Dari Event Senggigi Sunset Jazz 2017

Antara Jazz, Optimisme Senggigi dan Ironi Kemiskinan

Tidak saja anak-anaknya yang tidak leluasa bermain setelah bangunan-bangunan hotel itu berdiri, para nelayan setempat juga merasakan hal yang sama. Mereka mengeluh lantaran tidak diberikan izin menambatkan perahu diatas tanah milik hotel yang belum dibangun. Nelayan terpaksa mengambil tempat yang lebih jauh dari lokasi semula. Sudah sekian kali mereka menyampaikan keluhan kepada pemerintah daerah, tetapi pemerintah terkesan lebih membela kepentingan investor. “ Padahal jelas kami lebih dulu ada ketimbang pariwisata. Tolong agar hak-hak kami diperhatikan, “ungkap Fahruz (45 tahun), nelayan asal Mangsit, Senggigi.

Baca Juga :  Jangan Lewatkan Jazz & Blues Night Senggigi!

Nasib yang semakin terpinggirkan juga dialami nelayan Desa Batulayar. Di pantai mereka berdiri lokasi hiburan anak-anak. Bangunan tersebut berjejer dan menyambung dengan lahan milik investor lain yang telah dipagar. Yang membuat mereka kesal, tidak ada satu bangunan pun yang membuatkan mereka akses jalan menuju pantai seperti yang tertuang dalam aturan investasi. Untuk sampai ke perahu masing-masing, mereka harus menempuh jalan lain yang masih dimiliki warga.

Senggigi adalah sebuah kawasan wisata ujung utara Lombok Barat. Warga Senggigi mungkin tidak menyangka jika wajah kampung mereka akan seperti sekarang. Di Senggigi kini telah berdiri puluhan hotel dari kelas bintang sampai melati, plus tempat hiburan yang menjamur.

Baca Juga :  Dari Ajakan Berfoto Hingga Borong Dagangan

Sebelum tahun 1990-an, sebagian besar Senggigi masih berupa pantai dikelilingi semak belukar dan kebun kelapa. Warga tak pernah mengira tanah mereka itu adalah mimpi bagi para pelancong dari belahan dunia lain. Kesalahan fatal mereka dimulai sejak menjual tanah beramai-ramai kepada pengusaha. Harga tanah saat itu berkisar antara 3 hingga 4 juta rupiah per are.

Komentar Anda
1
2
3
4