MATARAM—Wacana full day school yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Muhajir, mengundang beragam tentangan. Reaksi keras berupa penolakan pun terlontar dari kalangan pemerhati dan pegiat pendidikan.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) NTB, Ali Rahim mengatakan, gagasan Muhajir terklesan mengada-ada. Andai wacana itu diterapkan, akan sangat membebani guru dan siswa.
“Bisa dibayangkan jika anak SD harus pulang pukul 17.00 Wita. Itu jelas tidak efektif dan merusak karakter,” ungkapnya, Selasa (9/8).
Sebelum wacana ini direalisasi, jelasnya, Kemendikbud hendaknya melakukan kajian ulang secara matang. Salah satu bahan kajian yang perlu dilakukan yakni terkait daya tahan fisik dan psikis anak didik.
Ia lalu mengambil contoh dengan dipulangkannya peserta didik pada pukul 14.00 Wita. Tidak sedikit yang guru dan peserta didik yang kewalahan.
Andai benar diterapkan, sambungnya, akan banyak yang dirampas dari peserta didik. Salah satunya adalah waktu bermain yang seharusnya menjadi kebutuhan siswa. Bahkan, jika diberlakukan, akan berdampak negative bagi peserat didik di sekolah pinggiran yang jarak tempuh sekolahnya cukup jauh. Praktis mereka tidak akan bisa pergi mengaji karena kelelahan.
Senada, Ketua Gerakan Pemuda Anshor Kota Mataram, Hasan Basri SPdI, menyampaikan petisi tidak setuju juga pada wacana yang dilontarkan Mendikbud. Baginya wacana ini akan menyiksa siswa, bahkan bisa jadi akan membunuh karakter dan bukan membangun.
Katanya, pendidikan tidak hanya didapat di sekolah formal. Lingkungan keluarga dan sosial masyarakat juga bisa dijadikan media pendidikan.
Alumni aktivis PMII Kota Mataram ini sangat sayangkan jika otak siswa disamakan dengan celengan dan computer. Otak peserta didik disebutnya memiliki keterbatasan kapasitas dalam menampung materi pelajaran. (cr-rie)