Sidang Putusan Korupsi Marching Band Ditunda

MATARAM – Hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Mataram, menunda sidang pembacaan putusan kasus korupsi pengadaan alat kesenian atau marching band pada Dinas Kebudayaan (Dikbud) NTB 2017, dengan terdakwa Lalu Buntaran dan Muhammad Irwin. “Sidang dengan agenda pembacaan putusan hari ini ditunda,” ujar Jarot Widiyatmono selaku ketua hakim, Selasa (27/2).

Sidang pembacaan putusan itu ditunda lantaran salah satu anggota hakim tidak hadir. Ketidakhadiran hakim anggota tersebut karena masih mengikuti sidang perkara lain.
“Sebenarnya putusannya sudah jadi, karena anggota hakim lainnya masih ikut sidang kasus lain di gedung sebelah sehingga sidangnya kita tunda,” imbuhnya.

Berdasarkan kesepakatan bersama jaksa penuntut dan penasihat hukum terdakwa, sidang pembacaan putusan akan digelar Rabu (28/2).
Sebelumnya, terdakwa Muhammad Irwin selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan itu dituntut pidana penjara selama 5 tahun dan 6 bulan oleh jaksa penuntut. Terdakwa juga dituntut pidana denda Rp 200 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan.

Sedangkan terdakwa Lalu Buntaran selaku kontraktor dari perusahaan CV Embun Emas, dituntut dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda Rp 200 juta subsider 3 bulan.
Terdakwa turut dituntut untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 546 juta subsider 3 tahun dan 3 bulan. Tuntutan yang dijatuhi kedua terdakwa, dengan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagai diatur dalam Pasal 2 ayat (1) junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke-1.

Diketahui, jaksa dalam dakwaan menyebutkan kedua terdakwa kongkalikong dalam pengadaan alat kesenian tahun 2017 tersebut. Persekongkolan itu terjadi sejak penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS).

Tak hanya itu, persekongkolan itu juga terjadi saat penentuan spesifikasi peralatan marching band yang nantinya diperuntukkan meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah menengah atas.
Untuk pengadaan alat marching band itu, dianggarkan dalam dua paket pengadaan. Paket pertama, PPK menyusun HPS senilai Rp1,69 miliar untuk 8 unit pengadaan alat marching band. Sementara paket kedua, HPS senilai Rp1,06 miliar untuk 5 unit pengadaan alat marching band.

Kedua paket itu dimenangkan CV Embun Emas dengan nilai penawaran berbeda. Paket pertama dengan nilai penawaran Rp 1,57 miliar, sedangkan paket kedua sebesar Rp 982 juta. Muhammad Irwin, selaku PPK pertama kali menentukan nilai HPS dengan meminta anak buahnya Sabarudin untuk melakukan survei pasar. Melalui internet, Sabarudin mendapatkan sebanyak 17 rekomendasi alat marching band.

Itu didapatkan dari Julang Marching Band yang ada Sleman, Yogyakarta. Kemudian diserahkan ke terdakwa Muhammad Irwin. Selanjutnya, Muhammad Irwin menyerahkannya ke terdakwa lalu Buntaran dan saksi Sapoan.

Dengan daftar yang diterima dari terdakwa Muhammad Irwin, terdakwa Lalu Buntaran menghubungi Julang Marching Band dan meminta daftar harga untuk satu unit alat Marching Band tersebut. Usai mendapatkan daftar harga, Lalu Buntaran menyerahkannya ke Muhammad Irwin.

Penyerahan daftar harga diserahkan di Kantor Dinas Dikbud NTB. Lalu, daftar harga itu dipergunakan untuk menyusun HPS untuk satu unit kelengkapan alat Marching Band.
Nilainya sebesar Rp 212 juta. Terungkap di dalam dakwaan, CV Embun Emas yang keluar sebagai pemenang bukan miliknya terdakwa Lalu Buntaran, melainkan milik adiknya.

Dan jaksa dalam dakwaan, menyebutkan Lalu Buntaran melakukan monopoli. Hal itu dikarenakan dari belasan perusahaan yang mendaftar sebagai peserta lelang, hanya CV Embun Emas yang melampirkan harga penawaran. Juga tidak menyalurkan barang sesuai spesifikasi perencanaan. Atas tindakannya, kedua terdakwa menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 702 juta berdasarkan hasil audit BPKP NTB. (sid)

Komentar Anda