Kejati Sita Harta Tersangka Korupsi KUR Jagung Fiktif Rp 29,6 Miliar

DIBORGOL : Tersangka LIRA (memakai topi) dan AM (tidak memakai topi) saat berada di lobby Kejati NTB dengan menggunakan baju tahanan dan tangan terborgol, yang akan menuju mobil tahanan untuk diantar ke Lapas Mataram. (DOKUMEN RADAR LOMBOK)

MATARAM – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB telah melakukan penyitaan terhadap sejumlah harta milik para tersangka, yang terseret dalam kasus dugaan korupsi penyaluran bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif jagung di Lombok Timur tahun 2020-2021. “Beberapa aset tersangka ada yang sudah kami sita,” terang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTB Sungarpin, Rabu (21/12).

Mengenai besaran aset yang disita dari kedua tersangka tidak disebutkan secara rinci. Namun diyakini, penyitaan yang dilakukan dalam upaya penguatan alat bukti pada persidangan nantinya. “Sejumlah aset yang telah kami sita, ada yang berupa tanah, mobil dan lainnya,” ucapnya.

Dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka, antaranya mantan Kepala Cabang Bank BNI Mataram inisial AM dan LIRA, selaku bendahara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) NTB. Mereka sudah ditahan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Mataram. “Kasusnya sudah ditahap dua, yaitu penyerahan tersangka ke jaksa penuntut umum (JPU) beberapa hari lalu, dan segera disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Mataram,” katanya.

Dalam kasus ini, Kejati NTB menaruh potensi kerugian negara sebesar Rp 29,95 miliar. Setelah diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan NTB, kerugian negara yang muncul sebesar Rp 29,6 miliar. “Hasil auditnya sudah kami terima, kerugiannya sebesar Rp 29,6 miliar,” sebutnya.

Sebagai informasi, kasus yang ditangani Kejati NTB atas adanya laporan masyarakat, terutama para petani yang menjadi korban pengajuan KUR fiktif di BNI. Permasalahannya yaitu para petani kesulitan untuk mendapatkan akses pinjaman di bank. Hal tersebut disebabkan karena para petani telah tercatat namanya sebagai penerima pinjaman KUR di BNI. Padahal para petani sama sekali tidak pernah menerima dana KUR tersebut.

Total jumlah petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR fiktif ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Dari jumlah tersebut total pinjaman KUR fiktif yang menjual nama petani ini mencapai Rp 16 miliar lebih.

Kasus ini bermula pada Agustus 2020. Ketika itu, Dirjen salah satu kementerian melakukan pertemuan dengan para petani di wilayah selatan Lombok Timur. Dalam pertemuan itu, Dirjen tersebut memberitahukan terkait adanya program KUR untuk para petani.

Informasi itu lalu ditindaklanjuti dengan pengajuan nama petani yang diusulkan mendapatkan kredit. Untuk petani jagung sekitar 622 orang yang tersebar di lima desa. Yang paling banyak adalah petani jagung di Desa Ekas Buana dan Sekaroh Kecamatan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan pinjaman sebesar Rp 15 juta per hektare dengan total luas lahan mencapai 1.582 hektare.

Sementara petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan dana KUR mulai Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per orang.

Para petani yang terdata sebagai penerima KUR diwajibkan menandatangani berkas-berkas pendukung untuk kelancaran pengajuan pinjaman tersebut. Proses penandatanganan dilakukan oleh petani jagung di lima desa di wilayah Kecamatan Jerowaru yang melibatkan pihak ketiga atau off taker yaitu CV. Agro Briobriket dan Briket (ABB) serta oknum pengurus HKTI NTB sebagai mitra pemerintah dan BNI Cabang Mataram sebagai mitra perbankan dalam penyaluran KUR. Sementara untuk petani tembakau melalui BNI Cabang Praya.

Saat proses pengajuan KUR ini, pihak BNI langsung turun meminta tanda tangan para petani dengan dilengkapi berkas pinjaman. Skema KUR tani melibatkan pihak ketiga atau off taker, yaitu CV ABB. Perusahaan atau off taker ini kuat dugaan ditunjuk langsung dari pihak kementerian, termasuk juga salah satu organisasi di NTB yang bergelut di bidang pertanian.

Namun persoalan mulai muncul ketika sejumlah petani yang ingin mengajukan pinjaman di BRI tidak bisa diproses. Mereka dinilai keuangannya bermasalah karena memiliki pinjaman dan tunggakan KUR di BNI. Tunggakan mereka pun beragam, mulai dari Rp 15 juta hingga Rp 45 juta tergantung dari jumlah luas lahan yang dimiliki. Sementara petani ini mengaku tidak pernah menerima dana kredit itu. (cr-sid)

Komentar Anda