Mengenal AKBP Dr SUMY HASTRI, dr,SpF, DFM, Kabid Dokkes Polda NTB

Dr SUMY HASTRI
OTOPSI : AKBP Dr Sumy Hastry Purwanti (dua dari kiri) saat akan melakukan otopsi kepada salah satu korban pembunuhan di Lombok Barat beberapa waktu lalu. (AKBP Dr SUMY HASTRI FOR RADAR LOMBOK)

Kepala Bidang Dokkes Polda NTB kini dijabat seorang Polwan.  Namun, Polwan ini bukanlah wanita biasa. Dia adalah seorang polisi pertama di Indonesia bahkan di Asia yang meraih gelar Doktor Forensik.  Banyak kasus dan kejadian yang telah diungkapnya. Dia adalah AKBP Dr  Sumi Hastri.


ALI MA’SHUM—MATARAM


AKBP Dr Sumy Hastry Purwanti adalah Kepala Bidang Kesehatan dan Kedokteran (Kabid Dokkes) Polda NTB yang baru. Ia dilantik oleh Kapolda NTB Brigjen Pol Firli pada tanggal 12 April lalu  menggantikan pejabat sebelumnya AKBP I Ketut Sumantra.

Perawakannya cukup tinggi. Dengan menggunakan kaca mata. Ia terlihat seorang yang serius. Namun ternyata, ia adalah orang yang ramah dengan penuh senyuman. ‘’ Silahkan duduk, sudah lama nunggu ya,’’ ujarnya dengan ramah memulai pembicaraan di ruang kerjanya di Mapolda NTB, Selasa kemarin (25/4).

Awalnya, ia sedikit menjelaskan terkait dengan forensik yang merupakan keahliannya.  Katanya, forensik adalah salah satu proses untuk memperoleh keadilan. Sebagai seorang dokter forensik, tentu saja dia menggunakan keahliannya untuk membantu proses keadilan sampai selesai. Ini juga menurutnya berlaku untuk semua kasus yang berhubungan dengan tubuh manusia seperti pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan. ‘’ Forensik ini membantu korban umpanya untuk memperoleh keadilan. Ini untuk mengetahui apakah dia itu korban pembunuhan atau tidak,’’ katanya.

Forensik ini sangat berguna untuk kemanusian. Karena tujuan dari forensik itu adalah untuk segera mengidentifikasi dan segera dikembalikan kepada pihak keluarganya. ‘’ Itu kalau untuk kasus kecelakaan. Kalau pembunuhan tentu forensik berguna agar kasusnya segera terungkap,’’ kata perempuan kelahiran tahun 1970 ini.

Ia lalu  menceritakan asal muasal dirinya menjadi seorang ahli forensik. Dulunya, ia mengaku tidak ingin menjadi dokter forensik. Tapi, dalam salah satu kesempatan, dirinya ditugaskan untuk membantu penyelidikan kasus pembunuhan. ‘’ Sejak saat itu, saya menjadi suka dan diminta membantu polisi,’’ terangnya.

Baca Juga :  Dari Ritual Tolak Bala di Desa Songak Kecamatan Sakra

Sejak saat itu, Hastry bergelut dengan jenazah baik yang menjadi korban kriminalitas maupun kecelakaan serta bencana. Untuk memperdalam ilmu forensiknya, Hastry lalu melanjutkan kuliah di Universitas Airlangga. Dia berhasil meraih gelar Doktor Forensik berstatus cumlaude dengan pujian. Dia lah seorang polisi pertama di Indonesia bahkan di Asia yang meraih gelar Doktor Forensik.

Hastry pun terlibat dalam berbagai penugasan baik dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa peristiwa besar di dalam negeri, seperti  mengidentifikasi jenazah korban Bom Bali I  pada 12 Oktober 2002 dan merenggut 202 nyawa. Lalu,

masuk menjadi anggota tim DVI Lion Air Crash di Solo, Tim DVI Korban Bom di Kedubes Asutralia di Jakarta, tim DVI Korban pesawat Mandala di Medan, Tim DVI Korban bom Bali II, tim DVI korban gempa bumi Jogjakarta, tim DVI korban kapal Senopati Nusantara, tim DVI korban Garuda Air Crash di Jogjakarta, tim DVI korban bom hotel JW Marriot, tim DVI korban kapal imigran gelap, tim DVI korban pesawat Sukoi SSJ Gunung Salak, tim DVI korban Air Asia dan lain sebagainya. 

