Mengajak orang untuk menggunakan cara dan sistem yang lebih baik dan modern agar hasil yang didapat lebih banyak dan lebih menguntungkan ternyata tidak mudah. Seperti yang dialami Nyoman Subali alias M Syaifullah. Ajakannya itu bahkan berbuah ancaman.
Jalaludin–Lombok Timur
Nyoman Subali alias M Syaifullah merupakan salah satu tokoh masyarakat Desa Tanjung Luar Kecamatan Keruak Lombok Timur yang memiliki kepedulian terhadap nasib para nelayan. Tidak saja pada nelayan, tokoh yang kini berusian 74 tahun kelahiran Selong tahun 1943 ini juga merupakan pecinta lingkungan, khususnya yang menyangkut bahari atau kelautan.
Tak heran meski di usia kepala tujuh ini ia masih dipecaya sebagai fist responder training dari BPSPL Bali. Tugasnya mengawasi satwa langka laut yang dilindungi. Dia juga aktif di bidang pendidikan dengan mengelola lembaga pendidikan
[postingan number=3 tag=”boks”]
Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang juga mengajarkan tentang bagaimana menjaga keletarian lingkungan laut sebagai tempat menggantungkan hidup masyarakat pesisir seperti tempat tinggalnya Tanjung Luar. Sebelumnya juga dia pernah menjabat sebagai ketua KPPL.
Syaifullah lulusan Sekolah Teknik Menengah Atas (STMA) Yogyakarta dan sempat mengenyam pendidikan di Akademi Maritim Surakarta (AMS) hingga semester akhir. Lantaran peristiwa G30S PKI sehingga AMS bubar hingga dia tak dapat menyelesaikan pendidikannya di sini.
Syaifullah lalu ke Jakarta. Selama tiga tahun di Jakarta dari tahun 1965 hingga 1968, pak Nyoman panggilan akrabnya numpang di saudaranya seorang pegawai di bagian humas di kantor Sekretaris Negara. Dari kakaknya ia belajar menulis hingga kemudian menjadi reporter lepas di beberapa media di Jakarta saat itu. Selain itu ia juga aktif di organiasasi kepemudaan dan memilih Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Tahun 1968, Syaifullah pulang ke Selong dan kemudian menikah dan menetap di Tanjung Luar kecamatan Keruak.
Kepeduliannya pada laut dan nelayan dimulai sejak ia menikah dan memutuskan menetap di wilayah pesisir Tanjung Luar. Disinilah ia kemudian menapaki kehidupan barunya yang banyak bergelut dengan laut dan juga hasil laut. Di lingkungan baru yang mayoritas masyarakatnya menggantungkan hidup dari laut ini, ia harus menyesuaikan diri. Hingga lambat laun mulai menikmati dengan ikut terjun ke laut hingga mengolah dan menjual hasil laut.
Sebagai bagian dari nelayan dan hidup di lingkungan nelayan, lambat laun ia mulai berpikir bagaimana caranya bisa meningkatkan hasil tangkapan agar kesejahtraan nelayan meningkat. Apalagi nelayan setempat peralatanya sangat sederhana dengan hanya mengandalkan jaring, jala atau pancing. “Kemudian saya berpikir ke arah yng lebih modern pada tahun 1977. Saya mencoba menggunakan pukat cincin yang saya pesan di Madura,” katanya.
Penggunaan pukat cincin masih asing bagi para nelayan di Tanjung Luar. Nelayan belum bisa menerimanya. Meski demikian, ia berusaha terus memberikan pemahaman pada nelayan agar mau beralih dan menggunakan alat yang lebih modern ini agar hasil tangkapan akan lebih banyak. Syaifullah sampai mendatangkan pelatih dari Bali untuk melatih mereka, termasuk mendatangkan perahu yang dioperasikan oleh enam orang nelayan. Hasilnya, sehari bisa mendapatkan ikan sampai 3 ton.
