NTB Zerowaste: Antara Buang Anggaran dan Secercah Harapan

Lalu Aziz Al Azhari (Mahasiswa Pascasarjana Teknik Pertanian dan Biosistem IPB)

Pada bulan September 2023 mendatang, Zul-Rohmi, pasangan gubernur dan wakil gubernur NTB akan mengakhiri periodesasinya. Salah satu program unggulan mereka adalah program Gemilang Lingkungan. Program ini bertujuan mencapai NTB Zero Waste dengan mengelola 70% sampah dan mengurangi 30% lainnya. Namun data dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTB menunjukkan peningkatan jumlah sampah dari tahun 2021 hingga 2022 sebesar 1.5%, mencapai 975.645 ton. Sampah organik menyumbang 53.63% dan plastik 17.89%. Beberapa upaya telah dilakukan melalui pelatihan dan teknologi seperti RDF, pyrolis, dan TPS3R untuk mengatasi hal ini. Artinya, semenjak program NTB Zerowaste ditetapkan, pemprov NTB tidak memiliki progres sama sekali

Teknologi Zerowaste NTB

Di bawah kepemimpinan Zul-Rohmi, Provinsi NTB pada tahun 2020 menerapkan teknologi Refused Derived Fuel (RDF) untuk mengubah sampah organik menjadi bahan bakar alternatif. Teknologi ini mencacah dan memadatkan sampah organik menjadi bricket/pellet dengan bentuk yang mirip dengan pakan ternak atau dengan ukuran yang lebih besar. Pemprov NTB mengklaim bisa memproses 30 ton/hari sampah organik menjadi bahan bakar padat yang menggantikan batu bara. Namun, meski berencana meningkatkan kapasitas produk menjadi 200 ton/hari, teknologi ini hanya berhasil mengurai sekitar 0.054% dari lonjakan sampah organik yang terus bertambah sejak artikel ini ditulis.

Teknologi lain juga diterapkan seperti teknologi ramah lingkungan dengan sistem pirolisis di STIP Banyumulek, yang diresmikan pada 29 Mei 2021. Teknologi ini diklaim dapat mengubah 1 ton limbah plastik menjadi 400-600 liter bahan bakar solar per hari. Akan tetapi, meskipun telah beroperasi selama 585 hari sejak artikel ini ditulis pada 10 Agustus 2023, teknologi ini hanya berhasil mengurai sekitar 0.0034% dari total limbah plastik masyarakat NTB, jauh dari ekspektasi.

Yang Harus Dilakukan Pemprov NTB

Beberapa hal yang harus dilakukan pemprov NTB dalam rangka mewujudkan NTB Zero Waste. Pertama ialah melaksanakan sosialisasi yang lebih efektif. Agenda ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilah sampah dari rumah guna mewujudkan NTB Zerowaste. Teknologi pengolahan sampah yang diinisiasi oleh Zul-Rohmi akan sulit berfungsi optimal bahkan tifak berfungsi sama sekali tanpa pemilahan sampah yang baik oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas hasil dari setiap teknologi pengolahan seperti bahan bakar cair atau padat.

Baca Juga :  Hari Sumpah Pemuda: Saatnya Pemuda Ambil Peran

Hingga saat ini, Pemprov NTB baru memperkenalkan teknologi tanpa memperkuat kesadaran masyarakat melalui komunitas pemuda atau elemen masyarakat yang lain. Meski upaya kolaborasi dengan pemerintah desa dan pemuda desa penting, namun monitoring serta evaluasi berkala minimal dua kali selama satu bulan juga perlu diterapkan, dan tidak hanya dalam bentuk acara seremonial. Walaupun teknologi yang digunakan oleh Pemprov NTB tepat, sosialisasi yang lebih intens tetap menjadi faktor kunci keberhasilan program.

Langkah kedua yaitu melibatkan pendampingan. Setelah menyebarkan kesadaran tentang pentingnya pemilahan sampah di rumah, pendampingan aktif menjadi kunci untuk mencapai tujuan zerowaste. Tanpa pendampingan, upaya ini bisa menjadi sia-sia dan membuang waktu.

