Congruence Ruh Hardiknas dengan Merdeka Belajar

Dr. Jamiluddin, M.Pd
Dr. Jamiluddin, M.Pd

(Memahami Re-Schedulle Kebijakan Merdeka Belajar dalam Memutus Mata Rantai Penularan Covid- 19)

Oleh : Dr. Jamiluddin, M.Pd

Sekretaris Lajnah Kaderisasi PBNW dan Tenaga pendidikan di SMA NW Pancor

Terminologi “merdeka Belajar” bukanlah sesuatu yang baru, jika tidak dapat disebut sebagai terminology yang telah mensejarah dalam system pendidikan nasional kita. “Merdeka Belajar” pada hakekatnya telah lama dihadirkan di Indonesia. “Merdeka Belajar” mengemuka bersamaan dengan perjuangan tokoh-tokoh bangsa yang berusaha menghadirkan kesempatan berkembang yang sama bagi masyarakat pribumi, sekalipun dalam alam keterjajahan.

Salah seorang tokoh bangsa yang terkenal sangat gigih memperjuangkan kesetaraan hak berkembang ini adalah Raden Mas Soewardi Soernyaningrat yang lahir pada 2 Mei 1889. Kegigihannya dibuktikan dengan kritik terbuka kepada pemerintah penjajah melalui tulisannya “Als ik een Nederlander Was” yang dimuat pada Majalah De Express edisi 13 Juli 1913. Secara eksplisit tulisan ini mengkritik penjajah yang memandang biasa prilaku hedonism dengan menguras kekayaan pribumi, sementara hak-hak masyarakat untuk hidup layak dan berkembang dikubur dalam. Seolah hak berkembang tersebut tidak boleh diharapkan, walau dalam mimpi sekalipun.

Kritik yang berani dan tajam itu kemudian mengakibatkan Raden Mas Soewardi Soernyaningrat dihukum buang ke Belanda. Setelah selesai menjalani hukum buang, dia tidak jera. Di Jogja Raden Mas Soewardi Soernyaningrat atau Ki Khajar Dewantara ini mendirikan National Onderwijs Institit Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922  dengan maksud menyediakan akses belajat bagi masyarakat pribumi. Maka demikianlah, gerakan dan perjuangan pengembangan masyarakat pribumi mengalami pasang-surut sesuai irama dan suasana politik yang meliputinya.

Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Merdeka Belajar kembali menguat dengan pemberlakuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari makna inplisist pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada alenia pertama yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemedekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena  tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”.

Secara kontektual – subtansialis, kalimat pada alenia pertama pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengisyaratkan sebuah pengakuan hak asasi manusia, khususnya warga bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensi pengakuan hak asasi tersebut, maka Negara hadir memfasilitasi penyelenggaraannya secara menyeluruh dan berkeadilan. Tidak terkecuali dalam hak mengembangkan potensi diri melalui pendidikan, Negara memberiikan ruang tanpa diskriminasi kepada warga bangsa untuk mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang layak bagi kemanusiaan.

Anasir di atas diperkuat dengan isi alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan: “ Kemudiaan daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk  memajukan kesejahteraan umum, mencendaskan kehisupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaran Perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pada batang tubuh  Undang-Undang Dasar Tahun 1945, subtansi pembukaan anelia keempat di atas dipertegas pada pasal 31 ayat 1 dinyatakan Bahwa: “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Lalu pada ayat-ayat berikutnya dari pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 itu, dirumuskan pula tentang konsep global mengenai penyelenggaraan pemenuhan hak pendidikan warga bangsa oleh Negara.

Memperhatikan beberapa penegasan pada sumber hukum kita di atas, maka sesungguhnya kita dapat memastikan bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan layanan mendapatkan pendidikan bagi warga bangsa. Perubahan paradigma ini menjadi konsekuensi logis dari pergeseran system politik ketatanegaraan, yaitu dari politik imprealisme ke system politik bangsa yang merdeka.

