Selama Kabupaten/Kota Tidak Menetapkan RDTR, Alih Fungsi Lahan Tak Bisa Dibendung

H Heri Susanto

MATARAM – Lahan pertanian di NTB semakin tergerus dan status yang disandang NTB sebagai ‘Lumbung Pangan Nasional’ terancam hanya tinggal nama saja. Untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan di NTB, sudah waktunya Pemerintah Kabupaten/Kota serius menekan alih fungsi lahan pertanian dengan segera menetapkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan pertanian dan pembangunan.

“Alih fungsi lahan itu tidak akan pernah bisa dibendung kalau RDTR tidak ada. Dan itu semua ranahnya ada di kabupaten/kota,” kata Ketua Real Estate Indonesia (REI) H Heri Susanto, kemarin.

Heri memastikan jika Pemeritah Kabupaten/Kota serius menangangani atau pun mengendalikan alih fungsi lahan pertanian ini, semestinya sudah lama menetapkan Perda RDTR di masing –masing daerah. Jika RDTR itu sudah ada, maka pasti perusahaan pengembang perumahan di NTB mematuhi dan melaksanaan ketentuan peraturan itu. Hanya saja, persoalan sekarang ini tidak ada yang jelas mana kawasan lahan pertanian dan mana tempat bisa membangun. Sehingga terkesan di kabupaten/kota itu semua lahan itu tidak jelas ‘halal dan haram’- nya.

Padahal, kata dia, pengusaha developer sangat berkepentingan dengan adanya RDTR di setiap kabupaten/kota sebagai acuan untuk berinvestasi. Dan untuk memastikan adanya RDTR itu ada di ranahnya Bupati/Wali Kota dan juga DPRD masing-masing daerah.

Baca Juga :  REI NTB Usulkan Harga Rumah Subsidi Rp 158 Juta

“Kami yakin semua developer itu tidak ada yang ingin merusak lingkungan apalagi sampai terjadi krisis pangan akibat pembangunan. Tapi pastinya kami ingin ada acuan yang jelas dan segera tetapkan RDTR itu di kabupaten/kota,” tegasnya.

Menurut Heri, selama RDTR ini tidak ditetapkan, para developer selalu dipojokan oleh berbagai pihak. Padahal, developer justeru menginginkan kepastian dari pemerintah daerah melalui penetapan RDTR yang tercantum secara rinci kawasan ruang terbuka, lahan pertanian dan lahan yang bisa dibangun perumahan dan lainnya. tidak seperti sekarang ini, justeru tidak ada kejelasan, mana tanah ‘haram’ dan mana tanah ‘halal’.

“RDTR ini harus segera dijadikan oleh pemerintah kabupaten/kota dan semua harus tertata agar tidak merugikan pengusaha dan tentunya pemerintah dan masyarakat,” tambahnya.

Ia menambahkan, penataan tata ruang tidak jelas yang rugi semua. Kenapa demikian, kabupaten/kota yang ingin menata tidak keburu karena keduluan alih fungsi lahan. Satu sisi pengembang sudah belanja lahan, tidak dapat izin dan menjadi rugi.

Baca Juga :  Kuota FLPP Habis, REI NTB Tawarkan Program SSB

“Ini menjadi persoalan dari tahun ke tahun. Ketidakjelasan ini menjadi problema, dan pengembang bertanya-tanya bisa digunakan atau tidak lahan yang telah mereka beli itu,” katanya.

Sebelumnya, Kepala Distanbun NTB Fathul Gani menyebut bahwa luas lahan pertanian di Provinsi NTB terus berkurang. Penyusutannya bahkan mencapai hingga 10 ribu hektare (Ha) tiap tahunnya. Akibatnya status lumbung pangan mulai terancam.

“Rentang waktu 2021 ke 2022 turun 10 ribu hektare, ini data yang sudah terupdate dan estimasinya tiap tahun begitu,” kata Fathul Gani.

Berkurangnya luasan lahan pertanian disebabkan alih fungsi lahan. Jika dibiarkan, berpotensi mengancam status Provinsi NTB sebagai lumbung pangan di Indonesia. Lebih buruknya lagi, bisa mengakibatkan krisis pangan bagi masyarakat. Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bisa disiasati, salah satunya melalui cetak lahan baru.

“Hanya saja, program tersebut tidak serta merta bisa langsung dilakukan pemerintah daerah,” katanya. (luk)

Komentar Anda