Gubernur Diminta Panggil Bupati/Wali Kota

Ilustrasi Ritel Moderen

MATARAM – Sikap gubernur   TGH M Zainul Majdi yang belakangan ini menyerang ritel modern, mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Namun, sikap gubernur tersebut diminta bukan hanya sekedar memberikan imbauan atau menyampaikan pesan.

Wakil Ketua DPRD Provinsi NTB, Mori Hanafi  menilai, seharusnya gubernur sejak lama bersuara lantang menentang ritel modern yang semakin menjamur. “Harusnya dari dulu, kemana saja baru sekarang. Tapi harus action, jangan hanya mengimbau,” ujar Mori kepada Radar Lombok, Selasa kemarin (14/3).

Menurut Mori, dirinya sangat memberikan apresiasi atas sikap gubernur belakangan ini. Meskipun terlambat, itu lebih baik dibandingkan hanya diam saja dengan fenomena yang ada.

Menjamurnya ritel modern saat ini, membuat penanganan lebih sulit. Apalagi sudah menggurita sampai masuk ke pelosok desa. Langkah yang harus diambil segera yaitu memanggil seluruh bupati maupun wali kota. “Kita apresiasi meski terlambat, tapi yang pertama gubernur wajib memanggil bupati/wali kota,” ucapnya.

[postingan number=3 tag=”ritel”]

Pemanggilan tersebut harus dilakukan untuk membangun sebuah kesepakatan. Semua kepala daerah harus sepakat untuk tidak lagi memberikan izin bagi ritel modern di seluruh wilayah NTB. “Harus ada kesepakatan bersama untuk moratorium ritel modern,” tegas Mori.

Keputusan moratorium ritel modern, karena saat ini sudah terlalu banyak   di NTB. Akibatnya, para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) menjadi korban. Sementara, keuntungan ritel modern paling banyak dirasakan manfaatnya oleh para pemodal luar saja.

Baca Juga :  Warga Karang Genteng Tolak Keberadaan Ritel Modern

DPRD NTB sendiri, sejak 3 tahun lalu mengimbau untuk membatasi berkembangnya ritel modern. Namun, tidak disikapi serius oleh kepala daerah. Malah pembangunannya semakin menjamur setiap tahun. “Harus ada keberpihakan kebijakan yang jelas ke pelaku usaha kecil,” kata Mori.

Untuk melakukan evaluasi izin yang telah dikeluarkan atau mencabutnya, Mori menilai bukan perkara mudah. Pemerintah daerah bias dituntut karena izin yang telah didapatkan ritel modern sesuai syarat-syaratnya. “Yang harus dilakukan itu moratorium, makanya segera kumpulkan semua bupati dan wali kota,” pinta pria asal Bima ini.

Hal senada disampaikan pengamat ekonomi dan bisnis NTB, dari Universitas Mataram,  Dr Ihsan Rois. Mencabut izin yang sudah ada tidak perlu dilakukan. Namun bagaimana diatur ritel-ritel yang sudah ada bisa menjalin kerja sama dengan masyarakat setempat.

Menurut Ihsan Rois, adanya ritel modern memang sangat positif bagi investasi dan kemajuan daerah. Apalagi kemajuan suatu wilayah salah satu tolak ukurnya adanya ritel modern. “Tapi masalahnya pengusaha lokal bisa mati. Sangat tidak adil kalau kita menyuruh mereka bersaing, karena dari segi modal dan manajemen saja jauh berbeda,” ucapnya.

Pantauannya sejauh ini, ritel modern terlalu banyak di NTB. Gubernur, meskipun bukan pemegang wewenang namun merupakan pimpinan di NTB. Oleh karena itu, masalah ritel modern yang tidak terkendali harus disikapi serius.

Lebih lanjut disampaikan, persoalan ritel modern sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam aturan tersebut sudah jelas ada batasan-batasan pembangunan ritel modern. “Persoalannya kepala daerah komitmen tidak dengan aturan yang ada,” ujarnya.

Baca Juga :  Ali BD Tetap Akan Berikan Izin Ritel Modern

Ritel modern, bisa dibangun setelah memiliki izin pendirian yang disebut dengan Izin Usaha Toko Modern (IUTM). Pihak yang berwenang menerbitkan izin yaitu bupati/wali kota. Kemudian kewenangan untuk menerbitkan IUTM ini dapat didelegasikan kepada kepala dinas/unit yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Selain Perpres, ada juga Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. “Ada juga perda, di Mataram sudah dibatasi sebenarnya. Tapi kok izin tetap bisa keluar, saya sendiri mempertanyakan itu. Bagaimana bisa di satu kecamatan ada dua sampai tiga ritel modern,” herannya.

Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah dugaan adanya persaingan tidak sehat.Masyarakat yang selama ini menjual barang di warung-warung kecil, dengan mudahnya akan tergerus oleh ritel modern tanpa bisa berbuat apa-apa. “Coba lihat, semua dijual di ritel modern. Pulsa saja dijual, terus bagaimana nasib konter-konter milik masyarakat. Jangan-jangan kedepan pisang goring juga akan dijual,” kesalnya. (zwr)

Komentar Anda