Para pakar politik pendidikan rata-rata sepakat bahwa perubahan paradigma penyelenggaraan layanan hak memperoleh pendidikan bagi warga bangsa berkorelasi dengan system politik ketatanegaraan. Salah seorang pakar, yaitu: Albernethy dan Coombe dalam Buku Allan Bloom pada tahun 1987 yang berjudul ”Closing of the American mind New York, yang ditulis oleh Simon and Schuster, tepatnya pada halaman 380 yang dikutip oleh Sunarso, menyatakan: Éducation and politics are inectricably lingked” yang artinya: Pendidikan dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Pergeseran system politik ketatanegaraan ini merupakan vaiabel yang hebat, besar dan dahsyat. Karena sifat pergeseran system politik ketatanegaraan ini hebat, besar dan dahsyat maka salah-satu positive-effect-nya adalah mengemukanya paradigma yang menjanjikan dalam layanan akses pendidikan. Thomas Khun mensinyalir, “Sebuah perubahan besar sesungguhnya terjadi karena revolusi. Pada suatu waktu tetentu, ilmu didominasi oleh sebuah paradigma. Namun pada saat tertentu sangat mungkin terjadi anomaly yang akhirnya menimbulkan krisis. Kondisi krisis yang hebat akhirnya mendorong hadirnya gerakan revolusi. Rangkaian atau siklus inilah yang menyebabkan paradigma baru mengemuka sebagai solusi.

Baca Juga :  NW Dukung Jokowi di Pilpres 2019

Analisis dan penegasan Thomas Khun di atas sangat congruence dengan pengalaman sejarah Indonesia. Bahwa Negara-bangsa Indonesia memang telah mengalami revolusi dari keterjajahannya menuju kemerdekaan yang resmi diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam konteks penyelenggaraan akses layanan pendidikan, warga bangsa di era penjajahan mengalami keterpasungan. Akses layanan pendidikan betul-betul “di-lock down”.

Sebuah kasus yang dapat dijadikan ilustrasi terkait pemasungan hak memperoleh pendidikan yang layak di era penjajahan adalah ketika Pahlawan Pendidikan Nasional asal Lombok, Almagfur lahu Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid (Hamzanwadi) dihalang-halangi mengembangkan lembaga pendidikan yang digagasnya. Perlakuan buruk penjajah ini semata-mata untuk memutus akses pendidikan bagi rakyat jelata. Tantangan istitusional dari penjajah juga cukup hebat.

Pembrendelan lembaga pendidikan (madrasah)-nya sudah beberapa kali dicoba, namun selalu gagal. Hamzanwadi sendiri cukup gelisah dengan kondisi ini dan oleh karena itu dia menyusun strategi dengan perubahan nomen klatur gerakannya. Hamzanwadi secara kreatif memberiikan nama gerakan dan lembaganya dengan menggunakan Bahasa Arab, sehingga tidak mudah dimengerti oleh penjajah.

Pasca kemerdekaan, antara tahun 1945-1965 akses layanan pendidikan bagi bangsa Indonesia mulai terbuka cukup luas. Lembaga pendidikan mulai berkembang dan bermunculan, terutama lembaga pendidikan agama yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh ulama di Nusantara. NU (Nahdlatul Ulama’) dan Muhammadiyah mulai menguat, diikuti oleh lembaga pendidikan ormas lainnya, termasuk Nahdlatul Wathan di Lombok.

Pada tahun 1953 terjadi lompatan perkembangan jumlah lembaga-lembaga sosial maupun profesi, termasuk pendidikan. Sebuah pendapat menerangkan bahwa: “Tahun 1950-an dan 1960-an terjadi suatu gerakan yang menghasilkan Institusi sektor public, berpusat pada mendesain organisasi-organisasi yang dapat bergerak secara individu dengan menggunakan Model Utara dan melaksanakan diklat-diklat untuk profesionalitas dan kepemimpinan.

Ketika kemajuan lembaga sosial maupun profesi sedemikian rupa, pertarungan politik di Indonesia pada saat yang bersamaan mulai memanas. Partai Komunis Indonesia tampak sangat bernafsu untuk menguasai kekuatan perpolitikan di Indonesia. Untuk mewujudkan target, Partai Komunis kemudian membangun pengaruh diseluruh sector, termasuk dalam dunia pendidikan. Penyusupan kader-kader Partai Komunis dalam dunia pendidikan, khususnya di dalam organisasi profesi PGRI dilaksanakan dengan seksama.

Sebuah sumber merilis bahwa, “Orgnisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) juga hendak dikuasai, namun tidak berhasil oleh karena kegigihan ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Subiadinata. Sebagai reaksi serius kegagalannya, Partai Komunis Indonesia membentuk Persatuan Guru yang diberi nama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) non VAK Sentral dengan Ketua Subandri.

Tujuan inti gerakan Partai Komunis Indonesia adalah mengganti ideology Pancasila dasar Negara dengan komunisme (paham atheis). Sebagaimana pendapat yang berkembang, sector pendidikan sangat efektif untuk menanamkan sebuah ideology, maka Partai Komunis Indonesia tidak abai terhadap eksistensi unit-unit kependidikan, seperti PGRI. Tentu saja Partai Komunis Indonesia mengharapkan akan dapat mewarnai kurikulum dan atau sistem pendidikan nasional melalui penyusupan ke dalam PGRI.