Melihat hasil yang sangat melimpah yang tidak pernah mereka dapatkan selama ini, nelayan lainnya bukannya berusaha untuk belajar menggunakan alat tersebut, justru merasa khawatir jika banyaknya hasil tangkapan tersebut akan menguras isi laut. Sejumlah oknum nelayan lalu melarangnya menggunakan alat tersebut serta mengancam akan membunuhnya. Syaifullah terpaksa harus mengungsi meninggalkan Tanjung Luar ke Selong beberapa saat, hingga kondisi aman dan kemudian kembali.
Dia terus mencari solusi agar nelayan mau menerima peralatan yang lebih modern. Syaifullah berinisiatif menemui bupati saat itu H Saparwadi untuk menyampaikan masalah ini. Rupanya, rencana Syaifullah direspon. Bupati lalu menunjuk dinas koperasi untuk melaksanakan program modernisasi alat tangkap bersama-sama dengan dirinya dan kelompok yang telah dibentuk sebelumnya. Kelompoknya lalu mendapatkan bantuan pendanaan dari BPD NTB yang telah ditunjuk pemerintah, hingga program ini lambat laun kemudian dapat diterima perlahan oleh para nelayan.
Bersama dengan dinas koperasi, ia melakukan pengadaan 3 pukat cincin. Pelan namun masti para nelayan kemudian bersedia menerima kehadiran alat tangkap baru. Manfaatnya mulai bisa dirasakan nelayan. Setelah satu tahun, pemerintah memprogramkan penambahan 3 unit pukat bersama dengan perahu untuk mengoperasikannya. Lalu dibentuk beberapa kelompok yang terdiri dari 16 orang per kelompoknya. Bahkan dalam sosialisasi pembentukan kelompok ini, bupati turut turun ke nelayan untuk melaksanakan sosialisasi. Program ini dinilai berhasil meningkatkan kesejahtraan para nelayan.
Tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian mulai berpikir bagaimana mengakomodir kepentingan para nelayan sehingga mereka terlindungi dari persoalan hukum dalam melaut atau dari ancaman para nelayan lainnya terutama dalam batas zona wilayah. Lalu dihasilkan awiq-awiq Kawasan Teluk Jukung yang mengatur berbagai hal menyangkut tentang para nelayan.
Di awiq-awiq ini diatur tentang zonasi di laut bagi para nelayan agar tidak saling berebut lahan. Lalu dibentuk kelompok pengawas di laut yang akan mengawasi zona yang telah ditetapkan dengan anggota sebanyak 12 orang. Hingga kemudian tahun 2001 datang Co-Fish Project yang kemudian membangun dermaga, coldstorage untuk menampung hasil tangkapan, kemudian penguatan lembaga masyakat dan sebagainya.
Selama 5 tahun lembaga ini bekerja di Tanjung Luar dan tertarik dengan awiq-awiq Kawasan Teluk Jukung yang telah dirancangnya bersama dengan tokoh masyarakat setempat. Awiq-awiq ini kemudian diperkuat dengan Perda, nomor 9 tahun 2004. “Dalam tugas kita mengawasi awiq-awiq ini tak jarang kita juga mendapatkan ancaman hingga mau dibom sama nelayan,” katanya.
Demi mengamankan awiq-awiq, ia bersama tim rutin berpatroli untuk mencegah pelanggaran zona tangkap maupun pengeboman ikan. Saat patroli ini, dia tak jarang ia mendapatkan ancaman di tengah laut.
Kiprah Syaifullah ini membuahkan penghargaan. Tahun 2008 lalu, dia mendapatkan penghargaan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKPRI). “Saat itu mendadak saya dapat telpon dari Dinas Perikanan Provinsi, mengabari akan datang tim juri Adi Bakti Mina Bahari,” ujarnya.
Lalu pada bulan Desember 2008, datang lagi panggilan untuk datang ke Pelabuhan Gresik Jawa Timur pada peringatan Hari Nusantara untuk menerima penghargaan Adi Bakti Mina Bahari sebagai tokoh penggerak pembangunan perikanan tangkap teladan tingkat Nasional. (*)