MUI: Ada 3 Hal Yang Dihina Ahok

Din Syamsudin

JAKARTA— Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyesalkan ucapan Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu yang kemudian pemicu Aksi 4 November. 

Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin dalam Tausyiah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI menyebut bahwa pernyataan Ahok telah menghina agama Islam, kitab suci Alquran, dan para ulama.

"Ini karena pernyataan Pak Ahok sudah memasuki wilayah keyakinan pemeluk agama lain, memberikan penilaian terhadap pemahaman agama lain, dan memakai kata yang bersifat pejoratif mengandung kebencian. Karena ini kan berarti ada objek dan ada subjek yang membohongi,''ujar Din Syamsuddin di kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu kemarin (9/11).

Din juga menyebut apa yang diucap Ahok justru menunjukkan intoleransi dan rendahnya tenggang rasa terhadap orang lain. Sehingga, sangat potensial menciptakan kegaduhan sosial dan politik yang dapat mengarah kepada terganggunya stabilitas nasional. "Jadi jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan karena satu orang harmoni bangsa terganggu," tegasnya.

Untuk itu, Din meminta agar masyarakat tidak lagi memperdebatkan masalah penghilangan kata "pakai" yang dilakukan Buni Yani saat memberi caption video Ahok yang diunggahnya ke Facebook. Menurut Din, perdebatan ini justru akan menimbukan masalah baru bagi masyarakat.

"Jadi sudahlah, ini mohon tidak perlu diperdebatkan. Justru kalau dikutak katik ada kata ada kata 'pakai' atau tidak justru akan menimbulkan masalah‎ baru," tegasnya.

Dewan Pertimbangan MUI Kholil Ridwan  justru mempertanyakan  fatwa MUI tidak dijadikan rujukan dalam kasus  Ahok ini. Padahal MUI sudah sering menjadi rujukan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan yang menyangkut ketersinggungan umat Islam di Indonesia. Mulai dari kasus konser Lady Gaga, Arswendo, Ahmad Musadeq, hingga kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). "Waktu itu Lady Gaga semuanya sudah siap, tiket sudah dijual habis. Tapi umat menolak lalu polisi datang ke MUI meminta fatwa, MUI jawab untuk menolak dan akhirnya nggak jadi (konser)," ujar Kholil Ridwan .

Baca Juga :  MUI Keluarkan Fatwa Medsos

Namun rujukan MUI tidak dianggap penting dalam kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Polri tidak langsung menggunakan fatwa MUI dan memilih memanggil saksi-saksi lain di luar MUI. "Ini sekarang kenapa MUI sudah bilang Ahok menistakan Alquran, tapi nggak dipakai. Masih saja panggil ahli-ahli," sambungnya.

"Apakah ahli-ahli itu juga lebih ahli dari MUI. MUI ini lembaga yang punya hubungan baik dengan pemerintah, yang selalu jadi jembatan pemerintah ke umat," pungkas Kholil Ridwan.

Lalu, bagaimana kalau ternyata Ahok bebas dan tidak ditemukan pidananya? Salah satu anggota Dewan Pertimbangan MUI Haji Inayah menjelaskan, sesuai dengan sikap MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. Kalau, dalam gelar perkara ternyata tidak ditemukan adanya pidana, maka terdapat kezaliman yang terencana dan terstruktur. ”Jangan merekayasa sesuatu yang sudah sangat terang,” tegasnya.

Din Syamsuddin menambahkan, terlihat adanya pemilihan saksi ahli dari beberapa kelompok. Terutama, untuk saksi ahli agama dan tafsir. Padahal, MUI ini merupakan majelis yang bersatu dari berbagai kelompok agama Islam. ”Tidak ada yang lebih berdasar dari pada saksi ahli dari MUI,” ujarnya.

Sementara itu, salah satu anggota Dewan Pertimbangan MUI utusan Al Irsyad Umar Husin menjelaskan, saat ini pemerintah dan kepolisian ingin membuat gelar perkara terbuka. Padahal, gelar perkara itu hanya merupakan kebiasaan dalam penyelidikan. ”Tidak ada dalam undang-undang diatur soal gelar perkara,” ungkapnya.

Baca Juga :  Polda Isyaratkan Beri Izin Tabligh Akbar GNPF MUI

Artinya, gelar perkara itu hanya kebutuhan internal kepolisian untuk menentukan adanya pidana atau tidak. ”kalau soal terbuka terserahlah, yang utama itu adalah isi dari gelar terbuka,” tuturnya.

Kalau gelar perkara tertutup, tapi tidak ada settingan, sama sekali tidak ada masalah. Namun, gelar perkara terbuka tapi disetting, tentunya sama sekali tidak ada gunanya. ”Jadi, jangan terlalu berharap pada apa yang belum Nampak seperti gelar perkara terbuka ini,” ujarnya.

Dia menegaskan, jangan pernah bermain-main dalam kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Ahok tersebut. Harus ditegakkan hukum secara adil. ”kalau tidak adil maka yakinilah ada Allah SWT yang akan menerapkan keadilannya di sini dan di akhirat,” ungkapnya.

Sementara Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Brigjen Agus Andrianto menuturkan bahwa pemeriksaan saksi akan fokus pada pekan ini. Baik dari saksi pelapor, ahli dan terlapor. ”Mereka juga memiliki saksi ahli yang diajukan,” tuturnya.

Kalau untuk saksi ahli dari kepolisian, hanya tinggal dari Kementerian Agama yang belum diperiksa. Menurutnya, hari ini (10/11) pemeriksaan saksi ahli dari Kemenag akan dilakukan. ”Secepatnya selesai,” ungkapnya.

Sementara Juru Bicara Divhumas Polri Kombespol Rikwanto menuturkan, gelar perkara akan dilakukan dengan seobyektif mungkin. Polri yang baru kali pertama melakukan gelar perkara terbuka akan menyusun semuanya. ”Mekanismenya akan disusun dulu,” tuturnya.

Dengan gelar perkara terbuka, masyarakat bisa melihat secara langsung. Sehingga, proses hukum ini dilakukan dengan benar-benar transparan. ”Ya, jadwalnya pekan depan, tapi belum ditentukan tanggalnya,” ujarnya.  (zyl/wid/idr/JPG)

Komentar Anda