Puncak gerakan Partai Komunis Indonesia adalah melaksanakan kudeta atau perebutan kekuasaan melalui Gerakan 30 September. Gerakan ini dilaksanakan dengan sangat licik. Selain menebar issue Dwean Jenderal yang berisi bahwa para perwira Angkatan Darat Republik Indonesia telah menyusun rencana untuk melaksanakan pemakzulan Presiden RI dan merebut kekuasaan, Partai Komunis Indonesia juga menculik dan membantai secara sadis beberapa orang perwira tinggi Angkatan Darat Republik Indonesia.

Patut disyukuri, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia segera terbongkar. Dengan upaya optimal, bangsa Indonesia di bawah perwira TNI yang kukuh tegak mempertahankan ideology Pancasila berhasil mendorong presiden untuk mempercayakan kepada Letkol Soeharto untuk menjamin serta memulihkan keadaan. Atas dukungan rakyat, akhirnya penyelenggaraan amanah Negara berhasil dilaksanakan oleh Letkol Soeharto. Tidak sampai di situ, perjuangan untuk membasmi tuntas faham komunisme di Indonesia terus didorong hingga hadirnya SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret 1966), yang diikuti dengan keluarnya TAP MPRS Nomor: XXXIII/MPRS/1967 Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara Dari Presiden Soekarno, sekaligus pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Dengan Tap MPRS itu secara otomatis lahir era baru yang disebut dengan Era Orde Baru yang bertekat melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dalam konteks ini, faham Dialektika Heagel terbuktilah sudah. Bahwa perubahan akan terjadi melalui beberapa peristiwa hebat, seperti, proses, hubungan, dinamika, konflik, dan kontradiksi. Setidak-tidaknya, proses, hubungan, dinamika, konflik, dan kontradiksi, ini telah menjadi suatu siklus yang memiliki akurasi dan akumulasi kuat. Dinamika yang dahsyat akibat proses dan hubungan antar trouble men-trigger kontradiksi, hingga ke puncak konflik.  Rangkaian siklus tersebut kemudian mengusung the survival of fittest karena yang tetap hidup adalah “kebenaran”.

Peristiwa pertarungan politik yang berujung dengan penumpasan PKI merupakan sebuah revolusi yang luar biasa. Selain mengubah system politik dan kekuasaan, revolusi ini pun mengubah tatanan aspek kehidupan ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya.  Khususnya dalam dunia pendidikan Indonesia, seluruh nafas yang yang potensial menyebabkan warga bangsa terpapar isme PKI dikikis habis. Semuanya direstorasi dengan pemberdayaan dan pembudayaan Pancasilaisme secara murni dan konsekuen.

Baca Juga :  Demokrat Dukung Rekomendasi Muktamar NW

Tergantikannya Orde Lama oleh Orde Baru membonceng perubahan besar pada system pendidikan Indonesia. Kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan menyahuti kepentingan nasional untuk membumikan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.  Demokrasi pendidikan menjadi alternasi. Namun demikian, karena demokrasi Pancasila yang menginsfirasi sekaligus menjadi grand theory, demokrasi pendidikan akhirnya menganut prinsip “permusyawaratan perwakilan”.  Akibatnya, penyelenggaraan pendidikan bersifat terpusat dan seragam diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh implementasi yang ril adalah terselenggaranya Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang setara dengan Ujian Nasional.

Darmaningtiyas menulis bahwa: “Pada Pelita III, penguasa Orde Baru semakin percaya diri karena bebebrapa alasan. Secara ekonomis, Orde baru mampu melahikan konglomerat. Sementara secara politik, Orde baru mendapat dukungan kuat ABRI dan Golkar yang berarti menjadi lebih kuat dalam birokrasi. Dengan modal ini, Orde Baru makin intensive melakukan intevensi dalam system pendidikan. Alasan intervensinya adalah adanya pengalaman bahwa institusi pendidikan dapat menjadi control efektiv atas pikiran liar di dalam masyarakat. Salah satu bentuk intervensi awal Orde Baru adalah “penyeragaman.”

