Perajin Gerabah Banyumulek Butuh Perhatian Pemerintah Daerah

MATARAM – Dampak bom Bali yang terjadi tahun 2001 masih dirasakan para perajin gerabah di Banyumulek, Lombok Barat. Ditambah bencana alam gempa bumi dan pandemi Covid-19, menambah daftar panjang penyebab perajin gerabah berhenti beroperasi. Banyak dari mereka bahkan beralih profesi menjadi buruh tani.

“Dulu sebagian warga Desa Banyumulek, merupakan pembuat kerajinan gerabah, tapi sekarang sudah mulai berkurang dan beralih profesi jadi buruh tani maupun bangunan,” kata salah satu pengerajin gerabah di Desa Banyumulek, Kabupaten Lombok Barat, Maesun, Sabtu (2/7).

Kendati demikian, Maesun masih tetap mengadu nasib pada pekerjaan ini, lantaran tidak memiliki keahlian lagi selain mengolah tanah liat tersebut.

Banyaknya warga yang beralih profesi dari perajin gerabah ke profesi lain. Hal tersebut tidak terlepas dari sepinya pembeli yang datang ke Banyumulek. Bahkan, kunjungan wisatawan yang sebelumnya menjadi pasar andalan mereka, kini sudah jarang lagi datang berkunjung, nyaris nihil pembeli.

Padahal jauh asebelum terjadinya bom Bali pada 2002. Banyak wisatawan asing berdatangan ke Desa Banyumulek setiap harinya, baik sekedar berwisata maupun memesan hasil kerajinan gerabah dalam jumlah besar.

Baca Juga :  Angka Pengiriman Gerabah Anjlok

“Kerajinan sudah lama lesu, terutama pasca kasus bom Bali pada 2001, pasaran hasil kerajinan seakan mati,” katanya.

Begitu juga perajin gerabah lain, Ningsih ikut mengenang bagaimana kejayaan masyarakat Desa Banyumulek sebelum pandemi Covid-19. Tidak ada warga yang menganggur, remaja dan pemuda  di desa mereka, semua ikut terlibat dalam memproduksi kerajinan gerabah.

“Mulai dari membuat sampai menghias gerabah, semua kebagian pekerjaan dan tidak ada yang menganggur,” katanya.

Dulu untuk mendapatkan uang senilai Rp 300 ribu –  Rp 500 ribu dari aktivitas membuat kerajinan gerabah sangat mudah. Namun kini laku satu dua biji saja sangat susah. Menurutnya banyak CV yang dulu berjaya, kini sudah gulung tikar, karena pesanan sudah tidak sekencang sebelumnya.

“Bom Bali tahun 2001 seakan menjadi akhir kejayaan masyarakat Desa Banyumulek sebagai pengerajin gerabah dan semenjak saat itu banyak warga yang ahirnya terpaksa beralih profesi,” terangnya.

Di tengah kelesuan pasaran hasil kerajinan gerabah sekarang ini, Maesun, Ningsih dan perajin gerabah lainnya, masih menyimpan mimpi dan harapan, kejayaan yang dulu bisa kembali lagi dengan peran serta pemerintah mengencangkan promosi.

Baca Juga :  Berjalan Kaki Puluhan Kilometer, Pantang jadi Pengemis

Terpisah, Kepala Dinas Perdagangan NTB H Fatthurahman berdalih kerajinan gerabah di Desa Banyumulek masih tetap eksis meski kapasitasnya tidak sebesar yang dulu. Ia menyebut ekspor gerabah asal Desa Banyumulek tetap dilakukan. Hanya saja prosesnya melalui perusahaan dari Bali dan Surabaya.

“Yang sekarang masih banyak digunakan untuk kebutuhan internal dalam daerah, seperti properti hotel dan restoran,” katanya.

Menyinggung soal peran Pemerintah untuk perkembangan gerabah Banyumulek  sldiakuinya, promosi pun tak luput dilakukan pemerintah daerah bersama mitra kerja. Bahkan pengiriman ke luar negeri, seperti Malaysia masih tetap ada walau hanya satu kontainer.

“Salah satunya gerabah dari UD Poetry kirim gerabah ke Malaysia, ada buyer di sana.  Ke negara lain juga ada meski kapasitasnya tidak besar, seperti Belanda dan beberapa negara Eropa,” pungkasnya. (cr-rat)

Komentar Anda