Berkat Budi Daya Rumput Laut, Mampu Biayai Anak Hingga Jadi Dokter

Modal Rp 2 Juta, Raup Untung Puluhan Juta

budi daya rumput laut
RUMPUT LAUT: Salah seorang warga Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, terlihat sedang menjemur rumput laut hasil panenannya. (IRWAN/RADAR LOMBOK)

Perairan di wilayah Kabupaten Lombok Timur (Lotim), adalah “surga” bagi para petani budi daya rumput laut. Apalagi perairan di sekitar Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut terbaik di NTB. Sehingga tidak jarang pembudidaya pun meraup untung yang besar.


JANWARI IRWAN – LOTIM


BAGI para pembudidaya rumput laut di Lotim, khususnya di sekitar perairan Desa Seriwe, sektor ini dapat dikatakan sebagai andalan, untuk meraih penghasilan yang cukup besar. Rata-rata para pembudidaya di lokasi ini telah bergelut dengan rumput laut hampir 30  tahun lamanya. Dan dari rumput laut inilah mereka bisa menghidupi keluarganya.

Seperti pada sore itu, sejumlah warga Desa Seriwe terlihat sedang beraktifitas. Ada yang menjemur rumput laut, dan ada pula yang sedang memilih bibit rumput laut. Sementara sisanya asyik berbincang, sambil sesekali menoleh ke arah hamparan laut, dimana lokasi budi daya rumput lautnya yang akan segera panen raya, dan tentu saja akan mendapatkan hasil.

“Meski pekerjaan ini terlihat sederhana, tetapi kalau dikerjakan dengan baik dan ikhlas. Menanam rumput laut ini banyak membawa berkah bagi kami. Terutama untuk biaya anak-anak kuliah,” kata H. Sahirudin, salah satu petani rumput laut, seraya tersenyum.

Baca Juga :  Kisah Korban Selamat Tertimpa Reruntuhan Gempa Bumi 7.0 Skala Richter

Sebelum membudidaya rumput laut, dia mengaku merasa kesulitan menafkahi keluarganya. Apalagi di desa yang dia tempati ini berada jauh dari pusat keramaian. Namun setelah ada masyarakat yang mulai mencoba budi daya rumput laut, perlahan ekonomi masyarakat setempat mulai meningkat.

“Di Desa Seriwe ini hanya beberapa saja masyarakat yang membangun rumah dari hasil pekerjaan lain. Selebihnya masyarakat mengandalkan hasil dari budidaya rumput laut saja,” jelasnya.

Disampaikan, harga rumput laut saat ini terbilang mahal, mencapai Rp 17 ribu per kilogram. Padahal sebelumnya harga rumput laut hanya sekitar Rp 6 ribu hingga Rp 7 ribu saja, yang sudah tentu jauh dari harapan. “Akan tetapi sejak ada kompensasi dari Kementerian, harga rumput laut berangsur naik. Alhamdulillah, saat ini harganya naik,” ucapnya bersyukur.

Namun terkadang dia juga merasa khawatir dengan cuaca yang tidak menentu, yang dapat berpotensi membuat para pemdudidaya merugi. Dimana untuk hasil terbaik, pemerintah memberikan aturan masa panen rumput laut yang bagus adalah selama 40 hari. ”Itu kalau cuacanya bagus. Tapi kalau tidak bagus, ketimbang rumput lautnya jatuh, kita panen saja. Meskipun hasilnya jauh dari keinginan,” katanya.

Namun demikian, dengan adanya rumput laut ini membuat kebutuhan ekonominya terus meningkat. Bahkan tidak jarang masyarakat yang membudidayakan rumput laut ini mampu menyekolahkan anaknya hingga menjadi dokter.

”Saya juga, berkat rumput laut ini, dua anak saya menjadi perawat, dan satu lagi akan menjadi guru. Semua itu berkat rumput laut. Bagaiamana kita tidak mendapat untung banyak. Modal kita hanya Rp 2 juta sampai Rp 5 juta, tetapi ketika panen mampu meraup untung hingga puluhan juta rupiah sekali jual,” imbuhnya.

Meski banyak mendapat keuntungan, bukan berarti para pembudidaya tidak mendapatkan halangan. Seperti lokasi penjemuran rumput laut yang tidak ada. Sehingga hasil akhir dari rumput laut tidak bisa maksimal seperti daerah-daerah lain, yang segalanya lengkap disiapkan oleh pemerintah. “Kalau kita disini menjemur rumput laut di pantai dengan beralaskan terpal. Sehingga rumput laut banyak yang bercampur pasir pantai,” akunya.

Sementara Hanimah, petani rumput lainnya, mengatakan kalau biasanya yang menjadi keluhan itu adalah soal pemasaran. Tetapi para petani rumput laut di Seriwe tidak demikian. Mereka cukup menjual rumput laut ke pengepul, dan kemudian dijual lagi ke pengepul yang lebih besar. “Mata rantai pemasaran memang agak panjang. Dari petani ke pengepul, kemudian ke pengepul besar, pengepul wilayah, lalu pabrikan,” ujarnya.

Baca Juga :  Kesan Dubes Amerika Serikat saat Berada di NTB

Mata rantai itu tidak bisa diputuskan begitu saja. Sebab, pengepul kecil kadang-kadang dibiayai oleh pengepul yang lebih besar. Kalau pun mau di putus sebutnya, maka dibutuhkan modal yang besar dan harus ada wadah yang menjembatani. “Dengan demikian rumput laut bisa langsung dipasarkan dari petani ke pengepul, kemudian ke koperasi, lalu ke pabrikan,” pungkasnya. (*)

Komentar Anda