Keberadaan Orde Baru semakin mendapat tempat, utamanya di level birokrasi kekuasaan. Kenyataan ini semakin mengangkat rasa percaya diri penguasa Orde Baru dalam segala hal. Pada aspek pembangunan bidang pendidikan samasekali tidak menjadi pengecualian. Justeru dengan hasil yang diperoleh, intervensi penguasa Orde Baru dalam konstruksi pendidikan sebagai jalur efektif menginternalisasi eksistensi dirinya semakin rapat dan menguat. Sedemikian hebat dan kuatnya posisi power Orde Baru, akhirnya ada beberapa perilaku yang tidak terkontol dengan cermat. Misalnya saja sentralisasi yang tidak memberi peluang pengembangan local genius. Lain daripada itu, hadir KKN yang secara otomatis di-trigger oleh dominasi kekuasaan Orde Baru yang tidak memungkinkan mengemukanya kekuatan penyeimbang sebagai kontrol.

Sebuah pendapat menegaskan bahwa: “Selama 50 tahun Orde Baru melaksanakan kekuasaan secara terpusat. Maknanya adalah, penguasa Orde Baru telah menekan partisipasi rakyat. Seolah-olah rakyat diposisikan hanya sebagai objek yang tidak berdaya. Ujungnya, penguasa secara sepihak bersama asumsinya tersebut memosisikan kerabat birokrasi sebagai satu-satunya yang berkemampuan untuk berkembang. Artinya, sikap ini melebarkan jarak status social rakyat dengan kerabat birokrasi.”

Kondisi ini membakar semangat rakyat untuk melakukan pemuliaan dirinya. Perlakuan penguasa Orde Baru akhirnya dilawan, bahkan akhirnya dipaksa turun tahta melalui gerakan reformasi tahun 1998. Dibidang pendidikan mengemuka aspirasi urgensi reformasi pendidikan yang disuarakan Forum Rektor pada tanggal 11 November 1998. Berkat desakan tersebut, kemudian bulat kata sepakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang demokratis, sistemik, terbuka, dan multi makna.

Kesefahaman tentang model penyelenggaraan demokrasi pendidikan kemudian menjadi pijakan merajut sebuah suprastuktur yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.  Namun demikian, tidaklah mudah memformulasikan secara penuh penyelenggaraan pendidikan yang bersifat demokratis, sistemik, terbuka, dan multi-makna tersebut. Membutuhkan waktu yang cukup untuk membangun unit-unit pendukung, utamanya sumberdaya manusia dan impastruktur pendidikan yang memadai.

Betapa prepare sumberdaya manusia dan impastruktur pendidikan yang memadai sangat menantang, oleh sebab itu Indonesia membutuhkan waktu lebih-kurang 15 tahun untuk mengkondisikannya. Bahkan kemudian sebelum terkondisi secara optimal, penyelenggaran pendidikan yang besifat demokratis, sistemik, terbuka, dan multi-makna ini akhirnya niscaya. Alasannya adalah karena Indonesia tunduk pada kewajiban mensebangunkan diri dengan era disrupsi atau era industry 4.0 dan 5.0.

Indonesia atas keharusan mensebangunkan diri dengan era disrupsi atau era industry 4.0 dan 5.0 ini sesungguhnya mencanangkan penyelenggaraan pendidikan yang besifat demokratis, sistemik, terbuka, dan multi-makna ini  pada tahun 2021 dengan sebuah kebijakan yang diatur dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 1 Tahun 2020 tentang Merdeka Belajar. Namun demikian rencana manusia harus tunduk pada ketentuan Robb. Penetapan pemberlakuan kebijakan Merdeka Belajar pada tahun 2021 harus di re- schedule dan disegerakan pada tahun 2020 dengan alasan darurat kesehatan akibat wabah Covid 19.

Learn distancing atau belajar daring melalui berbagai alternasi, baik on-line maupun pembelajaran berprograma via TV dan Radio akhirnya digelar untuk kemudian tidak menghentikan akses pembelajaran bagi anak yang sedang dalam perintah stay at home atau Pembatasan Sosial Bersekala Besar di beberapa kota di Indonesia untuk kebutuhan memutus mata ranta penularan Covid 19.  

Sebagai kata akhir dari tulisan ini, ada sesuatu yang harus dipahami. Bahwa dari awal hingga akhir kronologis pergerakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pada akhirnya berubah karena sebuah revolusi sekaligus mengikuti teori pergeseran paradigma Thomas Khun. Kendati demikian, bagaimanapun pergeseran paradigm penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, termasuk pada maqoshid kebijakan Merdeka Belajar, subtansinya selalu tergiring pada intaj (produk) mensebangunkan penyelenggaraan pendidikan itu dengan Ruh HARDIKNAS. Wallohu’alamu. (*)

Komentar Anda