Pemberi dan Penerima Politik Uang Terancam Pidana

APK BERTEBARAN: Alat Peraga Kampanye (APK) milik para peserta Pemilu terlihat bertebaran di ruas-ruas jalan di Kota Mataram. (RATNA/RADAR LOMBOK)

MATARAM — Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi NTB, sekaligus Koordinator Divisi Pencegahan, Parmas dan Humas, Hasan Basri, mengingatkan para peserta Pemilu maupun masyarakat, tentang sanksi berat berupa pidana penjara dan denda apabila terbukti melakukan politik uang.

“Jangan pilih Caleg yang memberikan uang. Jangan sampai suara berharga yang kita miliki dibeli dengan uang. Bayangkan, jika diberi 100 ribu rupiah, dibagi 365 hari setahun, untuk masa jabatan mereka 5 tahun, maka suara kita hanya dihargai sekitar 54 perak per harinya,” tegas Hasan, sapaan akrab Anggota Bawaslu NTB ini, Sabtu (27/1).

Pada Pilkada Tahun 2024, penegakan hukum terkait praktik politik uang akan semakin tegas. Dimana kalau merujuk pada Undang-undang Pilkada yang telah selesai direvisi, pemberi maupun penerima politik uang dapat dikenai sanksi pidana.

“Pelaku dan penerima politik uang diancam sanksi pidana. Selain itu, dalam Pemilu perbedaan pendapat selalu ada, sehingga adanya toleransi atas pilihan masing-masing harus diterapkan,” katanya.

Diakui, Bawaslu NTB menggelar sosialisasi pengawas partisipatif berbasis Desa Adat di Komunitas Adat Dusun Limbungan, Desa Perigi, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, Sabtu, (27/1). Kegiatan itu dilaksanakan untuk mengawal hak pilih, sekaligus memperkuat pemahaman warga tentang pentingnya pengawasan Pemilu.

Kegiatan tersebut, sekaligus mengingatkan kepada Masyarakat Adat bahwa Pemilu akan dilakukan pada tanggal 14 Februari 2024, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota DPR RI, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Baca Juga :  Instansi Pemerintah Dilarang Rekrut Tenaga Honorer

“Dari kelima yang akan dipilih, semeton-semeton (saudara-saudara) tentunya juga akan ikut memilih. Namun ada syarat untuk bisa memilih, yaitu mendapatkan Formulir C6 atau surat pemberitahuan untuk pergi memilih di TPS,” jelas Hasan.

Formulir C6 atau yang akrab disebut undangan memilih oleh masyarakat akan diterima hingga paling lambat h-1 pemungutan suara. Hasan berharap masyarakat yang mendapatkan formulir tersebut, dan telah terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilih sebaik-baiknya, dan tanpa intervensi politik uang.

Politik uang sendiri adalah sebuah upaya mempengaruhi hak suara pemilih atau penyelenggara Pemilu untuk memberikan pilihan suaranya kepada calon tertentu. Politik uang dilakukan dengan memberikan imbalan materi, janji, atau hal lainnya kepada pemilik suara.

Berdasarkan pemahaman tersebut, politik uang juga didefinisikan sebagai salah satu bentuk suap. Praktik ini sering muncul menjelang Pemilu. Di Indonesia, politik uang kerap disebut dengan istilah serangan fajar.

Disebut serangan fajar, karena umumnya calon atau seseorang dari tim calon yang akan menduduki bangku parlemen akan memberikan imbalan pada masyarakat di waktu Subuh pada hari pelaksanaan pemungutan suara guna mendapatkan suara.

Dikutip dari laman Bawaslu, jenis politik uang tidak selalu berbentuk materi, tetapi bisa juga berupa fasilitas. Misalnya dengan memanfaatkan fasilitas negara untuk keuntungan pribadi yang berkaitan dengan Pemilu. Contoh lain politik uang berupa fasilitas adalah pemberian izin untuk memperbaiki jalan raya atau jembatan dengan menggunakan anggaran negara demi mendapatkan suara pemilih.

Baca Juga :  Kasus Kredit Fiktif, Eks Bendahara Polda Segera Dihadirkan di Sidang

Secara hukum, tindak pidana politik uang tertulis dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 pada Pasal 278, 280, 284, 515 dan 523 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 523 ayat (1) sampai ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terdapat tiga kategori sanksi politik uang berdasarkan waktunya, yakni pada saat kampanye, masa tenang, serta saat pemungutan dan penghitungan suara.

Adapun dalam Pasal 523 ayat (1), sanksi yang dikenakan ketika seseorang terlibat dalam politik uang saat kampanye adalah pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta. Sedangkan sanksi politik uang ketika masa tenang berdasarkan Pasal 523 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.

Sebelumnya, Anggota Bawaslu NTB, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Data dan Informasi Umar Achamd Seth, mewanti-wanti terjadinya kampanye tatap muka yang berpotensi adanya praktik money politik. Hal ini menyusul mulai maraknya kegiatan partai politik didalam daerah. “Sementara kami mengidentifikasi pertemuan tatap muka itu dimungkinkan adanya money politik,” katanya.

Umar menyebut pada moment-moment seperti ini, tidak menutup kemungkinan tiap pertemuan tatap muka peserta Pemilu terjadi money politik untuk memenangkan partai. Terlihat dari partai politik yang semakin menggiatkan aktivitas mereka untuk berkunjung ke masyarakat.

“Kegiatan-kegiatan kampanye semakin intens dilakukan. Maka dari itu Bawaslu NTB semakin depan mengidentifikasi segala bentuk kegiatan kampanye, yang salah satunya aktivitas pertemuan tatap muka,” ujarnya. (rat)

Komentar Anda