CERITA BAIQ AYU DARMA NING TYAS MENGAJAR ANAK-ANAK DI PELOSOK

Bagi Baiq Ayu Darma Ning Tyas, mengajari anak-anak yang kesusahan belajar di daerah pelosok atau terpencil, justru menjadi kebahagiaan tersendiri. Karena itu, meski harus berjam-jam untuk menuju lokasi mengajar, semua dijalani dengan suka cita

WAJAH Baiq Ayu Darma Ning Tyas terlihat ceria dan bahagia, ketika bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam “Komunitas Tastura Mengajar”, berjalan menyusuri perbukitan menuju ke Gubuk Panggel, Dusun Pendem, Desa Mekarsari, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah.

Disebut Gubuk Panggel, karena orang yang menuju lokasi ini, ketika sampai di lokasi, pasti akan merasa lelah dan pegal-pegal atau penggel (Bahasa Sasak-Lombok, red). Namun tak demikian bagi Ayu, walaupun harus melintasi daerah perbukitan, tetapi dia sangat menikmati perjalanan. Apalagi selama perjalanan dia juga dapat menikmati panorama alam yang indah.

Untuk mencapai lokasinya mengajar di Gubuk Panggel, Dusun Pendem, dari Kota Praya (Ibu Kota Kabupaten Loteng) sekitar 2 jam perjalanan. Dengan menggunakan kendaraan sepeda motor, dari Kota Praya menuju ke Dusun Bangket Molo, Desa Mekarsari, dapat ditempuh sekitar 1 jam.

Karena akses jalan yang masih buruk, maka untuk ke lokasi mengajar di Dusun Pendem, kendaraan sepeda motor terpaksa harus dititipkan di Dusun Bangket Molo. “Dari Dusun Bangket Molo ke Dusun Pendem, dapat ditempuh selama 1 jam, dengan berjalan mendaki perbukitan,” jelas Tyas.

“Dulu kami mengira Dusun Bangket Molo ini merupakan dusun terakhir di wilayah perbukitan ini. Namun ternyata masih ada dusun yang lebih jauh lagi, yakni Gubuk Panggel, Dusun Pendem itu,” sambung Tyas.

Akses jalan menuju ke Dusun Bangket Molo sendiri berupa jalan tanah dan bebatuan, belum beraspal. Sehingga ketika musim hujan, maka kendaraan juga akan susah melalui jalan ini, karena berlumpur dan becek. “Di Dusun Bangket Molo terdapat sebuah sekolah SATAP, yakni SD-SMP Negeri 6 Praya Barat. Di sekolah inilah tempat 9 anak-anak Gubuk Panggel bersekolah,” jelas Tyas.

Baca Juga :  MENGENAL CITRA PUTRI BUDI ANDINI, SRIKANDI PETEMBAK BERBAKAT NTB

“Biasanya sepeda motor kami titipkan di rumah Pak Kadus Bangket Molo. Dan kalau pakai mobil, ya sudah kami biarkan ditengah hutan,” beber gadis manis yang kini berusia 25 tahun ini.

Bagi perempuan lulusan PGSD Universitas Mataram ini, perjalanan seperti itu tentu bukan hal baru baginya. Karena ia bersama Komunitas Tastura Mengajar, sudah terbiasa melewati kondisi akses jalan yang rusak sekalipun.

Apa yang dilakukan tersebut, baginya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan anak-anak dari Gubuk Panggel, yang setiap hari berjalan kaki hingga satu jam lamanya untuk berangkat ke sekolah Satap di Dusun Bangket Molo.

Perjalanan ke Gubuk Panggel, memang tidak semudah yang dibayangkan. Kondisi jalanan yang becek ketika hujan, ditambah lagi harus mendaki dan menuruni bukit, menjadi rintangan yang selalu memberikan pengalaman berkesan bagi Tyas dan rekan-rekannya.

“Paling yang dikhawatirkan adalah ketika di perjalanan tiba-tiba hujan. Apalagi kami biasanya membawa alat tulis dan lainnya. Sehingga mantel biasanya harus bawa minimal dua. Satu untuk diri sendiri, dan satu lagi untuk barang bawaan. Karena di hutan mana ada tempat berteduh,” terang gadis yang menjadi Koordinator Divisi Pendidikan Tastura Mengajar ini.

Sampai di Gubuk Panggel, lelah mereka pun terhapuskan, karena anak-anak dan penduduk di tempat itu menyambut dengan penuh kehangatan. Bahkan tak jarang ketika mereka tengah berladang di tengah hutan, mereka diminta untuk beristirahat sejenak untuk diberikan sekadar minum atau membakar jagung kalau sedang musim.

Di Gubuk Panggel, anak-anak didik dari Tastura Mengajar ada sebanyak 19 orang. Dimana 9 dari mereka telah masuk sekolah jenjang SD dan SMP. Sedangkan 10 lainnya, dapat dikatagorikan telah memasuki jenjang taman kanak-kanak.

Baca Juga :  MELIHAT AKTIVITAS PARA PENDERITA TUNA RUNGU DI SANGGAR SENI AS-SYAFI’I

“Melihat kondisi akses pendidikan mereka yang cukup sulit dijangkau. Kami menemukan beberapa anak masih kesusahan dalam belajar. Mungkin tenaga mereka lebih banyak terkuras di perjalanan, sebelum akhirnya belajar di sekolah,” jelasnya.

Sehingga melalui kegiatan belajar yang dilakukan di Panggel, mereka mencoba membuat modul pembelajaran sendiri, sebagai upaya untuk mengoptimalisasikan pendidikan anak-anak di Panggel.

Tastura Mengajar memiliki modul pembelajaran sendiri, dengan orientasi utamanya yaitu literasi dan numerasi, dengan metode yang tentu menyenangkan untuk anak-anak. “Sedangkan untuk anak-anak yang belum masuk sekolah, mulai sejak dini mereka sudah kami kenalkan angka dan huruf, agar ketika sudah masuk SD nanti sudah terbiasa,” terangnya.

Meski tidak berkegiatan setiap hari, diakui Tyas semangat anak-anak disana untuk bisa menulis, membaca dan berhitung sangat tinggi. Bahkan setiap dia dan rekan-rekannya datang, mereka sudah siap untuk belajar.

“Kami biasanya bekunjung sebulan sekali, dan pasti menginap. Namun diluar itu, media pembelajaran juga kami berikan kepada anak-anak agar bisa tetap belajar. Kami pun telah mengantongi data assessment setiap kali berkegiatan, sebagai bahan evaluasi untuk kegiatan selanjutnya,” jelas Tyas.

Tak hanya itu, berbagai perlengkapan belajar, seperti buku bacaan, dan papan tulis juga dibawakan untuk anak-anak agar bisa belajar mandiri di kampungnya. “Harapan kami ke depan, bisa membuat (membangun) Pojok Belajar, lengkap dengan berbagai koleksi buku bacaan yang bagus, serta alat tulis yang lengkap. Sehingga anak-anak Panggel bisa belajar lebih rajin, dan tentu menyenangkan,” pungkas Tyas. (M HAERUDDIN — LOMBOK TENGAH)

Komentar Anda