Nama Lalu Yuni Awinggih, 46 tahun tidak terlalu asing bagi masyarakat NTB terutama pencinta seni lukis. Seniman asal dusun Lendang Telage desa Waja Geseng Kecamatan Kopang Lombok Tengah ini benar-benar mengajarkan totalitas dalam memegang prinsip hidup melalui seni rupa realisme fotografis.
AZWAR ZAMHURI – LOMBOK TENGAH
Pria yang akrab disapa Mamiq Awinggih itu tengah duduk santai di teras rumahnya, Minggu kemarin (18/9). Mata kanannya seolah tertutupi kain yang menyeliputi kepala. Bentuk mulutnya seperti sudah tidak normal lagi.
Dalam kondisi seperti itu, ia menyambut dengan ramah. Tubuhnya yang terlihat lemas dan semakin kurus tidak merusak semangatnya yang terus berkobar. Mamiq Awinggih benar-benar menunjukkan sosok seniman sejati.
Dulu, setiap hari, sejak tahun 1994 dirinya selalu melukis dengan gaya realisme fotografis. Sebuah aliran seni rupa yang melukis kembali hasil jepretan kamera atau fotografi. Namun kehebatannya dalam melukis mulai luntur sedikit demi sedikit saat tumor parotis semakin menggerogotinya. Ia terus mengenang, ketika mampu menuntaskan sebuah karya lukisan fotografi hanya dua jam saja. “Tapi sekarang apa, satu lukisan bisa dua bulan baru jadi,” tuturnya mulai bercerita.
Lukisannya bahkan pernah diikutkan pameran sampai luar negeri seperti Singapura. Waktu itu tumor parotis belum merusak konsentrasinya. Jika mengenang masa itu, rasa haru dan air mata selalu menetes tak tertahankan.
Mamiq Awinggih ikut pameran ke Singapura pada era kepemimpinan Gubernur Lalu Srinata. Saat itu Sekretaris Daerah (Sekda) NTB Nanang Samoedra menaruh perhatian besar terhadap seniman. “Sama istrinya Pak Nanang dulu saya ke Singapura, karya kita sangat dihargai,” ujarnya.
Sudah banyak hasil karya Mamiq Awinggih. Bukti masa kejayaannya masih tersimpan di dinding-dinding rumahnya. Apresiasi dan penghargaan dari pemerintah juga masih tersimpan rapi.
Tapi itu dulu, ketika tumor parotis belum mampu menghalang imajinasinya. Tapi 26 tahun lalu, penyakit terus menggerogotinya.
Ikhtiar telah berkali-kali dilakukan untuk membunuh tumor parotis. Pernah juga operasi di RSU Sanglah Bali, namun sepulang dari sana kondisinya semakin parah dengan tempurung kepala retak. “Sejak semakin parah penyakit saya, saya beralih melukis ke yang gaya abstrak,” ucapnya.
Dalam kondisi kritis, dia tetap melukis. Obat penenangnya hanyalah dengan melukis. Beruntung, Muharni, 40 tahun sang istri setia menemaninya. Muharni mengurus tubuhnya dengan sabar dan telaten. Dua buah hatinya, Lalu Muhammad Haekal Firdaus, 13 tahun yang duduk di bangku SMP dan Baiq Zilfana Zahra, 6 tahun menjadi penyemangatnya untuk terus berkarya. Anak-anaknya harus bahagia meski kondisi dirinya sendiri sangat memprihatinkan.
Sejak tahun 2014 penyakit yang diderita semakin ganas. Bagian kepala sebelah kanan sampai merusak penglihatannya, bahkan sempat pula mengalami masa-masa kritis tidak bisa beranjak dari tempat tidur. “Tapi saya tetap melukis, sampai kapanpun,” ujarnya.
Lalu Yuni Awinggih menempuh pendidikan di SDN 12 Karang Bedil, tetapi tidak sampai selesai dan pindah ke SDN 13 Tempit Ampenan. Kemudian melanjutkan ke Tsanawiyah Negeri Mataram, dilanjutkan sekolahnya di Ponpes Walsongo Ngabar Ponorogo dan kembali ke NTB. Selanjutnya ia menuntut ilmu di Ma'had NW Pancor. Jiwa seninya memang telah ada sejak masa-masa sekolah. “Kalau saya boleh mengkritik ya, pemerintah sekarang kurang perhatikan orang-orang seperti kami. Jauh beda dengan dulu,” tutupnya.(*)