Langkah selanjutnya ialah memfasilitasi masyarakat. Misalnya, menyediakan tiga tempat sampah per rumah tangga untuk organik, anorganik, dan B3. Meski bantuan transportasi pengangkutan penting, memastikan fasilitas dasar ini terpenuhi juga krusial. Saat ini, pemprov telah memberikan 270 unit roda tiga, 24 truk, dan 27 mobil pick-up. Tapi, fasilitas-fasilitas tersebut bukanlah hal yang utama jika masyarakat belum mampu memilah sampah dengan baik, akhirnya sampah akan berakhir tertimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa pengolahan.

Ketiga langkah mendasar diatas adalah agenda fundamental yang harus dilakukan. Keberhasilan target penguraian sampah sekitar 70% bisa terganggu jika salah satu langkah tersebut terabaikan. Sebagai contoh, TPS3R (Tempat Pembuangan Sampah dengan Metode Reduce, Reuse, Recycle) merupakan upaya yang telah dilaksanakan oleh pemprov NTB. Akan tetapi terdapat 12 dari total 12 TPS3R yang tidak berfungsi dengan baik. Artinya, semua TPS3R hasil dari program NTB Zero Waste tidak ada yang berjalan. Ini disebabkan oleh faktor sosial dan kurangnya dukungan dari masyarakat setempat. Perlu diingat bahwa biaya pembangunan satu TPS3R diperkirakan mencapai 400 hingga 500 juta rupiah.

Baca Juga :  Penanganan Pengungsi Rohingya di Indonesia : Tantangan dan Solusi

Teknologi Tepat Guna Untuk Zerowaste NTB

Jika pemerintah NTB serius mengurangi sampah dan langkah-langkah dasar yang ditawarkan di atas telah dilaksanakan, terdapat teknologi Biokonversi dengan Black Soldier Fly (BSF) yang bisa membantu. Teknologi ini tidak hanya mengurai sampah tetapi juga menguntungkan ekonomi masyarakat dengan mengolah limbah organik secara lebih efisien. Menggunakan larva BSF adalah cara inovatif dan berkelanjutan untuk mengatasi limbah organik yang harus dikelola dengan cepat, tepat dan profesional karena berpotensi menyebabkan bau tak sedap dan masalah kesehatan. Peternakan maggot dengan area 1 m2 dan 5 gram telur maggot bisa mengolah limbah organik hingga 7,5-8 kg dalam 14 hari.

Langkah berikutnya adalah memanfaatkan maggot untuk ekonomi berkelanjutan, seperti maggot kering, segar, pellet, dan kompos. Kandungan protein maggot sebesar 33,90% bisa digunakan sebagai pakan ikan dan ternak, bahkan minyak maggot bisa digunakan sebagai kosmetik. Sangat disayangkan apabila perluasan lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan luas 2,3 hektar yang memakan anggaran sebesar 23,5 milyar hanya digunakan untuk pengadaan mesin, gedung, kantor, dan mesin timbangan yang akan di bangun di Desa Ijo Balit kabupaten Lombok Timur. Tempat yang diklaim mampu menampung sampah selama 10 tahun kedepan ini merupakan proyek yang menurut penulis hanya memperburuk keadaan dalam rangka pengelolaan sampah.

Seandainya, setengah dana tersebut digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan setengahnya lagi digunakan untuk membangun peternakan maggot serta setengah lahan tersebut digunakan sebagai peternakan maggot yang mampu menampung sekitar 60.000 gram telur maggot, tentu akan dapat mengurai limbah organik sebesar 90 ton/14 hari. Dan jika pemprov NTB dapat memanfaatkan maggot sebagai tools untuk sirkular ekonomi yang berkelanjutan, dengan mengolah maggot sebagai barang jadi maupun setengah jadi. Maka dampak ekonominya akan lebih dapat dirasakan oleh masyarakat setempat melalui produk-produk turunin maggot. Untuk menyukseskan ide tersebut, penting adanya kolaborasi antar masyarakat tingkat tapak serta dibutuhkannya keseriusan jajaran Pemprov NTB.

Komentar Anda