Hastry sudah keliling dunia dalam melakukan otopsi berbagai kasus. Seperti masuk sebagai tim DVI kecelakaan Pesawat MH-17 di Belanda dan Rusia. Semua pengamalan disebutnya menarik karena kasusnya berbeda-beda. Secara spesifik, ia mengaku saat bertugas untuk sebagai tim DVI kecelakan pesawat MH-17 di Belanda sebagai yang paling menarik. ‘’ Itu dulu pesawatnya jatuh di Ukraina. Itu identifikasinya susah. Karena mayatnya itu banyak yang hancur,’’ katanya.

Hastry juga termasuk dalam tim gabungan yang dikirim dari beberapa Negara. Seperti Belgia, Belanda, Australia Jerman dan Indonesia. ‘’ Jadi bangga otopsinya antar Negara, jadi dulu membawa nama Indonesia,’’ terangnya.

Ia juga termasuk salah satu tim dalam mengeksekusi terpidana mati dan gembong narkoba Freddy Budiman. Ia saat itu bertugas menentukan titik tembak dan mengurus mayat Freddy Budiman. ‘’ titik tembak itu ditempel dijantungnya biar tembakannya itu terarah. Dikasih tanda begitu dan ditempelin,’’ kenangnya.

Baca Juga :  Lika-Liku Perjuangan Marianto Terpilih Menjadi Kades Sokong

Sejak bertugas di NTB, ia  sudah turun langsung dengan mengotopsi salah satu korban pembunuhan di Lombok Barat. ‘’ Di Lombok Barat itu kuburnya digali dan sudah selesai. Itu kasus pembunuhan,’’ ungkapnya.

Sebagai dokter forensik,  Hastry harus menangani jenazah dengan berbagai kondisi.  Dia  tak pernah takut menjalankan tugasnya  memeriksa mayat, membedah dan menutupnya kembali meski hanya seorang diri di ruang mayat. Dia juga tidak takut merasa dibayang-bayangi saat hendak tidur.‘’Sama saja sebenarnya. Karena mereka itu sudah meninggal semua. Apapun kasus dan kejadiannya, mereka itu tetap manusia,’’ jelasnya.

Hastry juga harus siap-siap meninggalkan keluarga ketika mendapat tugas.   Namun hal itu harus dilaksanakan karena sudah tugasnya. ‘’ itu kadang dukanya,’’ katanya.

Karena prestasinya ini. Pada tanggal 10 April 2017 lalu. Ia menerima  penghargaan langsung dari Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Penghargaan tersebut diberikan untuk kategori Polwan Berprestasi. Penghargaan ini diberikan hanya kepada 9 orang di seluruh Indonesia. ‘’ Itu sebelum dipindah ke NTB, saya mendapat penghargaan dari Kapolri di Jakarta,’’ ungkap mantan Kasubbid Dokpol Polda Jawa Tengah ini. 

Mengenai tugasnya sebagai Kabid Dokkes Polda NTB. Ibu dua orang anak ini berharap nantinya bisa berimbang antara kedokteran kepolisian dengan kedokteran kesehatan kepolisian. ‘’ itu juga sudah menjadi tigas kami. Saya juga sudah dipesan oleh Kapolda NTB untuk bekerja dengan baik di NTB,’’ tandasnya.

Ada satu kisah menarik lainnya dalam diri Dr Sumi Hastry ini. Selama ini, ia mengaku menolak dipanggil dengan sebutan dokter. ‘’  Saya baiknya dipanggil Ibu aja. Soalnya saya jarang memeriksa pasien yang hidup. Selama ini kan kebanyakan mayat saja,’’ ujarnya.(*)

Komentar Anda