Perempuan Agen Perdamaian Pencegahan Radikalisme Terorisme

IST/RADAR LOMBOK BERCERITA: Tumini, perempuan 45 tahun, korban Bom Bali I menceritakan kisah tragisnya saat ledakan bom di Paddy’s Pub dan Sari Club Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002.

Korban Bom Bali: Islam Tak Mengajarkan Terorisme

MATARAM–Keterlibatan perempuan dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme dinilai sangat penting. Perempuan bisa mencegah paham-paham menyimpang itu mulai dari rumah tangga hingga ruang sosial di sekitarnya. “Perempuan bisa menjadi agen perdamaian dalam pencegahan radikalisme dan terorisme,” ujar Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) NTB Dr. Drs. H. Lalu Syafi’i, MM di sela-sela membuka kegiatan pencegahan radikalisme dan terorisme melibatkan profesional perempuan, organisasi perempuan, dan komunitas perempuan lainnya di Mataram, Rabu (21/10) kemarin.

Kabid Perempuan dan Anak FKPT NTB Atun Wardatun, PhD selaku narasumber dalam kegiatan ini mengatakan, proses pembentukan ideologi menyimpang berawal dari fundamentalisme atau paham yang cenderung memperjuangkan sesuatu secara radikal. Bentuk fundamentalisme itu berupa anti-keragaman, anti-demokrasi, anti-pancasila. Kemudian setelah fundamentalisme barulah radikalisme hingga terorisme itu sendiri.

Radikalisme dimaknai sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. “Sementara terorisme itu penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan. Bertujuan agar semua tahu dan menjadi takut. Jadi kalau ada aksi-aksi seperti itu, kita jangan share, jangan disebarluaskan, karena itulah tujuan mereka, ingin terekspose dan menjadikan kita takut,” jelasnya.

Atun pun membeberkan empat ciri-ciri seseorang atau kelompok terpapar radikalisme sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2019: Pertama, memiliki akses terhadap informasi bermuatan radikal. Kedua, memiliki hubungan dengan orang atau kelompok orang yang diindikasikan memiliki paham radikal dan terorisme. Ketiga, memiliki pemahaman kebangsaan yang sempit yang mengarah pada paham radikal terorisme. Keempat, memiliki kerentanan dari aspek ekonomi psikologi dan atau budaya sehingga mudah dipengaruhi radikalisme dan terorisme.

Dalam kegiatan ini dihadirkan Tumini, perempuan 45 tahun, korban Bom Bali I yang terjadi 12 Oktober 2002 di Paddy’s Pub dan Sari Club Kuta, Bali. Diceritakan Tumini, saat itu dirinya bekerja di Paddy’s Pub sebagai bartender. Di malam kejadian, dirinya sempat dilarang bekerja oleh suami karena ada firasat buruk. Namun akhirnya tetap bekerja dan terjadilah ledakan pertama di Paddy’s Club pada 23.15 WITA itu.

Tubuh Tumini terlempar dan sempat tak sadarkan diri. Ketika sadar, Tumini bergegas keluar menyelamatkan diri dengan tubuh yang sudah terbakar 45 persen. Namun tak ada yang menolong karena semua sibuk menyelamatkan diri. Hingga akhirnya terjadi ledakan kedua di Sari Club.

Namun beruntung Tumini akhirnya ditolong; dibawa ke Rumah Sakit Sanglah Bali dalam kondisi badan terbakar dan usus terurai.  Tragisnya, sejak dikeluarkan dari ambulans hingga jam 06.00 WITA, Tumini tak kunjung ditangani mengingat banyaknya korban meninggal dan terluka. Keluarga Tumini pun protes dan akhirnya bisa ditangani. Tumini dioperasi dalam keadaan sadar tanpa dibius sedikit pun. “Saya dirawat selama 1 bulan, setelah itu saya dipulangkan,” ungkapnya.

Beberapa waktu kemudian Tumini dijemput oleh pihak kepolisian untuk menjadi saksi persidangan terdakwa pelaku Bom Bali itu. “Saya waktu itu belum siap bertemu dengan pelaku. Muka masih compang camping, diperban. Tetapi saya ingin tahu, kita sama-sama beragama Islam. Saya pengin ketemu bagaimana perasaan mereka. Akhirnya saya berangkat ke pengadilan dan saya sedih, justru mereka bangga. Saya merasa kecewa. Saya kecewa, kok Islam dibawa-bawa. Tidak ada dalam Islam perbuatan teror seperti itu,” pungkasnya. (zl)

Komentar Anda