Gagal Berdamai, Gugatan Anak ke Ibu Kandungnya Berlanjut

GUGATAN
MEDIASI: Rully Wijayanto dan ibu kandungnya Prayatiningsih saat dimediasi di Pengadilan Agama (PA) Praya bebrapa waktu lalu. ( M HAERUDDIN/RADAR LOMBOK)

PRAYA – Gugatan Rully Wijayanto,32 tahun, terhadap ibu kandungnya, Prayatiningsih,52 tahun tetap berlanjut. Itu setelah Pengadilan Agama (PA) Praya gagal memediasi warga Lingkungan Kekere Barat Kelurahan Semayan Kecamatan Praya ini.

Rully diketahui menggugat ibu kandung atas permasalahan warisan tanah seluas 4,2 are dan uang sekitar Rp 84 juta hasil peninggalan mendiang ayahnya. Pengadilan Agama Praya sudah berulang kali memediasi Rully dan ibunya, tapi selalu menemui jalan buntu. Tak ada jalan keluar antara anak dan ibu ini, sehingga perkaranya dilanjutkan.

Ketua PA Praya, Baiq Halqiyah mengatakan, belum ada titik temu dalam persoalan anak dan ibu kandung ini. Sehingga dipastikan permasalahan ini terus berlanjut di meja persidangan. Meski demikian, pengadilan akan tetap berusaha menyelesaikan persoalan itu secara kekeluargaan. “Untuk perkara Rully dan Prayatiningsih masih berjalan. Sidangnya sudah tahap pembuktian dari kedua belah pihak. Termasuk pemeriksaan dari para saksi- saksi. Setelah itu baru nanti akan kita simpulkan untuk kemudian ada putusan,” beber Baiq Halqiyah, Kamis (18/9).

Baiq Halqiyah mengulas, pihaknya sudah berusaha memediasi permasalahan itu. Bahkan, sebelumnya sudah ada rencana untuk berdamai, namun dalam perjalanannya ternyata damai tidak bisa dilakukan. ‘’Tapi kita akan tetap berusaha untuk memediasi,”ulasnya.

Baiq Halqiyah menyadari, masalah gugatan kebanyakan dilakukan sesama keluarga. Terlebih untuk warisan ini terbuka untuk dibagi apabila pewarisnya sudah meninggal dunia. “Jadi Rully melakukan gugatan untuk bisa mengetahui haknya itu, dan kita lihat saja nanti bagaimana hasil persidangannya. Jadi penyelesaian perkara ini kita selesaikan maksimal lima bulan,”terangnya.

Rully Wijayanto selaku penggugat sebelumnya mengaku tidak ada niat sedikit pun untuk menguasai seluruh harta warisan mendiang orang tua lelakinya. Baik berupa tanah atau tunjangan pensiun dari peninggalan orang tuannya. Ia hanya ingin semua warisan yang ada dibagi secara adil sesuai dengan syariat atau ketentuan yang ada dalam agama Islam. “Kalau deposito, saya hanya ingin diperlihatkan bentuk deposito itu. Dan, itu untuk adik saya. Saya tidak menggugat untuk memegang uang itu. Karena ini saya ingin mengetahui apakah benar deposito atau tidak untuk digunakan oleh adik saya sebagai biaya kuliah,” kata Rully.

Diakuinya, ada dana senilai Rp 84 juta peninggalan hasil pensiun mendiang ayahnya. Dana itu sudah disepakati keluarga agar digunakan adik-adiknya sebagai biaya pendidikan sampai kuliah. “Misalkan berapa biaya kuliah adik saya Rudi, maka kalau ada sisa bisa didepositokan lagi untuk biaya adik saya Rina,”terangnya.

Ia menegaskan, tanah dan rumah yang berdiri di lahan 4,2 are memang milik bersama. Dia meminta untuk dibagi agar ke depan tidak terjadi hal-hal yang tidak mereka inginkan. “Saya ingin meluruskan mungkin adik saya tidak perlu dibagi warisan untuk saat ini. Tapi entah kemudian hari dia keluarga, lalu mereka tahu bahwa mereka punya tanah warisan. Yang jelas saya tidak pernah ingin memiliki sendiri,”terangnya.

Rully juga mengaku sudah berulang kali menyelesaikan secara kekeluargaan, tapi gagal. Ia juga merasa sedih atas kondisi ini karena merasa hanya meminta haknya. “Saya hanya meminta hak saya, adik saya dan bahkan hak ibu saya ada di situ dan itu yang sebenarnya saya luruskan. Tetap saya sebagai anak akan dianggap salah, tapi saya tidak seburuk itu,”tandasnya.

Prayatiningsih awalnya tidak mengetahui kalau anak kandungnya sendiri tega menggugatnya dan tiga orang adiknya. Gugatan itu baru diketahui setelah pihak pengadilan melayangkan surat pemberitahuan kepadanya. Tak ayal itu membuatnya sangat kaget dan merasa kecewa.“Rully ini anak pertama, dan dia juga sudah pindah dari rumah, tidak lama setelah almarhum Asroni Husnan (suami Prayatiningsih atau bapak dari Rully) meninggal. Memang, ada peninggalan almarhum yaitu rumah, tanah dan tunjangan pensiun sebanyak Rp 84 juta,” ungkap Prayatiningsih.

Disampaikan, pada tanggal 29 Agustus 2019 lalu, suaminya meninggal dunia. Kemudian setelah tujuh hari, Rully mengumpulkan adik-adiknya bersama Prayatiningsih juga. “Saat itu dia menanyakan mana sertifikat tanah, dan bilang kalau dia yang menjadi wali, karena dia yang paling besar. Hanya saja saat itu kita sedang berduka, dan saya bilang kalau sertifikat sedang dalam proses, karena saat itu kami melakukan kredit atau pinjaman,” terangnya.

Karena tidak bisa mendapatkan sertifikat, maka Rully kemudian meminta agar dia yang mengurus dana pensiun orang tuanya, atau almarhum Asroni Husnan, yang seorang aparatur sipil negara (ASN). Saat itu dia mengiyakan, namun sampai satu minggu, Rully tidak pernah mengurus.“Saya hubungi tidak bisa, dan saya cari Rully. Ketika ketemu, saya menanyakan apakah sudah mengurus untuk pensiun, tetapi dia bilang belum. Makanya adiknya yang kemudian mengurus, dan satu minggu kita urus. Pas tunjangan pensiun ini keluar, langsung masuk ke rekening,” terangnya.

Hanya saja ketika keluar kemudian didepositokan di bank sebesar Rp 84 juta. Selanjutnya Prayatiningsih juga menggunakan uang itu untuk acara 40 hari almarhum suaminya. Sisanya yang dideposito, dilakukan penyaluran tiga bulan sekali. Hanya saja, tiba-tiba pihak pengadilan datang mengantarkan surat gugatan dari anaknya sendiri.“Yang digugat itu deposito Rp 84 juta sama tanah dan rumah. Padahal oleh hakim menyuruhnya minta maaf, tapi tidak mau. Pesan almarhum juga saat masih hidup, bahwa rumah ini tidak boleh dijual dan tidak boleh dibagi. Bahkan almarhum minta agar jangan berkelahi sesama saudara,” tandasnya. (met)

Komentar Anda