini terletak pada kisaran Rp 53,74 triliun. Dengan PPh dan PPN menyumbang Rp 3,96 triliun dan dana transfer yang diterima Rp 38,8 triliun.

 Peranan dari pajak untuk mengurangi kesenjangan antar daerah, bahwa penerimaan pajak dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didistribusikan antar pulau ataupun daerah. Konsentrasi penerimaan PPh dan PPN ada di pulau Jawa. Akan tetapi Jawa hanya menerima hasil dari pajak itu dalam bentuk transfer. Sisanya terbagi ke seluruh kawasan pulau di Indonesia.  (luk)